[Blogtour+Giveaway] Infinity

Judul : Infinity
Penulis : Mayang Aeni
Penerbit : Grasindo
Tebal Buku : 250 Halaman
Cetakan Pertama, Desember 2016 
ISBN : 9786023757657
Rating : 3 dari 5

*Ikuti giveaway di akhir rewiew ini*


"Kalau manusia bisa milih sendiri takdirnya, dunia jadi nggak seimbang. Bakal banyak manusia yang tersakiti karena nggak dipilih." ---halaman 174

Blurb:


Bani kehilangan satu-satunya rumah untuk pulang ketika Bunda yang disayanginya meninggal dunia. Di saat tidak ada satu pun orang yang berdiri di sampingnya, justru Dinda menjadi satu-satunya yang bertahan untuknya, menemani Bani di saat lelaki itu merasa dunianya tengah runtuh. Dinda bukan sosok yang asing untuk Bani, gadis itu sudah masuk ke daftar orang yang tidak disukainya sejak pertemuan pertama mereka. Tapi semesta seolah berkonspirasi untuk mempertemukannya dan Dinda dalam suatu liburan keluarga, sampai akhirnya Dinda pun mulai mengetahui sedikit demi sedikit rahasia yang Bani simpan. Termasuk rahasia tentang keluarga Bani yang semula tersimpan rapat. Keberadaan Dinda selepas kepergian Bunda di sisi Bani perlahan-lahan membantu Bani untuk bangkit kembali, berdamai dengan masa lalunya yang kelam. Dengan Dinda, Bani menemukan kembali rumahnya untuk pulang.

***

Bani dan Dinda bertemu di awal kelas sebelas, saat Dinda yang merupakan murid pindahan dari Bandung masuk ke sekolah yang sama dengan Bani. Dengan dalih tidak merasakan MOS, geng populer Bani melakukan masa orientasi mereka sendiri terhadap Dinda. Dan karena Dinda tidak diam saja saat diperlakukan semena-mena, dia menjadi sasaran incar Bani yang memperpanjang hukuman untuk Dinda, selama satu semester.

Di akhir semester ganjil, Dinda terpaksa ikut ibunya liburan ke Lembang, rumah sahabat Mama yang lama tidak ketemu. Padahal, Dinda ingin berlibur ke tempat nenek. Akhirnya, masa liburannya harus dihabiskan di Lembang, tempat tante Ambar berada. Dinda dikejutkan dengan penampakan sosok tak asing yang ada di rumah itu, Bani! Ternyata, Bani adalah anak tante Ambar! Dan berkebalikan dengan sikapnya yang bossy dan menyebalkan di sekolah, Bani yang dia lihat saat itu adalah Bani yang manja. Pokoknya, kepribadian Bani sangat bertolak belakang. Dinda merasa, liburannya bakal kian menyedihkan. Namun, dia senang juga karena mengetahui sisi lain dari Bani. Setidaknya, kalau Bani macam-macam lagi di sekolah, dia bisa membeberkan fakta itu.

Secara mengejutkan, berita kematian Tante Ambar datang ketika mereka selesai berlibur di sana. Saat itu, Dinda lagi menghabiskan sisa masa liburan di rumah nenek. Dinda jadi teringat cowok itu, Bani, dan bagaimana perasaannya ketika kehilangan sosok ibu yang sangat dicintainya itu? Apakah dia akan baik-baik saja?

Selepas kepergian ibunya, hidup Bani yang memang sudah suram menjadi bertambah muram. Dia benci dengan ayahnya yang secara tidak langsung membuat Bani dan ibunya terusir dari rumah saat menikah lagi. Apalagi, saudara tirinya ternyata satu sekolah dengannya. Bani yang memutuskan membenci orang-orang yang sudah merusak hidupnya itu memilih untuk semakin membenci mereka. Dinda, yang ternyata mengetahui sisi kelam Bani tersebut, mencoba menariknya dari kubangan duka, dan membantunya untuk memaafkan mereka semua. Di sisi lain, Bani menemukan sosok Dinda yang mengingatkannya pada kasih sayang ibunya yang telah tiada.

Apakah usaha Dinda bakal berakhir?

***

Satu lagi teenlit yang saya baca bulan ini. Bisa dibilang, Infinity menyuguhkan kisah love-hate relationship yang dialami oleh remaja seusia SMA. Dibalut dengan gaya tutur yang renyah, dan juga konflik khas anak SMA, yaitu tentang pembullyan, geng populer, dan kisah cinta yang melingkupinya.

Mulanya, saya merasa ada kemiripan plot yang membuat saya teringat dengan Petualangan Sherina. Cewek jago yang ternyata menangkap basah cowok sok jago yang di rumah anak mami. Eh tapi, untungnya nggak sama persis kok, apalagi setelah kejadian di Lembang itu, semuanya berjalan dengan plotnya sendiri.

Saya suka dengan karakter Dinda meskipun agak aneh dengan Bani. Tapi, Bani memang sepertinya diset seperti itu, cowok populer yang ternyata rapuh. Banyak permasalahan tentang keluarganya yang membuat karakter Bani menjadi seperti itu.

Perubahan yang dialami karakternya berjalan dengan natural. Konflik yang terjadi beserta cara penyelesaiannya pun cukup apik. Bagaimana peran masing-masing karakternya bekerja saling melengkapi, memberikan sumbangsih besar dalam perubahan yang terjadi dalam kisah ini. Satu karakter yang saya suka di sini, tentu saja Dinda. Dinda yang karakternya begitu santai, tapi mampu mengubah sosok Bani dan kehidupan keluarganya yang cukup pelik.

Tiga bintang untuk kisah manis Bani dan Dinda.

***

It's giveaway time!




