The Puppeteer


Judul : The Puppeteer
Penulis : Jostein Gaarder 
Penerbit : Mizan
Tebal Buku : 352 Halaman
Cetakan Pertama, September 2017
(versi bahasa asli, terbit perdana Maret 2016)
ISBN : 9786024410247
Rating : 4 dari 5




Blurb:

Jakop Jacobsen namanya. Pria biasa dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Teman terdekatnya adalah Pelle Skrindo, bajak laut yang suka datang dan pergi sesukanya. Hobinya adalah menghadiri pemakaman, dan sahabat pena tersayangnya adalah Agnes. Kepada Agnes, dia mengisahkan berbagai pemakaman yang dia ikuti, juga kesan-kesan tentang keluarga para almarhum.

Jakop hidup sendiri. Dia senang berbagi kisah. Sayang, dia hanya punya Pelle sebagai teman berbagi. Tetapi, Pelle lebih sering membantahnya daripada mendengarkannya. Karena itu, Jakop suka menghadiri pemakaman, berbagi emosi sesaat dengan keluarga yang berduka, meski dia harus mengarang kebohongan tentang bagaimana dia mengenal para almarhum. Tapi akhirnya, dia ketemu batunya. Keberadaan Agnes pada saat dia menghadiri suatu pemakaman membuatnya tak lagi bisa mengarang kisah dusta. Demi mempertahankan koneksi dengan Agnes, Jakop harus menguak siapa dirinya sebenarnya. Sanggupkah Jakop? 

The Puppeteer, karya terbaru Jostein Gaarder, mengajak pembacanya merenung tentang kesendirian, pertemanan, serta tentang mencari tempat dan tujuan dalam kehidupan di dunia ini. Mengharukan dan menggugah empati.

***

Catatan: Mungkin akan spoiler, karena saya tidak tahu harus menuliskan apa selain kesedihan Jakop yang menyayat hati itu (dan itu termasuk bagian yang mungkin bakal spoiler dalam kisah ini).

Jakop adalah seorang pria yang bisa dikatakan kesepian. Dalam sepinya, dia memiliki teman bernama Pelle. Dia juga memiliki kebiasaan unik mengikuti prosesi pemakaman. Kebiasaan itu bermula dari kegiatan isengnya untuk menghadiri pemakaman yang diumumkan di surat kabar. Betapa dia menikmati atmosfer berkumpulnya keluarga besar saat adanya kematian. Orang yang akan mengenang mendiang, banyak yang datang memberikan penghormatan. Semua itu tidaklah didapatkan Jakop dalam hidupnya. Dia lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu, dengan ayah yang hanya datang sesekali. Pergunjingan orang-orang di desanya berlangsung lama. Tidak hanya seputar ayahnya dan status perkawinan ibunya yang tidak jelas itu. Saat kecil, Jakop suka bermonolog dengan Pelle, yang adalah sebuah boneka tangan. Dengan Pelle, Jakob bisa mengeluarkan isi hatinya yang tak bisa dilisankan olehnya sendiri. Saat remaja, dua orang gadis menangkap basah dirinya yang sedang ngomong dengan boneka, dan berita itu tersebar luas hingga Jakop harus menahan diri dari upaya pembullyan terhadapnya.

Namun, Jakop hidup dengan pembuktian bahwa dirinya akan sukses. Dia menjadi seorang guru dengan minat yang besar terhadap hubungan kekerabatan antara suatu kata dari berbagai bahasa. Minatnya berkembang sejalan dengan risetnya terhadap orang-orang yang ditakziyahinya. Jakop perlu mengaitkan dirinya dengan mendiang, makanya dia perlu memiliki hubungan yang bisa dikarangnya terhadap orang tersebut. Dia juga membuat dokumentasi atau semacam arsip pribadi tentang orang-orang yang dikunjunginya, yang dia dapatkan dari iklan koran. Jakop meletakkan potongan koran itu di dalam kotak cerutu yang disimpannya di lemari kamar.

Kesendirian bisa terasa sepi bagi orang yang menjalaninya. Namun menurutku, itu lebih baik daripada hidup dalam keberduaan. Kalau orang hidup sendiri, setidaknya dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Aku membayangkan bahwa kebebasan lebih mudah hidup dalam keluarga besar ketimbang dalam perkawinan yang sempit. ---halaman 188

Jakop pernah menikah, hanya saja pernikahannya tidak berlangsung lama. Sang istri tidak dapat menerima perilaku Jakop yang tidak biasa. Pada akhirnya, Jakop kembali sendiri dan menjalani kebiasaannya berdialog dengan Pelle dan menghadiri pemakaman. Jakop sudah menyiapkan argumentasi andai saja ada yang bertanya tentang hubungannya dengan sang mendiang. Hanya saja, epandai-pandainya tupai melompat, ada kalanya tergelincir juga. Jakop terpaksa menelan pil pahit kebohongannya saat Agnes, adik bungsu salah satu orang meninggal yang ditakiziyahinya membongkar kebohongan itu. Ada satu fakta yang luput dari perhatian Jakop yang tak dapat dielakkan dari kisah fiktifnya itu.

Kepada Agnes, Jakop menuliskan surat panjang tentang kisah hidupnya, rahasia kelamnya, dan kebiasaan unik Jakop saat menghadiri pemakaman demi pemakaman dalam hidupnya.

"Sekarang aku mengerti. Aku tidak sanggup lagi membayangkan menjadi tamu tak diundang dalam kehidupan orang lain." ---halaman 316

***

Seperti halnya ciri khas tulisan Gaarder, di sini saya menemukan konsep surat seperti yang muncul pada beberapa judul novel sebelumnya, seperti pada Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken atau Gadis Jeruk. Saya juga masih merasakan keprihatinan mendalam Gaarder pada kerusakan lingkungan, yang masih muncul meskipun sekilas di buku ini. (Tema itu menjadi perhatian Gaarder pada novelnya yang berjudul Dunia Anna yang menceritakan tentang pemanasan global, juga pada Maya.)

Menyenangkan rasanya, mengikuti tulisan Gaarder lintas waktu, dari mulai membaca novelnya yang ber-setting 1998 (era sebelum milenium), hingga masa sekarang di mana tokohnya menggunakan Instagram. Menyimak dongeng filsafatnya yang indah sejak Gadis Jeruk hingga The Puppeteer. Saya senang dengan bukunya, merangkai banyak sekali makna dan pengetahuan baru. Menggugah naluri, tak jarang mengubah cara pandang dan persepsi. Apalagi, dalam buku ini, mengangkat tema tentang seorang "dalang", atau "penggerak" cerita. Sebuah tema yang sangat dekat dengan saya pribadi. Beberapa tahun terakhir, saya adalah seorang Puppet Master, alias penggerak suatu karakter dalam dunia role-playing.

Aku tidak pernah meragukan bahwa Pelle sendirilah yang berbicara saat kami bercakap-cakap. Dia cuma harus meminjam suaraku. ---halaman 153

Meskipun berbeda dengan permainan yang dilakoni Jakop dan Pelle Skrindo, tapi esensi dunia role-playing tetap sama. Seseorang (di dunia nyata) memberikan jiwa, pikiran, dan hatinya pada sebentuk benda mati. Tak jarang, tokoh fiksi itu menggerogoti bahkan merusak kehidupan nyata si dalang atau si penggerak. Hanya saja, dalam kesendiriannya yang memilukan, Jakop terjerumus dalam dunia yang dikarangnya terlalu dalam, hingga ia bahkan mengorbankan kehidupan nyatanya. Dalam sekali buku ini berpengaruh bagi saya.

Kenapa tidak bintang lima seperti kebanyakan buku Gaarder lainnya? Ada sedikit kebingungan memahami permainan Jakop dan kegemarannya dalam mengaitkan "keluarga" makna sebuah kata, di mana, barangkali, akan sangat menyenangkan jika saya bisa memahaminya dalam bahasa ibu Gaarder. Saya angkat topi dengan kemampuan penerjemah dalam menerjemahkan naskah ini. Pasti sulit, mengingat kontennya menurut saya kurang "bersahabat" dengan bahasa lokal atau bahasa yang menjadi terjemahannya. Namun, meskipun kesulitan dan kebingungan, saya masih dapat menangkap makna dan maksud dari apa yang disampaikan Gaarder pada tokohnya.

Sehat-sehat terus, Opa, supaya bisa terus berkarya. Saya menantikan buku-buku Gaarder selanjutnya.

Falling into Places

Judul : Falling into Places
Penulis : Amy Zhang 
Penerbit : POP
Tebal Buku : 327 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2016
(versi bahasa asli, terbit perdana September 2014)
ISBN : 9786024241995
Rating : 5 dari 5




Blurb:

Di hari ketika Liz Emerson mencoba bunuh diri, Hukum Gerak Newton dibahas di kelas Fisika. Kelembaman, gaya, massa, gravitasi, kecepatan, percepatan... semua itu belum masuk benar ke kepalanya, tetapi seusai sekolah Liz mempraktikkan hukum-hukum itu dengan melajukan mobilnya ke luar jalan raya.

Kini Liz terbaring sekarat di rumah sakit, dan dia bisa meninggal kapan saja. Seperti halnya Liz tidak memahami Hukum Gerak Newton, orang-orang juga tidak memahami kenapa kejadian nahas ini menimpa Liz Emerson, gadis paling populer dan paling tangguh di Meridian. Tetapi aku paham. Aku bersamanya sewaktu mobil menabrak pagar pembatas jalan dan berakhir di dasar bukit. Aku paham kenapa kami jatuh bebas di tempat itu di minggu ketiga bulan Januari. Aku tahu alasan Liz mengakhiri hidupnya. Aku paham kesedihan yang dialami Liz, alangkah kesepiannya dia dan betapa hancur hatinya.

Setiap aksi menghasilkan reaksi. Namun Liz Emerson tidak perlu lenyap dari dunia ini, bukan? 

***

Amy Zhang benar-benar menerapkan konsep Hukum III Newton saat menuliskan buku ini; hukum sebab-akibat. "Setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah."

Sewaktu membaca paragraf awal buku ini, saya sudah disuguhkan dengan pembukaan spektakuler seperti ini:

Di hari ketika Liz Emerson mencoba bunuh diri, Hukum Gerak Newton dibahas di kelas Fisika. Kemudian, seusai sekolah, Liz mempraktikkan hukum-hukum itu dengan melajukan Mercedes-nya ke luar jalan raya.