Tidak terasa sudah pemberhentian terakhir dari rangkaian blogtour Infinity. Saya akan memberikan satu buah novel Infinity karya Mayang Aeni untuk kamu yang beruntung mengikuti giveaway kali ini. Caranya mudah sekali lho. Tapi sebelumnya, cek ketentuan berikut, ya:

  1. Giveaway ini hanya untuk kalian yang berdomisili atau memiliki alamat pos di Indonesia.
  2. Follow blog saya melalui akun Google Friend Connect yang ada di sidebar blog ini.
  3. Follow akun twitter @mayangaenii@grasindo_id, dan @niesya_bilqis.
  4. Share giveaway ini di akun twitter kalian. Jangan lupa mention @mayangaenii@grasindo_id, dan @niesya_bilqis, dengan tambahan hashtag #InfinityGA ya. Jangan lupa kasih link menuju giveaway ini.
  5. Quote twit saya yang ini dan lanjutkan kalimat saya di quote kalian.
    Pilih "Kutip Tweet", lalu tuliskan jawaban kalian di sana.
  6. Berikan komentar di bawah postingan ini dengan menuliskan nama, alamat twitter, link share, dan link quote.
  7. Giveaway ini akan berlangsung selama satu minggu dari tanggal 30 Januari hingga 3 Februari 2017. Pengumuman pemenang akan dilaksanakan satu hari setelahnya yaitu 4 Februari 2017. Apabila dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada konfirmasi dari pemenang, akan dipilih pemenang lainnya. 

Semoga kalian beruntung! :)

The Number You Are Trying to Reach is Not Reachable

Judul : The Number You Are Trying to Reach is Not Reachable
Penulis : Adara Kirana
Penerbit : Bukune
Tebal Buku : 298 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2016 
ISBN : 9786022201960
Rating : 4 dari 5



Blurb:

Kata orang-orang, aku ini genius dan kelewat serius.

Oke, memang koleksi piala dan medali olimpiadeku sedikit lebih banyak dari jumlah perempuan yang dilirik Zeus. Aku masih seusia anak kelas sepuluh, tapi sudah ikut beberapa try out SBMPTN, dan dapat nilai paling tinggi.

Namun, Kak Zahra—guru homeschooling-ku-menganggapku perlu bersosialisasi. Katanya, biar "nyambung" sama orang-orang.

Untuk apa? Aku punya teman kok: Mama, Kak Zahra, Hera, dan... saudara-saudara yang sering kulupa namanya.

***

“The Thirteen Books of Euclid's Elements. Buku itu bisa kamu dapat asal kamu mau masuk SMA,” tantang Kak Zahra suatu hari.

Tidak mungkin. Itu kan, buku legendaris yang ditulis sejak abad ketiga sebelum Masehi. Aku ingin sekali mengoleksi dan mempelajarinya sendiri. Rasanya pasti lebih memuaskan.

"Oke, aku coba satu semester, ya," jawabku mantap.

Demi buku itu, bolehlah aku jalani hidup sebagai anak SMA biasa. Lagi pula, sesulit apa "nyambung" sama orang-orang?

***

Aira, seorang gadis genius yang bersekolah secara homeschooling, mendapatkan tantangan ketika Kak Zahra, guru homeschooling-nya memberi tahu bahwa ada lomba cerdas cermat matematika berhadiah buku yang diincarnya, The Thirteen Books of Euclid's Elements. Karena saya penasaran, jadinya googling dan menemukan inilah wujud bukunya:



Namun, untuk bisa terlibat dalam lomba tersebut, Aira harus masuk SMA. Karena, mendaftarnya harus via sekolah resmi. Atas nama lembaga homeschooling juga sebenarnya bisa, hanya saja tidak ada anak lain dalam pengasuhan Kak Zahra yang meminati itu. Akhirnya, dia membuat perjanjian dengan Mama dan Kak Zahra, bahwa Aira mau bersekolah. Memangnya, apa salahnya masuk SMA dan bersosialisasi? Dia bisa mencobanya selama satu semester.

Selama ini, Aira tidak pernah belajar di sekolah formal. Pengalamannya bersosialisasi di sekolah hanyalah di kelas 1 SD, dan itu tidak menyenangkan. Aira adalah anak genius, dan dia merasa bahwa teman-temannya tidak bisa mengimbangi kegeniusannya. Saat seumuran murid kelas sepuluh SMA saja, dia sudah menguasai materi SMA semuanya. Aira dan ibunya, sering membahas banyak hal di rumah yang membuat kepintarannya terus terasah.

Akhirnya, Aira bersekolah SMA juga. Dia melalui masa orientasi sekolah dan berkenalan dengan. Kalila, juga Rio, dan Arka. Karena tidak ingin dianggap aneh, Aira menyembunyikan kepintarannya dan berusaha berlaku sewajarnya anak SMA. Tapi, dia kesulitan karena memang tidak mengerti pola pikir teman-temannya, terlebih lagi, bahasa yang mereka pergunakan. Namun, Kalila mau berteman dengan Aira dengan segala keluguan dan kepolosannya. Bersama Rio, yang terlihat naksir dengannya, Aira diajarkan bahasa-bahasa gaul supaya dia mengerti dan cepat beradaptasi. Sementara dengan Arka, dia sebenarnya adalah guru mata pelajaran tambahan bagi murid-murid yang merasa butuh pelajaran tambahan di sekolahnya. Rio mengajak Aira untuk mengikuti kelas tersebut. Dan di sanalah dia berkenalan dengan Arka yang tidak mau dipanggil "Pak Guru" karena memang masih muda.

Keakraban Aira dan Arka, pada mulanya adalah karena salah sambung. Aira yang mau menghubungi Rio, justru malah memencet nomor telepon Arka. Dari sana, ketahuan bahwa mereka ternyata memiliki minat yang sama, buku sastra. Terutama, A Tale of Two Cities. Sejak itu, selepas jam tambahan, Aira dan Arka mengobrol banyak. Apalagi, disertai dengan saling pinjam-meminjam buku.