Setelahnya, upaya evakuasi dan penyelamatan Liz disampaikan dengan teknik show yang memikat, meninggalkan kesan nyata beserta kepanikan, ketakutan, kecemasan, yang mengikutinya. Bagaimana nasib Liz? Apakah upayanya mengakhiri hidup bakal berhasil? Atau justru dia masih akan hidup lebih lama lagi? Yang jelas, sebuah panggilan telepon ke kantor polisi berhasil mencegah keadaan menjadi semakin fatal. Meskipun, berada di antara hidup dan mati dengan keyakinan untuk bertahan yang setipis kulit ari, rasanya menyedihkan.

Alur cerita bergerak maju dan mundur dengan penceritaan yang menarik, menguak sisi kehidupan Liz seolah seperti mengupas bawang. Pembaca dibawa mengenal Liz Emerson, seorang pelajar populer di Meridian, sosok yang dinilai sempurna oleh kawan-kawannya. Pembangkang, penguasa, dan segala hal sematan lainnya yang membuat Liz dan kedua temannya, Julia, dan Kennie, menjadi dikenal seantero sekolah. Apa yang membuat Liz memutuskan bunuh diri? Kesepian. Bagaimana Liz bisa merasa kesepian jika dia dikelilingi oleh sahabat yang menyayanginya, dan Liz sering berpindah dari satu keramaian ke keramaian lain? Satu pesta ke pesta lainnya? Mengapa Liz bisa memutuskan mengakhiri hidupnya hanya karena perkara se-"cemen" kesepian? Barangkali itulah yang ingin disampaikan penulis kepada karakternya. Bahwa pembaca seolah dibawa untuk "menghakimi" karakter Liz yang seperti itu. 

Namun, ketika pembaca dibawa untuk mengenal Liz lebih dalam, tentang peristiwa-peristiwa yang mengguncang kehidupannya, Liz yang semena-mena berubah menjadi Liz yang lain, sosok yang selama ini ditutupinya, yang tidak ingin diketahui orang lain. Hukum sebab-akibat membentuk Liz menjadi dirinya sekarang. Cerita tentang mendiang ayahnya, seorang teman masa kecil korban perisakan yang turut membentuk karakternya, apa yang terjadi dengan orang-orang dekatnya, pada kedua sahabatnya, dan banyak kisah-kisah lainnya. Seorang yang terlihat cerita, bahagia, tapi jiwanya kosong. Dia kesepian, dan malangnya, pembaca dapat turut merasakan bagaimana Liz menjalani kehidupannya dalam sepi. Bahkan dalam setiap keputusan-keputusan yang dipikirkannya, ada gejolak yang bisa dirasakan pembaca saat menyelami kisah Liz.

Sampai pada akhirnya, Liz merasa bahwa dirinya tidak pantas berada di atas bumi dengan milyaran manusia baik lainnya. Semua perilakunya seolah menggema di dalam isi kepalanya. Segala yang terjadi atas campur tangannya muncul dalam kesepian-kesepian yang mencekamnya itu. 

Liz tidak menyadari bahwa reaksi yang sama besar dan berlawanan arah adalah ini: setiap perbuatan kejam, jahat, dan dengki yang pernah Liz lakukan terpental kembali kepadanya.

Padahal, hidup tidak sesederhana itu. Bahwa banyak hal yang terjadi, bahkan lebih rumit ketimbang penjelasan tentang hubungan sebab-akibat yang muncul di sana.

Saya acungkan jempol dengan kepiawaian penulis dalam menceritakan kisahnya. Saya bahkan enggan membaca buku ini sepintas lalu. Karena setiap paragrafnya benar-benar berisi, hingga sayang untuk melewatkannya begitu saja. Cara penulisannya mengajarkan saya bagaimana mengolah cerita dengan teknik show yang baik. Semuanya bermakna. Apalagi, menjelaskan sebuah cerita remaja (yang bahkan nggak suka-suka amat sama Fisika) dengan bumbu teori Fisika tentang Hukum Gerak Newton. Penulis bahkan membagi bukunya (secara tidak langsung) dalam tiga tahapan. Yang pertama, tentang Hukum I Newton:

Benda yang diam akan tetap diam, dan benda yang bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan, kecuali ada gaya luar yang bekerja padanya.

Ini merujuk pada keadaan konstan dalam hidup Liz, yang berkaitan dengan hukum kelembaman, atau keadaan menolak perubahan. Lalu beranjak pada Hukum II Newton:

Gaya sama dengan laju perubahan momentum dibagi perubahan waktu. Untuk massa tetap, gaya sama dengan massa dikali percepatan.

Menjelaskan keadaan Liz, di mana dia berupaya untuk melakukan "sesuatu" sebagai upaya menghilangkan dirinya, dan kejahatan atas tangannya. Sayangnya Liz melakukan sesuatu yang salah. Dan yang terakhir, Hukum III Newton:

Setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah.

Bahwa secara kasatmata, sesuatu erat kaitannya dengan hukum sebab-akibat. Meskipun begitu, Mr. Eliezer memberikan sebuah kalimat penutup dalam sesi mengajarnya: 

"Hidup ini lebih dari sekadar sebab dan akibat."

Liz perlu tahu itu.

Terlepas dari erat kaitannya novel ini dengan Fisika, sesuatu yang menjalin love hate relationship dengan saya, buku ini SANGAT bagus! Disajikan dengan sudut pandang tak biasa (yang mengingatkanku pada film Inside Out), alur maju-mundur yang apik dan mengesankan, serta berhasil membawa pembaca merasa dekat dengan perasaan para tokohnya. (Apalagi ada fisika-fisikanya kan ya, jadi makin jatuh hati dengan buku ini! Dan yah, kapan lagi saya bikin ulasan sambil nyerempet-nyerempet bahas Hukum Newton kan yaaa XD) Bintang lima untuk bukunya! Kalau perlu, pinjam bintang tetangga buat nambahin lagi bintangnya =))

Saya jadi kepingin balik ke masa SMA kalau guru Fisikanya seperti Mr. Eliezer ini :D Dan juga kepingin dengar cerita tentang Liam lebih banyak lagi! (Siapa itu Liam? Baca saja buku ini untuk menemukan jawabannya ;) 

Orbit Tiga Mimpi

Judul : Orbit Tiga Mimpi
Penulis : Miranda Malonka 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 380 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2017
ISBN : 9786020332048
Rating : 4 dari 5




Blurb:

Alejandro, terobsesi dengan benda-benda angkasa dan bertekad menang olimpiade astronomi. Tapi, bagaimana dia bisa menang kalau pelajaran matematika justru membuatnya merana? Asterion, vokalis band yang selalu cerah ceria dan tidak pernah menangis. Tak ada yang tahu dia menyembunyikan banyak rahasia di balik suara merdunya. Angkara, senang menghabiskan waktu untuk merenung dan menulis puisi tentang bintang-bintang. Tapi, seluruh dunia ingin dia mengubah gaya menulisnya. Ketiga orang yang sangat berbeda ini dipersatukan oleh kelompok belajar yang dipilih sesuai urutan absensi kelas. Meski awalnya canggung, ketiganya menemukan diri mereka mengorbit satu sama lain. Namun, ketika perasaan saling suka melesat bagai meteor, ditambah keresahan atas identitas diri, akankah orbit mereka terus berputar atau malah hancur lebur?

***

Saya membaca novel karya Miranda Malonka sebelumnya, yaitu Sylvia's Letters, dan saya menyukainya. Gaya penceritaan di Sylvia's Letters yang tidak biasa dan jalan cerita memukau, membuat saya mengatakan bahwa ingin membaca karya lain penulis, yang penyampaian ceritanya tidak melalui media surat. Orbit Tiga Mimpi menjawab rasa penasaran saya, apakah saya bakal menikmati karya Miranda Malonka jika disajikan dengan gaya penceritaan yang normal. Hasilnya, saya suka dan puas dengan buku ini.

Orbit Tiga Mimpi menyajikan premis yang mirip dengan novel yang pernah saya baca sebelumnya, berjudul Starlight. Tanpa bermaksud membandingkan karena memang setiap buku memiliki kisahnya masing-masing, tapi kedua novel remaja ini mempunyai kisah yang sama. Tentang kesukaan dengan dunia astronomi, dan tokohnya disatukan oleh tugas kelompok. Alejandro si cowok satu-satunya dalam kelompok itu, berbagi kisah dengan Angkara alias Kara, yang mulanya dikira seorang anak laki-laki tapi ternyata perempuan, dan teman duduknya. Mereka juga berteman dengan Asterion, seorang anak perempuan lainnya, yang dari namanya saja sudah memikat Ale. 

Ketiganya memiliki mimpi. Ale dengan kecintaannya pada dunia astronomi (tapi tidak pandai matematika) dan biologi, Angkara yang memiliki kesukaan dengan puisi bertemakan alam semesta, dan Asterion yang pandai bernyanyi. Mereka mengorbit bersama, saling menggapai mimpi. Hanya saja, ketika perasaan bercampur-baur dengan persahabatan, tidak selamanya planet mereka berputar dan mengorbit.

***

"Manusia memang aneh banget. Mereka membuat rencana-rencana seolah hidup ini akan berlangsung selamanya." ---halaman 127


Saya menemukan sesuatu yang berbeda dengan novel ini. Disajikan oleh tiga sudut pandang yang berbeda, menggunakan orang pertama, membuat kisahnya dalam. Kita diajak mengintip isi kepala tiga tokohnya yang berbeda, tapi mempunyai benang merah yang sama. Ketiga karakternya menarik, dan tidak biasa. Ale yang senang mengamati dunia makroskopis dan mikroskopis, lalu Kara yang suka menulis tapi dihadapkan realita bahwa dia tidak bisa selalu menuliskan apa yang diinginkannya saja. Aster dengan segala permasalahan berkaitan dengan keluarga dan hal-hal aneh dalam hidupnya. Mereka kian dekat, untuk membuktikan pada siapa seharusnya cerita cinta ini tertambat. Lalu tentang jati diri, pencarian makna hidup, dan masa depan. Tidak selamanya tiga planet akan mengorbit bersama.

Saya pernah membaca tulisan Miranda Malonka tentang dia yang lebih senang menuliskan setting tempat secara abstrak. Seperti saat menuliskan Sylvia's Letters dia tidak menyebutkan settingnya, meskipun nuansa kota Jakarta kental di sana. Ternyata, pola serupa diterapkannya di sini. Selama membacanya, saya jadi menerka-nerka, kota manakah yang menjadi latar cerita ini. WITA, dekat pantai, langitnya bisa dengan mudah melihat bintang. Terlebih, ibu Ale yang berdarah Spanyol. Apakah setting-nya di Bali? Saya menebaknya demikian. Membuat cerita berlatar samar begini, sebenarnya membuat pembaca mengimajinasikan sendiri di mana atau bagaimana suasana yang dibangun. Bagi saya tidak masalah, justru bagian menebak-nebaknya itu yang seru.