Aira sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dia masih tetap berteman dengan Kalila meskipun mereka berbeda kelas. Untuk menutupi kegeniusannya, Aira menyalahkan beberapa soal saat ulangan. Dia juga tidak menceritakan pada siapa pun tentang kemampuannya itu. Termasuk Kalila. Namun, Aira tidak melupakan tujuan awal dia bersekolah: untuk mengikuti lomba matematika memperebutkan The Thirteen Books of Euclid's Elements. Saat seleksi awal tingkat sekolah, Aira begitu antusias mengikutinya. Meskipun, dia harus bersaing dengan Kalila yang terpaksa ikut demi memberikan bukti pada orangtuanya kalau dia juga berprestasi dalam bidang akademik, bukan hanya sekadar pandai dalam bidang melukis yang menjadi passion-nya.

Bagaimana kelanjutan kisahnya? Apakah Aira selamanya tetap berbohong tentang kegeniusannya itu? Bagaimana kisah cinta Aira sendiri? Apakah dia pada akhirnya suka sam Rio, atau justru pada Arka sang guru?

***

Sebenarnya, saya sudah lama kepingin baca buku ini. Namun, beberapa kali saya urungkan karena harganya terlalu mahal bagi saya (untuk ukuran buku teenlit). Tapi, karena ada beberapa alasan (yang akan saya uraikan di bawah), saya pasti bakal baca buku ini. Ternyata saya justru mempercepat membeli dan membaca buku ini. Barangkali karena bulan ini adalah bulan membaca teenlit bagi saya. 

Kenapa saya kepingin membaca buku ini? Karena..., penulisnya seorang Potterhead *gdubraks*. Alih-alih karena buku ini ramai di laman goodreads dengan ulasan yang positif, atau judulnya yang familier di dengar dan membuat penasaran, saya justru tertarik membacanya karena si penulis yang seorang fans Harry Potter sama seperti saya. Benar, kan? Lalu, ditambah alasan-alasan tadi, saya memutuskan kalau saya bakal beli bukunya. Dan karena saya butuh riset tentang teenlit, akhirnya saya mempercepat belinya begitu lihat buku ini di Gramedia (sambil tutup mata lihatin harganya).

Sebagai penimbun buku, dan membaca buku ini di hari yang sama dengan saat membelinya, itu merupakan prestasi besar bagi saya. Dan buku ini, berhasil mencuri perhatian dari beberapa lembaran awalnya. Saat malamnya menemani Ibu antre dokter, saya bahkan menyelesaikan seratusan halaman awal. Namun sayangnya, karena beberapa hari kemudian harus fokus mengerjakan sesuatu, akhirnya bacanya tersendat. Dan ketika sudah selesai membacanya, saya baru bisa memberikan ulasan sekarang.

Bahasa yang digunakan enak, enaak bangeet! Mengalir. Makanya saya melaju dengan cepat saat membacanya. Lalu, untuk segi karakter, dapat banget. Aira ini polos, tapi pintar. Suka membaca, suka belajar banyak hal, rasa ingin tahunya besar. Tipikal Ravenclaw banget. Lalu ada Rio, dengan segala kepercayaan dirinya. Rio yang sabar mengajari Aira yang aneh, membuat Aira keluar dari tempurungnya dan melihat dunia dari kacamata yang berbeda. Sementara Arka, waduh, cowok penyuka novel klasik itu kalau ada di dunia nyata idola banget! Dan sosok Kalila, juga memberikan warna tersendiri dalam kehidupan Aira.

Melalui Aira, entah mengapa rasanya saya melihat diri saya sendiri di sana. Aira yang introvert, suka membaca, hidup dalam dunianya sendiri. Buku kesukaan Aira pun, saya menyukainya juga, dan menjadi buku klasik terbaik! (Baca: A Tale of Two Cities) Saya juga lebih menyukai Jane Bennet (just because yang main Rosamund Pike *plak*) ketimbang Liz Bennet di Pride and Prejudice. Bisa dibilang, buku-buku sastra yang dibahas di buku ini, sepertinya saya sudah baca semuanya. Pokoknya, kecintaan Aira pada buku, dan rumahnya yang dipenuhi dengan buku-buku itu, mirip dengan saya! Bahkan, beberapa kosa kata gaul pun, ada yang nggak saya mengerti. Sama banget ya dengan Aira, wkwkwk, meskipun saya nggak polos-polos banget sampai tidak tahu apa itu arti "modus". Anyway, bagian itu saya suka banget lho! Sampai ngakak bacanya.

"Aira, kayaknya, si Rio modus sama lo, deh."
"Nilai terbanyak?"
"Hah?"
"Modus." ---halaman 43

Barangkali ada yang nggak ngerti, modus itu dalam istilah matematika artinya nilai terbanyak =)) Yang bego lagi ini, kelanjutan dari modus:

"Rio, lo ngerti bahasa gaul kan?"
"Iya. Knp?"
"Modus itu apa sih? Masa katanya, gue disuruh modus ke lo gara-gara kata temen gue, lo udah menunjukkan tanda-tanda modus."
"HAHAHAHA." ---halaman 48

*Ngakak sampai Saturnus* =)))

Saya suka Arka, saya juga suka sama Rio. Dua tipe yang bertolak belakang tapi saya suka kedua-duanya. Rio yang santai, Arka yang kalem. Saya suka perkataan Arka yang ini:

"Jangan lihat dari sudut pandang kamu aja, Aira. Dunia kan besar--kamu enggak mungkin melihat semuanya cuma dari satu sudut pandang." ---halaman 219

Tentang judulnya sendiri, sebenarnya saya bingung, kenapa bisa dikasih judul seperti itu ya? Rasanya kok nggak nyambung sama sekali. Tapi ternyata, di tengah menuju akhir, ada penjelasan kenapa bisa seperti itu. Penjelasan yang nggak dimengerti Aira kalau nggak dijelasin. Oke, mungkin karena saya agak mirip dengan Aira, jadinya nggak tahu juga kenapa *lah*. Dan perkembangan karakternya itu, saya suka. Berjalan alami dengan semestinya.