Secara keseluruhan, kisah ini bagus. Apalagi perlakuan Ale yang memberikan hadiah tak terduga oleh siapa pun itu, benar-benar mengejutkan dan di luar kotak. Juga tentang pemberian seseorang yang ternyata dipakai untuk melihat sesuatu dengan orang yang bukan dia (ini kalau saya deskripsikan secara detail tentu akan spoiler sekali), bikin nyesek. Duh, jadi ingat bagaimana pertama kali merasakan naksir seseorang, melakukan apa pun demi menyenangkan orang yang kita sukai, lalu patah hati karenanya.

"Dengan beitu kita bisa belajar bahwa dunia ini nggak berhenti berputar untuk menontonmu menangis dan meratap. Juga, kita nggak akan bisa memaksa dunia menghapus air matamu dan mengasihanimu." ---halaman 140

The Storied Life of A.J. Fikry

Judul : The Storied Life of A.J. Fikry --- Kisah Hidup A.J. Fikry
Penulis : Gabrielle Zevin 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 280 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2017
(versi bahasa asli: Desember 2014)
ISBN : 9786020375916
Rating : 4 dari 5





Blurb:

"Manusia tidak bisa hidup sendiri; setiap buku membuka jendela dunia." 

Hidup A.J. Fikry jauh dari yang diharapkannya. Istrinya meninggal, penjualan di toko bukunya merosot tajam, dan hartanya yang paling berharga, koleksi puisi Poe yang langka, baru saja hilang dicuri. Pelan tapi pasti, A.J. menjauhkan diri dari semua orang di Pulau Alice. Bahkan ia tak lagi menemukan kegembiraan dari buku-buku di tokonya. Ia malah menganggap buku-buku itu sekadar penanda bahwa dunia telah berubah begitu cepat. Tetapi kemudian sebuah paket misterius muncul di tokonya. Paket itu kecil, meski bobotnya lumayan. Kemunculannya memberi A.J. kesempatan untuk membuat hidupnya lebih baik dan melihat semua hal dengan perspektif berbeda. Tak butuh waktu lama bagi orang-orang di sekitar A.J. untuk menyadari perubahan dalam dirinya. Ia tak lagi pahit, buku kembali menjadi dunianya, dan semua hal berubah menjadi sesuatu yang tak ia duga akan terjadi dalam hidupnya.

***

Kita membaca untuk mengetahui kita tidak sendirian. Kita membaca karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak sendirian. ---halaman 263

A.J. Fikry adalah pria paruh baya pemilik satu-satunya toko buku di pulau tempatnya tinggal. Sejak peristiwa meninggalnya sang istri setelah mengantarkan penulis selepas acara jumpa penulis di toko bukunya. Setelah itu, kehidupannya berantakan. A.J. menjadi pria sinis yang pernah berlaku tidak sopan kepada seorang wanita dari penerbitan yang membawakan katalog buku milik perusahaannya. A.J. suka meminum minuman keras yang suatu hari akan disesalinya. Ia kehilangan buku langka milik Edgar Allan Poe saat sedang mabuk. Buku itu diperkirakan harganya lebih mahal dari seluruh buku yang dijualnya.

Ada yang datang, ada yang pergi. Setelah peristiwa kehilangan yang menggegerkan tersebut, A.J. kedatangan sesuatu yang misterius di toko bukunya; seorang bayi. Keesokan harinya, kepolisian menemukan jasad seorang wanita muda di mercusuar yang disinyalir adalah ibu dari bayi tersebut. Ia bernama Maya. Dan kehadiran Maya dalam kehidupan A.J., menjadikan hidupnya lebih berwarna, dan lebih baik lagi. Dengan adanya Maya, A.J. yang semula pesimistis dan seorang yang membosankan, menjadi lebih terbuka. A.J. jadi akrab dengan seorang opsir polisi di pulau itu, yang kemudian menjadi teman baiknya. Dan pada akhirnya terhubung dengan wanita yang mengisi lembaran kisah percintaannya.

Yang menarik dari kisah ini, bukan hanya suguhan plotnya yang tidak biasa dan mengejutkan. Namun, mengikuti keseharian hidup A.J. sebagai seorang pencinta buku, dengan toko buku yang dikelolanya, justru menambah kesan terhadap novel ini. Tentang mengapa pada akhirnya ia memutuskan menjadi pengelola toko buku kecil, lalu pandangannya terhadap buku-buku (yang menjadi penanda awal babak dalam buku ini), dan masih banyak lagi. Lalu, ada pula yang menarik, ketika A.J. menilai seseorang berdasarkan buku:

"Jika Jenny itu buku, ia adalah buku paperback yang baru saja dikeluarkan dari kardus--tidak ada halaman yang dilipat sebagai penanda, tidak ada bekas air di halamannya, tidak ada garis tanda pernah dibuka di punggung buku. A.J. lebih menyukai pekerja sosial yang tampak berpengalaman. Ia membayangkan sinopsis di belakang kisah Jenny: saat Jenny yang penuh semangat dari Fairfield, Connecticut, menerima pekerjaan sebagai pekerja sosial di kota besar, dia tidak tahu dunia seperti apa yang dimasukinya" ---halaman 69

Atau, kalimat yang diberikan A.J. saat melamar wanita yang dicintainya:

"Aku bisa menjanjikanmu buku, percakapan, dan hatiku seutuhnya." ---halaman 165

Buku ini menjadi menarik, mungkin karena sebagai pembaca yang mempunyai kesukaan yang sama dengan para tokohnya, saya jadi merasa konek dan sepakat dengan beberapa pernyataan sang tokoh dalam kisah ini. Contohnya, misalnya, saat Amelia Loman berkencan dengan seorang pria, dan ia menanyakan buku apa yang memengaruhi kehidupannya. Pria itu menjawab, "Prinsip-Prinsip Dasar Akuntansi bagian II." Dari sana Amelia bisa menyimpulkan bahwa pria itu tidak menyukai sastra. Bagaimana ia bisa hidup dengan seseorang yang tidak memiliki kesamaan dengannya? Mungkin ini kedengarannya skeptis, tapi saya masih bisa menemukan korelasinya dengan Amelia. Bayangan tentang menghabiskn waktu dengan seseorang yang tak memiliki pandangan yang sama dengan kita itu cukup menggelitik dan mengusik. Lalu, bagaimana jika kita disodorkan pada dua pilihan, yang pertama adalah orang yang sama sekali berbeda, dan memiliki kegemaran yang tidak sama. Lalu, muncul orang kedua yang punya minat sama dan visi yang sama dengan kita, meskipun ia tak sempurna dan bahkan jauh dari kata sempurna. Saya bisa memahami kegalauan si tokoh yang pada akhirnya bisa mengerti jalan yang ia pilih.

Selain kisahnya yang indah, sangat berkorelasi dengan kehidupan para pencinta buku, buku ini juga teman belajar menulis yang baik. Sebagai guru, penulis tidak hanya memberitahu bagaimana cara menulis, tapi juga langsung mempraktikkannya dengan menyuguhkan sebuah kisah yang dapat diambil pelajarannya, baik secara harfiah, maupun pelajaran moral dalam isi ceritanya. Buku ini sangat direkomendasikan karena segala-galanya indah dan menarik.

Menyenangkan sekali membaca kisah yang mana para tokohnya dipersatukan oleh buku. Bahkan, menunjukkan perasaan pada seseorang pun, dengan kalimat yang "buku sekali".

"Sudah bertahun-tahun aku melihatmu di rak. Aku sudah membaca sinopsis dan kutipannya di bagian belakang." ---halaman 291




[#BBIHUT6] Selamat Ulang Tahun BBI, Semoga Kita Bisa Menua Bersama



Selamat ulang tahun Blog Buku Indonesia yang keenam. Usia enam tahun bukanlah sekadar angka. Jika diibaratkan anak kecil, Bebi sudah mau SD tahun ini. Sedang aktif-aktifnya dan ingin tahu segala hal. Usia perjumpaan kita memang tidak sebanyak bilangan ulang tahunmu, Bebi. Tapi, semoga kita bisa menua bersama.

Saya lupa persisnya bagaimana bisa mengenal komunitas ini, dan kapan tepatnya bergabung. Saat Bebi mengumumkan salah satu artikel dalam perayaan HUT-nya adalah berkenalan dengan anggota baru dengan nomor anggota berkepala 16 dan 17, saya cukup percaya diri untuk merasa kalau nomor keanggotaan saya 16. Eh, ternyata 15. Jadi, saya bergabung di BBI tahun 2015...?

Demi tulisan ini, saya jadi ngubek e-mail dan mencari kapan persisnya saya mendaftar. Ternyata, di tanggal 15 Juli 2015, saya mengirimkan surat elektronik ke Divisi Keanggotaan BBI. Saya tidak tahu mengetahui alamat e-mail itu dari mana. Lebih parahnya lagi, saya bahkan tidak tahu komunitas ini seperti apa, bagaimana, dan apa tujuannya. Tahun 2015 adalah awal keaktifan saya meresensi buku. Ketika tahu ada komunitas peresensi (katakanlah begitu persepsi awal saya tentang BBI), rasanya senang sekali. Dan sangat berminat untuk bergabung.

Pesan saya dibalas tanggal 5 Agustus di tahun yang sama. Saya diminta untuk mengisi formulir pendaftaran dan dikatakan kalau blog saya akan dipantau untuk melihat keaktifan dan apakah memenuhi persyaratan. Tanggal 21 Agustus 2015, e-mail dari Divisi Keanggotaan menyatakan kalau saya sudah terdaftar sebagai anggota BBI berikut dengan nomor keanggotaannya. Saya senang sekali... meskipun masih tidak tahu dengan komunitas ini. Saya diminta meng-add Facebook salah satu anggota BBI untuk di-invite ke grup Facebook. Berhubung 2015 adalah masa-masanya vakum FB, saya tidak mendapatkan perkembangan yang berarti dari BBI. Pun begitu juga rasanya grup yang dimaksud sepi-sepi saja. Bisa dibilang, saya mirip anak baru yang hilang. Nggak kenal siapa-siapa, dan nggak tahu harus melakukan apa.

Saat diberitahu bahwa ada forum BBI, barulah saya muncul dan mencoba mengaktifkan diri. Beberapa kali terlibat obrolan, tapi tidak ada yang berkesan. Dari situ saya justru merasa kalau anggota BBI lebih aktif di forum regionalnya. Sementara saya... nggak kenal siapa-siapa (lah, jadi sedih). Sebenarnya forum Kalimantan cukup ramai, ada beberapa anggota BBI dari Balikpapan dan yang dari Kalimantan Selatan. Yang dari Samarinda (domisili saya), ada satu orang, tapi saya juga tidak cukup mengenalnya. Mungkin karena bawaan diri kali yah, saya susah untuk bisa membuka diri dengan orang yang tidak saya kenal (atau belum). Jadinya, canggung untuk memulai perkenalan. Saya banyak mengenal anggota BBI lain justru dari kebersamaan beberapa kali nge-host bareng, bukan dari BBI-nya sendiri. Sebenarnya saya juga banyak follow akun media sosial sesama member BBI (terutama di Twitter), tapi beberapa hanya sekadar follow saja, malah minim interaksi. (Meskipun tidak menampik keakraban dengan beberapa lainnya.)