Dulu--dan mungkin--sekarang, aku masih nomor yang tidak bisa diraih, tapi aku memutuskan untuk mulai mengangkat panggilan orang-orang. ---halaman 225

Untuk kesalahan penulisan sendiri, sayangnya, masih banyaaaaaak. Tapi sepertinya penulisnya sadar. Kalian bisa kunjungi blog penulis kalau mau tahu kesalahan apa saja yang ada di buku ini (tapi di sana ada spoiler dikit dari yang komentar, kalau nggak mau kena spoiler jangan diklik ya, wkwk). Jadinya, saya nggak perlu menambahi. Ada beberapa bagaian yang terkesan memaksa juga, tapi itu nggak berpengaruh banyak sama cerita ini kok. Mungkin untuk di lain kesempatan, beberapa plotnya harus dipikirkan lebih logis lagi kali yah. Tapi lagi-lagi, itu nggak berpengaruh besar pada cerita, tenang saja.

Kalau kamu mencari buku teenlit yang ringan dan menghibur, dengan gaya penyampaian yang menarik dan nggak bikin bosan, buku ini saya rekomendasikan untuk kalian. Dan, saya menunggu karya lain dari penulisnya. So, keep writing ya!


Sky

Judul : Sky
Penulis : Aiu Ahra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 280 Halaman
Cetakan Pertama, Desember 2016 
ISBN : 9786020334639
Rating : 3 dari 5


"Cara terbaik ngebebasin diri kita dari belenggu yang kita ciptakan sendiri adalah melepaskannya. Katakan apa yang kamu mau, katakan apa yang membuat perasaanmu sesak. Dengan begitu, nggak bakal ada yang mengganjal di dada kamu lagi." ---halaman 101

Blurb:

Lyn merindukan tawa Kay yang dulu. Ringan dan bebas, walau seringkali diiringi air mata cengeng. Tawa yang hilang setelah kematian ibuku. Setelah itu, Kay tinggal bersama keluarga Lyn selama tujuh tahun. Kondisi itu ternyata tidak cukup untuk membuat Kay percaya sepenuhnya pada Lyn.


Sikap Kay yang pesimistis berbanding terbalik dengan Lyn yang ceria. Bahkan ketika Lyn membicarakan tentang kesukaan akan langit dan olahraga lari membuat Kay semakin menutup diri. Meski menyukai musik klasik dan bermain piano, Kay tidak berani menjadikan itu mimpinya, apalagi jika harus mendaftar di universitas musik setelah lulus SMA.

Akankah kehadiran orang-orang dalam hidup Kay dan Lyn membuat mereka menyadari perasaan masing-masing? Atau justru semakin membuat mereka menjauh?

***

Lyn memiliki hobi berlari. Baginya, berlari adalah membebaskan. Merasakan embusan angin dan terpaan sinar matahari benar-benar membahagiakan. Apalagi, jika di garis finis ada Kay yang membawakan botol air mineral padanya. Lengkap sudah kebahagiaan Lyn. Kay adalah sahabatnya sejak kecil. Bahkan, setelah peristiwa tidak menyenangkan yang menimpa Kay beberapa tahun silam, Kay diadopsi oleh orangtua Lyn. Sejak saat itu, mereka berdua tak terpisahkan.

Kay mengalami masa kecil yang mengerikan. Sesuatu terjadi pada orangtuanya yang menyebabkan kepribadiannya menjadi tertutup. Segala cara dilakukan oleh Lyn agar mengembalikan sahabat masa kecilnya itu. Lyn mendorong Kay yang menyenangi bermain piano untuk ikut kejuaraan, dan lain-lain. Namun, Kay tetap bergeming. Dia tidak bergerak untuk mengubah keadaan.

Suatu hari muncullah Luna, murid pindahan yang masuk ke dalam kehidupan Kay dan Lyn. Kay seperti becermin saat melihat Luna. Gadis itu penyuka musik dan piano sama sepertinya, dan juga, gadis itu terlihat rapuh. Keduanya menjadi dekat. Sementara itu, Lyn menangkap basah stalker yang memfotonya diam-diam. Rupanya dia adalah Ethan. Sejak saat itu, keduanya sering terlibat obrolan.

Kehadiran Luna, membuat Kay keluar dari zona kesendiriannya. Kehadiran Ethan, membuat Lyn merasa tidak sendirian karena Kay yang menjauhinya. Padahal, dua orang itu, Kay dan Lyn, saling memendam perasaan yang sama.

"Gimanapun, siapa yang berani mencintai artinya dia siap dengan segala konsekuensi termasuk... patah hati." ---halaman 179

Lalu, bagaimana kelanjutan kisah mereka?

***

Sky adalah novel teenlit terakhir yang saya baca di bulan ini. Menceritakan tentang kisah cinta segi empat di antara tokoh-tokohnya. Masing-masing karakter memiliki kisah mereka sendiri. Selain itu, mereka juga punya kesukaan yang menjadi jalan hidup mereka masing-masing: Lyn dengan lari, Kay dan Luna yang menyukai bermain piano, Ethan dengan kameranya.

Novel ini bukan hanya tentang kisah cintanya saja, melainkan berbicara tentang ambisi dan mimpi, juga bagaimana keluar dari ketakutan-ketakutan tentang masa lalu yang kurang menyenangkan. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah mereka.

Alur kisah ini bergerak maju, meskipun sesekali ada flashback juga. Hanya saja, saya merasakan kalau ceritanya sendiri berjalan begitu lambat. Namun karena disampaikan dengan apik, membuat saya tidak mati kebosanan saat membacanya. Dari segi penokohan sendiri, saya bisa merasakan bagaimana karakter-karakter ini tumbuh. Lyn yang ceria dan optimis, Ethan yang santai, Kay yang pasif dan menyimpan banyak hal dalam kepalanya, Luna yang manis. Anehnya, saya justru lebih menyukai sosok Ethan di sini ketimbang Kay. 

Novel ini dikemas cukup baik, dengan salah satu bagian ceritanya yang muncul sebagai prolog. Cukup bisa memancing penasaran pembaca, kok. Namun, hanya saja, ada banyak kesalahan penulisan di sini. Sayang sekali. Kalau harus menandai satu per satu rasanya kebanyakan. Lagi pula, saya bacanya via buku digital jadinya tidak memberikan penanda. Kalau bacanya via buku cetak, mungkin mudah menandainya di post-it. Yang kentara saja, misalnya di blurb. Atau, tentang penulisan elipsis. Ada yang dijeda dengan spasi, ada yang nyambung dengan kata selanjutnya. (Saya daftar jadi proofreader bisa nggak? *modus*)

Disampaikan melalui sudut pandang orang ketiga, membuat pembaca merasakan gemas dan kesal terhadap apa yang dipikirkan oleh masing-masing tokohnya, tapi mereka saling tidak mengetahui. Kesal juga bacanya, hahaha. Penulis berhasil membuat kesan dalam ceritanya yang bakal dikenang oleh pembaca.

Namun, di luar itu semua, saya senang membaca Sky. Jadi turut membayangkan bagaimana menyenangkannya berlari. Mengingat, saya sudah lama nggak lari. Seringnya sih, justru malah lari dari kenyataan *ehh*.

"Saat kamu sadar bahwa apa yang kamu inginkan mustahil didapatkan, mundur teratur adalah satu-satunya jalan keluar sebelum kamu terluka lebih dalam. Kamu pernah dengar ungkapan itu, Lun?"
"Tapi itu pengecut namanya, Kay." ---halaman 145


The Playlist

Judul : The Playlist
Penulis : Erlin Natawiria
Penerbit : Grasindo
Tebal Buku : 244 Halaman
Cetakan Pertama, September 2016 
ISBN : 9786023756728
Rating : 3 dari 5




Blurb:

Musik latar bukan sekadar aksesori bagi Winona. 

Ketika food writer lain memusatkan perhatian pada rasa dan tampilan, Winona akan menajamkan telinganya untuk menilai pilihan lagu di sebuah tempat makan. Baginya, lantunan melodi memberi pengaruh besar terhadap suasana hati pengunjung. Semakin sesuai musik latar dengan hidangan, semakin tinggi penilaian yang akan Winona berikan. 

Hingga kehidupan Winona berubah saat mengunjungi No. 46. Absennya musik latar dan kemisteriusan Aries mengusik benak hingga hatinya. Jerat yang coba dia lepaskan justru menariknya semakin dekat dengan pria yang menyimpan duka dan sepi yang terasa familier baginya. Belum cukup di situ, Winona pun harus berhadapan dengan Ethan—pesona dari masa lalu yang mengisi hidupnya dengan kenangan-kenangan manis. 

Di antara iringan musik latar dan hidangan-hidangan lezat, Winona harus memilih: menghadapi rasa takut yang terus dia hindari atau kembali ke tempat ternyaman yang melengahkan?

***

Winona adalah seorang food writer di YummyFood yang pekerjaannya adalah memberikan ulasan tentang restoran dan kafe yang ada di Bandung. Bersama sahabatnya, Ghina, dia menjajal satu per satu restoran di kota itu, dan memberikan ulasan tentang makanan: baik rasa maupun tampilan, juga suasana di kafe atau restoran tersebut. Karena sebelumnya dia adalah seorang peliput konser musik, Winona menambahkan komentar tentang musik latar restoran pada ulasannya. Menurutnya, itu bisa menjadi ciri khas dalam tulisan maupun ulasan yang dia buat.

Winona punya kisah cinta yang kandas bersama Ethan. Meskipun begitu, keduanya masih berusaha menjalin hubungan dengan baik. Winona masih sering meminta bantuan Ethan. Sementara, Ethan sendiri tampaknya masih ingin berbaikan dan memperbaiki hubungannya dengan gadis itu.

Suatu hari, Winona mendatangi sebuah kafe, namanya No. 46. Winona menikmati sajian yang diberikan di sana yang disajikan oleh chef-nya sendiri, pria misterius bernama Aries. Mereka mengobrol tentang kafe dan makanan. Namun, ada yang kurang dari kafe ini. Winona menyadari kalau tidak ada musik latar di sini. Ketiadaan playlist itu tentu berakibat ketidakberimbangnya ulasan tentang No. 46 di mata Winona. Akhirnya, dia mengalami writer's block, dan menuliskan ulasan dengan tidak sepenuh jiwa.

Rupanya, Aries menyadari bahwa dalam tulisan Winona tentang kafenya itu, tidak ada nyawanya sama sekali. Dan takdir mempertemukan Winona dan Aries kembali. Perlahan-lahan, sesuatu tentang masa lalu menguak satu demi satu, membuat Winona harus memutuskan apa yang akan dilakukannya, atau ke manakah hatinya akan takluk. Pada pria misterius bernama Aries, atau pesona masa lalu yang tidak bisa dilupakan begitu saja, mewujud melalui sosok Ethan.

***

Secara keseluruhan, saya suka aura yang kerasa saat membaca novel ini: ringan dan mengalir. The Playlist, bisa dibilang, mengusung tema yang tidak biasa yakni seputar pekerjaan sebagai food writer, dan konsep musik latar pada restoran atau tempat makan. Hal-hal itu biasanya luput dari pengamatan. Siapa yang tahu bahwa ternyata ada pekerjaan di balik ulasan-ulasan tentang tempat makanan kece dan enak di sebuah kota metropolitan? Dan, siapa sangka premis seputar musik latar bisa menjadi ide utama dari sebuah cerita?