Jadi, kalau ditanya apa yang sudah kamu dapat selama menjadi anggota BBI? Saya justru malah bingung menjawabnya, hahaha. Barangkali kesempatan untuk menjadi host Blogtour adalah salah satunya, karena saya dua kali mendapat tawaran itu setelah mengisi tawaran yang muncul di forum BBI. Mendapatkan jaringan pertemanan? Tentu saja. Saya mendapat banyak teman baru dari forum ini (secara langsung maupun tidak). Lalu, bingungnya kenapa? Barangkali, karena saya belum merasa memiliki kedekatan emosional dan personal yang didapatkan oleh member-member lainnya. (Kok jadi sedih ya, mwihihihi.) Barangkali karena kita kurang saling mengenal. Padahal, di biodata Twitter kita terpampang nomor keanggotaan dari komunitas yang sama. Barangkali, karena saya kurang bisa membuka diri dan mengakrabkan diri dengan yang lainnya. Barangkali, karena pada akhirnya saya memahami, bahwa sebuah hubungan, bisa menjadi sangat personal jika kita sendiri menyelami dan masuk ke sana, merasa menjadi bagian yang tidak lepas darinya. 

Saya berharap, seperti halnya judul tulisan ini, saya bisa menua bersama dengan komunitas ini. Bisa saling mengenal dengan yang belum kenal, berbagi kebahagiaan melalui kesamaan yang kita semua miliki, yakni kecintaan pada buku dan menyebarluaskan virus itu kepada orang-orang di luar sana.

Semoga di usiamu yang baru beranjak dari usia balita ini semakin tumbuh dan besar, berkembang bersama, menjadi dewasa bersama. Semoga saya bisa mengikuti kegiatanmu selalu, baik online maupun offline. Maafkan saya yang belum bisa memberikan sumbangsih berarti untukmu. Maafkan saya yang jarang sapa-sapa atau meramaikan forummu. Maafkan saya juga yang jarang blogwalking atau bahkan susah membuka diri pada member-membermu.

Satu pertanyaan besar saya sebelum saya menutup tulisan ini. Jadi, BBI punya grup atau forum komunikasi atau sekadar ngobrol-ngobrol secara umum (di luar regional masing-masing, di luar forum ini yang sekarang rasanya mulai seperti kuburan karena sepiiiii sekaliiii) yang bisa dimasuki siapa saja yang menjadi anggotanya? :) Kalau ada, bolehkah saya bergabung di dalamnya?

Barangkali ada yang belum kenal dengan saya, saya akan tutup tulisan khusus (dan personal sekali) ini dengan sebuah perkenalan diri. 

Halo teman-teman, baik anggota BBI yang lama maupun baru. Perkenalkan, nama saya Nisa Rahmah, domisili Samarinda-Kalimantan Timur, nomor anggota BBI: 1510321. Kalian bisa mengikuti saya di blog ini: Resensi Buku Nisa, juga di akun media sosial saya yang lumayan aktif: Saya ada di Twitter dan Instagram @niesya_bilqis, juga ada di LINE dengan ID: niesya_bilqis. Salam kenal, semoga kita bisa bersama-sama mengembangkan komunitas tercinta ini bersama-sama.



[#BBIHUT6] Hogwarts Will Always Be There to Welcome You Home

(sumber)

Saat memikirkan tulisan bertema Literatourism untuk posbar BBI HUT 6, saya memikirkan beberapa setting tempat dari novel-novel yang saya pernah baca. Beberapa memang memiliki kesan yang mendalam, terutama bagi novel-novel berlokasi luar negeri. Saat membaca Inferno karya Dan Brown, saya kepingin menyusuri lokasi-lokasi yang dikunjungi Robert Langdon dan Sienna Brooks. Ketika membaca San Francisco milik Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, saya pun kepingin menyusuri jembatan San Francisco yang terkenal itu. Perasaan yang sama muncul ketika saya menikmati Rooftoppers karya Katherine Rundell. Penulis memukau saya dengan ide menikmati pemandangan Menara Eiffel dengan cara yang jauh berbeda. Namun, dari semua buku-buku yang memikat hati saya itu, tidak ada magnet yang sedemikian kuatnya menarik saya untuk membuat list tempat impian, kecuali serial Harry Potter.


Play dulu, yuk, videonya, biar semakin greget baca tulisannya.


Mari kita mulai tulisan ini dengan membubuhkan kutipan dari JK Rowling ini:


“Whether you come back by page or by the big screen, Hogwarts will always be there to welcome you home.” 

Saya selalu senang saat melihat teman-teman saya mengunjungi The Wizarding World of Harry Potter di negara mana pun. Meskipun sempat tebersit perasaan iri karena saya juga sangaaaat kepingin ke sana, tapi saya senang dengan kebahagiaan mereka. Syukurnya, memiliki banyak teman Potterhead, membuat saya tahu bagaimana senangnya mereka saat kembali ke rumah. Mengenakan jubah asrama, syal, tanpa ragu (atau dianggap aneh) saat mengacungkan tongkat sihir, meminum butterbeer, tersesat di Diagon Alley. Rasanya, pasti menyenangkan, dan menjadi pengalaman tak terlupakan.