Bisa dibilang, karakter yang ada di novel ini semuanya protagonis. Tidak ada sosok jahat yang benar-benar jahat di sana. Hanya ada pria-pria tampan (atau begitulah kesannya) dan seorang food writer cantik menawan yang tengah melangsungkan pekerjaannya. Dibumbui dengan kisah percintaan yang belum selesai, dan percikan-percikan pesona seorang chef misterius, maka racikan The Playlist dikemas dan dinikmati oleh pembacanya.

Sebenarnya, susah untuk membenci Winona karena tidak ada hal yang bisa membuat pembaca membencinya. Namun, dia tidak terlalu dicintai juga, menurut saya. Biasa-biasa saja. Sehingga, kesan mendalam tentang karakter utamanya bagi saya tidak terlalu kentara. Namun, untuk urusan cowok tampan, rasanya masih didominasi dengan pria setengah bule. Padahal, banyak pria dalam negeri yang ehem, cakep lho. *Lirik Refal Hadi* Dari kedua karakter pria, entah mengapa saya lebih senang dengan Ethan. Porsi Ethan di cerita ini menurut saya lebih banyak, tapi sepertinya yang ditonjolkan di blurb adalah Aries. Menurut saya karakter Aries kurang apa ya..., kurang bumbu. #eh

Sebelum masuk ke bagian yang membuat saya suka dengan novel ini, saya mau mengulas beberapa hal yang menurut saya pribadi kurang suka. Pertama, barangkali ini masalah selera: saya tidak begitu menyukai deskripsi campur Indonesia-Inggris. Kalau di percakapan, sesekali mungkin oke. Namun, kalau di deskrip, rasanya aneh. Pertama, setting-nya di Indonesia, bukan luar negeri. Kedua, barangkali dengan mencampur bahasa seperti itu, berharap mendapatkan kesan memperkuat personality si karakter yang menyampaikan. Tapi rasanya, tanpa mencampur bahasa demikian, kesan berkelas atau pintar itu bisa kok disampaikan.

Lalu, saya merasa janggal dengan plot utamanya, yang tentang "kebohongan". Hmmm, karena khawatir spoiler, mungkin pembahasan saya ini disampaikannya jadi nanggung atau setengah-setengah ya. Tapi, sebisa mungkin saya tidak akan membeberkan plot yang itu. Jadi, ada cerita tentang kebohongan mengenai ulasan Winona yang langsung dibantah oleh pihak ketiga yang merasa dibohongi. Eksekusi yang diberikan penulis untuk membuat ending dari konflik tersebut, menurut saya agak janggal. Kesannya, berlebihan. Seperti..., siapa yang peduli kalau cerita di balik suatu restoran (tentang hubungan personal keluarga yang membuat restoran itu muncul) itu tidak sesuai dengan kenyataannya? Barangkali yang tersinggung hanya orang-orang yang bersinggungan saja. Namun, kenapa harus pakai konferensi pers? Kalau misalnya dia mencuri resep sehingga ada pihak yang dirugikan, atau sesuatu itu berhubungan dengan kebohongan yang dirasakan dampaknya langsung oleh publik, barangkali bisa dieskekusi demikan. Hanya saja, rasanya konflik sesederhana itu tidak pas kalau harus melibatkan konferensi pers.

Terlepas dari kekurangan yang saya sampaikan di atas, saya senang sekali dengan bagaimana cara penulis menyampaikan ceritanya. Saya yakin, riset yang dilakukan penulis pun tidak tanggung-tanggung. Kesan dari satu restoran ke restoran lainnya langsung bisa dirasakan perbedaannya. Tentang ulasan musik-musiknya yang sedikit-banyak disinggung itu pun, juga manis. Apalagi, mengeksekusi hal-hal yang di luar pemikiran itu, rasanya patut diapresiasi. Lagi pula, profesi food writer tidak jauh-jauh dari kegiatan yang dilakukan oleh book blogger. Menikmati, lalu memberikan ulasan. Terlepas dari baik atau ada kurangnya, penulis yang sudah menciptakan karakter Winona selaku reviewer pun, rasanya bisa mengambil sudut pandang yang sama ketika mengulas atau membaca ulasan sebuah buku. Hehe.

Tiga bintang untuk kisah ringannya, dan juga buat Ethan. Ehe.


Elegi Rinaldo

Judul : Elegi Rinaldo
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Falcon Publishing
Tebal Buku : 204 Halaman
Cetakan Pertama, Desember 2016 
ISBN : 9786026051400
Rating : 4 dari 5



"Kalau ada hal yang paling aku takutin, itu adalah kehilangan kamu, tapi aku lebih takut kalau aku melewatkan kamu."

Blurb:

Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.

Jika kau berjalan ke salah satu blok, kau akan menemukan rumah yang setiap pagi dipenuhi nyanyian Rihanna. Seorang pemuda kribo yang selalu menenteng kamera tinggal di sana bersama tantenya. Dia sering kali bersikap dingin. Dia menyimpan duka. Sisa penyesalan terdalam dua tahun lalu.

Ada gadis yang menantinya, dan ingin menamai hubungan mereka yang kian dekat. Namun, pemuda itu selalu ragu. Dia menyukai gadis itu, tetapi... selalu merasa bersalah jika memberikan tempat yang sengaja dia kosongkan di hatinya. Namanya Rinaldo. Panggil dia Aldo, tapi jangan tanya kapan dia akan melepas lajang. 

***

Aldo tinggal bersama tantenya di kompleks Blue Valley. Pekerjaannya, sebagai fotografer makanan. Makanya tidak heran jika kau menemukannya selalu menenteng kamera. Usianya sudah cukup matang, membuatnya tak jarang menemukan pertanyaan kapan dia akan melepas masa lajang. 

Hanya saja, Aldo terlalu skeptis dengan yang namanya pernikahan. Dulu, dia sempat mempunyai seseorang di hatinya. Namun, sesuatu terjadi yang membuat dia tidak bisa bersatu dengan gadis yang dicintainya itu. Apalagi, jika dia mencoba mencari pendamping baru, dia selalu dihantui perasaan bersalah. Keadaan itu, memberinya trauma mendalam tentang menjalin sebuah hubungan.

Suatu hari, dia mendapatkan pekerjaan untuk memotret makanan di sebuah kafe bernama UNO. Di sana, dia berkenalan dengan seorang chef menyebalkan. Sebagai seorang fotografer makanan yang bekerja secara profesional, Aldo wajib menjaga hubungan baik dengan koki tempat dia memotret. Menurutnya, dia perlu mendapatkan banyak sentuhan pribadi pada hasil jepretannya. Namun, kalau dia tidak bisa menjalin hubungan baik dengan chef yang bernama Jenny itu, Aldo merasa bahwa pekerjaannya di UNO tidak akan berjalan mulus.

Setelah menggantikan tantenya ke sebuah pernikahan, tanpa disangka dia bertemu dengan Jenny di sana. Karena tidak ada seorang pun yang dikenalinya selain Jenny, dia berinisiatif untuk memulai obrolan, hitung-hitung memperbaiki hubungan dengan rekan kerjanya itu. Saat sedang menunggu jemputan Jenny datang, mereka mengobrol di trotoar, tentang pernikahan. Aldo terkejut mendapati Jenny sepemikiran dengannya tentang konsep pernikahan. Yang pada akhirnya, membuat keduanya bisa juga menjadi akrab.

Aldo menemukan sesuatu yang unik dari Jenny. Gadis itu berhasil mematahkan pemikirannya seputar menjalin sebuah hubungan. Meskipun, pendapatnya mengenai pernikahan, tidak begitu saja bisa dia ubah. Trauma masa lalu karena takut kehilangan menghantuinya, bahkan hingga saat ini, dua tahun setelah peristiwa itu terjadi.

***

Kesan pertama saya saat membaca buku ini..., ini adalah sebuah buku yang ringan. Mengejutkan bahwa sebuah buku yang ringan, banyak mengambil setting dan unsur keseharian yang biasa banget, menjadi sebuah karya yang unik, menarik, dan manis. Ceritanya biasa saja, tidak ada konflik yang begitu bombastis. Namun, di tangan yang tepat, cerita biasa tentang kehidupan sehari-hari bisa menjadi sesuatu yang manis. Kisah-kisah seperti obrolan di trotoar (scene yang paling saya suka), di teras indekos, di tempat-tempat makan yang biasa (bukan restoran mewah serba wah), bahkan di rumah dengan karakternya berbalut daster kuning (kayak Pikachu *heh*), berhasil disajikan dengan memikat. Membuktikan bahwa tidak butuh yang "luar biasa" untuk menciptakan sesuatu agar menjadi "luar biasa". 

Untuk karakter Aldo sendiri, saya mendapatkan sosok yang apa adanya (meskipun penampilan fisiknya si Aldo ini berambut keribo, entah mengapa saya selalu terngiang-ngiang penulisnya yang menjelma menjadi Aldo, ya? #eh). Biasa namun istimewa. Keistimewaan karakter ini adalah dari kesederhanaan dan tampilan biasanya itu. Pun begitu juga dengan Jenny, yang tampil seperti karakter-karakter manusia pada umumnya. Jenny punya pemikiran yang pada suatu saat, membenturkan dia untuk mengubah pandangannya tersebut, dan bagaimana cara dia meyakinkan orang lain untuk keluar dari pemikiran mereka pula. Dalam hal ini, Aldo dan pandangannya tentang pernikahan. Karakter dia begitu dinamis, dan mengalami perubahan dengan disertai alasan logis mengapa dia seperti itu.

Untuk tema sendiri, tentang alasan mengapa seseorang memutuskan untuk tidak menikah, rasanya cukup masuk akal. Apalagi, tentang ketakutan menjalani hubungan karena takut hal-hal di masa lalu yang pernah dialami kembali datang. Ketakutan-ketakutan seperti itu kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Dan memang, butuh proses yang tidak mudah untuk bisa keluar dari itu.


Saya mendapatkan buku ini hadiah dari tantangan menulis yang diberikan Kak Jia Effendie. (Kalau mau baca, ini dia cerpen saya yang menang tantangan menulis itu :D Baca: Sungkawa Naya). Meskipun bukan pemenang utama, tapi rasanya senang sekali dapat buku ini. Apalagi, dari kelima seri Blue Valley, saya memang kepingin baca bukunya Bara (meskipun sekarang lagi berburu yang lainnya. Sudah punya Asa Ayuni, tinggal tiga lagi nih, barangkali ada yang mau kasih *kode*). Terima kasih kepada Kak Jia, dan Penerbit Falcon untuk hadiah bukunya. Saya senang sekali. Meskipun saya sudah selesai membacanya akhir tahun lalu, tapi baru sempat membuat ulasan lengkapnya sekarang. Soalnya, sebulanan ini fokus sama menyelesaikan tantangan, ehem, ada deh pokoknya. :D 

Sekali lagi, terima kasih atas kesempatannya untuk bisa menikmati Elegi Rinaldo ini. Empat bintang saya sematkan untuk kisahnya yang ringan dan juga manis.



Jogja Jelang Senja

Judul : Jogja Jelang Senja
Penulis : Desi Puspitasari
Penerbit : Grasindo
Tebal Buku : 228 Halaman
Cetakan Pertama, Mei 2016 
ISBN : 9786023754830
Rating : 4 dari 5




"Jangan berpindah agama hanya demi alasan manusia, Mas. Terlebih-lebih cinta." ---halaman 2

Blurb:

Senja di Jogjakarta menawarkan banyak kemungkinan; di antara terang menuju petang; di antara pertemuan dan perpisahan; di antara Aris dan Kinasih.

Aris bertemu Kinasih di pertigaan Pasar Kotagede, saat secara tak sengaja ia menabrak sepeda gadis itu. Sejak kejadian itu, Aris mengantar jemput Kinasih ke tempat kerja, sebab kaki gadis itu terluka, sementara ia belum mampu membayar biaya ganti kerusakan sepeda.

Kedekatan keduanya menumbuhkan cerita baru. Ketika Aris ingin menggenggam erat tangan Kinasih, saat itu pula perbedaan keyakinan menjadi tembok bagi keduanya. Bisakah Aris dan Kinasih melewatinya? 

***

Kinasih adalah seorang gadis perajin perak. Sementara, Aris adalah pemuda yang kesehariannya bekerja di sebuah surat kabar. Keduanya bertemu saat terjadi insiden tabrakan sepeda. Aris yang terburu-buru mengejar liputan tentang pasar Ramadhan, menabrak sepeda Kinasih. Akibatnya sepeda itu rusak. Namun, Aris tidak memberikan pertanggungjawabannya atau kompensasi apa pun karena dirinya dikejar deadline penulisan laporan dan harus segera pergi. Lagi pula, dia belum gajian. Akhirnya, dia hanya memberikan secarik kartu nama tempat dirinya bekerja. Asih yang dongkol karena sepedanya rusak dan lengannya yang terluka hanya mampu menyembunyikan itu dari orangtuanya.

Karena terdesak, akhirnya Kinasih mendatangi tempat kerja Aris. Dan lagi-lagi, dia tidak mendapatkan ganti rugi untuk memperbaiki sepedanya. Karena tidak mau mangkir dari tanggung jawab, Aris memberikan opsi agar dia mengantar Kinasih setiap hari ke tempat kerjanya. Meskipun harus memutari kota Jogja karena lokasi mereka tidak berdekatan, mau tidak mau itulah yang musti dia lakukan.

Dari situlah hubungan keduanya semakin dekat. Diam-diam, Kinasih jatuh hati pada Aris. Namun, ada satu hal yang membentang di antara keduanya. Aris dan Kinasih beda agama. Kinasih yang anak seorang pemuka agama di kampungnya, sementara Aris adalah pemuda Katolik. Ditambah lagi, kehadiran Jeanette, seorang gadis eksektrik anak Jendral dari ibukota yang seiman dengan Aris, turut mewarnai kisah di antara mereka.

Tidak hanya itu saja, konflik yang turut mewarnai kisah ini adalah pergolakan masa rezim tahun 1995-1996 yang begitu kentara. Membuat cerita Jogja Jelang Senja tidak hanya berdimensi konflik cinta segitiga beda agama semata.

***

"Mas, beragama itu tak seperti mengenakan sepatu. Mas kenakan sepasang untuk sekian waktu, bila sudah usang atau memiliki sepasang yang baru Mas copot dan tinggalkan yang lama." ---halaman 185


Bab awal (dan akhir) yang fantastis.

Sejujurnya, saya merasa ketipu saat memaca novel ini. Ketipu habis-habisan. Saya pikir novel ini bercerita tentang roman-roman biasa, kontemporer, ala-ala FTV yang ketemunya tabrakan lalu dibungkus dengan konflik perbedaan agama. Ternyata saya salah besar. Bumbu tentang pergolakan medio 90-an justru lebih kerasa ketimbang plot seputar perbedaan keyakinan tokohnya. Saya baru sadar waktu cerita tentang Marsinah dibahas. Padahal, karakternya naik sepeda dan waktu mau buat berita nulisnya pakai mesin ketik (sense saya sudah luntur banyak ini kayaknya).

Jadi, tersebutlah seorang Aris, pemuda Katolik, mahasiswa yang mengerjakan pekerjaan sambilan sebagai jurnalis sekaligus informan pergerakan. Dia baru saja menabrak Kinasih, seorang gadis lugu anak bapak pemuka kaum di tempat tinggalnya, pekerja di pengrajin perak. Karena sepeda Asih rusak, dan Aris tidak punya cukup uang sampai gajian bulan depan, mau tidak mau Aris harus mengantar-jemput Asih setiap hari. Dari situ, Asih yang selama ini selalu menolak pria-pria yang hendak melamarnya itu, jatuh hati pada Aris yang notabene berbeda keyakinan dengannya.

(Sampai di sini, cerita cukup klise dan lumayan membosankan)

Untunglah, penyelamat kebosanan ini disematkan kepada Jeanette, gadis nyentrik anak jendral besar dari Jakarta yang sedang berlibur ke Jogja. Tidak hanya berlibur, gadis cantik itu bermaksud untuk menemukan petualangan cintanya. Dan bertemulah dia dengan Aris, pemuda di balik tulisan yang cerdas dan kritis di surat kabar tempatnya bekerja.

Cerita ini mengingatkan saya dengan film yang dibintangi Reza Rahadian dan Laura Basuki, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Tentang kisah cinta beda agama. Namun, karena di novel ini yang begitu kentara adalah pergolakan yang terjadi di tahun itu, maka yang berhasil mencuri perhatian saya adalah aktivitas Aris bersama dengan kawanannnya. Salut bagaimana penulis bisa mengemas dua plot penting dan sama-sama beratnya itu menjadi padu dalam sebuah cerita. Apalagi, embel-embel kota Jogja yang diusung dalam judulnya, terasa begitu dekat, membuat pembaca ikut terlempar dalam setting kota Jogja di tahun 1995-1996. Kesangsian saja dengan novel ini begitu sirna. Meskipun, tidak ada benang merah antara kisah ini dengan Jakarta Sebelum Pagi selain kesamaan pola penulisan judulnya. Good job! Saya tidak merasa menyesal ketipu di tempat yang benar.

...karena bagiku, Yogyakarta adalah kangen dan pulang. ---halaman 149

Untuk ending kisah cinta yang mengangkat perbedaan agama, penulis cukup berimbang dalam memilih eksekusi akhirnya.

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)