Saya mendapatkan banyak informasi tentang akses menuju ke Universal Studio baik yang di Osaka ataupun di Orlando. Barangkali, informasi itu baru akan saya baca dengan saksama jika cita-cita mengunjungi The Wizarding World of Harry Potter semakin dekat. Jadi, saya tidak akan bahas di sini. Oleh karenanya, tulisan ini bukan untuk memberikan tips atau sejenisnya. Lalu, tulisan ini tentang apa...? Seperti yang sudah saya singgung di awal, ini adalah semacam wishlist. Dalam hati saya berdoa, baik ketika melihat foto-foto teman yang berkunjung ke sana, juga saat menulis ini, dan ketika membacanya nanti, bahwa semoga, suatu saat saya akan berkunjung ke semua Universal Studio yang ada The Wizarding World of Harry Potter-nya. (Juga ke King's Cross Station yang ada di London.)


Sebelum ke Hogwarts, lewat sini dulu. Sudah siapkah koper dan peralatan sekolahmu?


Lokasi: King's Cross Station, London (sumber)


Jika ada yang belum lengkap, yuk belanja dulu di Diagon Alley. Kalau kehabisan uang, Bank Gringotts siap sedia mengisi pundi-pundi Galleon-mu. 


“Gringotts was the safest place in the world for something you wanted to hide—except perhaps Hogwarts.” 

Lokasi: Universal Studio Orlando, Florida (sumber)

Belum punya tongkat sihir? Atau tongkat sihirmu rusak? Mampir dulu di Ollivander's. Wand Shop. Tepercaya sejak 382 Sebelum Masehi.


"The wand chooses the wizard, Mr. Potter. It is not always clear why."


Lokasi: Universal Studio Osaka, Japan (sumber)

Kalau merasa lelah berbelanja, ngaso dulu, yuk di Kuali Bocor. Ngopi? Nge-butterbeer, dong. (Ups, kalau nggak bisa pastikan halal atau tidaknya, pinjam minuman orang aja buat foto-foto, *yha*)


Lokasi: Orlando, Florida (sumber)
Nah, seperti ini, nih!


Foto: Tom Felton saat pembukaan TWWoHP di Jepang (sumber)

Apakah perbekalanmu sudah siap semua? Tanggal 1 September, waktunya kembali ke Hogwarts! Jangan sampai ketinggalan kereta! Jika sudah melintasi Peron 9 3/4, Hogwarts Express siap membawamu kembali ke rumah.


Lokasi: Universal Studio Orlando, Florida (sumber)

Dan tentu saja... Hogwarts!


Lokasi: Universal Studio Orlando, Florida (sumber)
Lokasi: Universal Studio Osaka, Japan (sumber)

Suatu saat, semoga saya bisa ke tempat-tempat di atas. Amin.






Postingan ini disertakan dalam #BBIHUT6 Blog Buku Indonesia dengan tema: Wishlist Destinasi Wisata Literatur (Literatourism).


[#BBIHUT6] Mengapa Bukunya Diberi Rating Rendah?

Saya memulai petualangan membaca di tahun ini dengan pengalaman yang menyenangkan. Pada bulan Januari, saya membaca buku-buku berbintang tiga dan empat. Barangkali, itu merupakan pertanda baik bahwa saya akan menemukan banyak buku bagus yang saya baca di tahun ini. Namun rasanya petualangan itu tidak asyik kalau tidak menemukan tantangan, benar begitu? 

Dari petualangan membaca buku tersebut, saya mendapatkan buku-buku yang berbintang rendah. Bukan berarti buku itu tidak bagus, hanya saja, tidak memenuhi ekspektasi dan standar saya. Karena, bagus atau tidaknya sebuah buku itu relatif. Dan saya percaya, sebuah buku pasti akan menemukan pembacanya. Jadi, jika bagi saya buku-buku itu berbintang satu atau dua, belum tentu ketika dibaca oleh orang lain akan bernasib sama.

Source pict, edited by me


Saya mau mengemukakan alasan pribadi dulu kenapa buku-buku itu bisa mendapat sambutan kurang menyenangkan oleh saya. Alasan tersebut di antaranya adalah:


1. Kelogisan

Sebagai seorang pembaca kritis (atau anggap saja begitu, hahaha), kelogisan cerita sangat memegang peranan penting bagi saya. Bukan berarti mutlak sih, sebenarnya. Saya memiliki batas toleransi tentang kelogisan sebuah cerita. Kalau ada yang cacat logika sedikit saja, barangkali masih belum menjadi masalah. Tapi, jika yang di luar logika itu terlalu banyak, aduh... ampun, deh, biasanya saya langsung berapi-api untuk memberikan ulasan tentang kecacatlogisannya. Meskipun saat apinya membara saya sudah sediakan tabung pemadam kebakaran supaya nggak kebakar duluan, hahaha.

Kita selama ini sudah terlalu sering dibodohi oleh sinetron-sinetron maupun FTV. Cewek miskin tapi wajahnya seperti habis dari salon kecantikan rutin setiap minggu. Pekerjaan pemulung tapi bajunya bagus, dan lain sebagainya. Itulah mengapa, saya kesal kalau harus mendapatkan hal-hal yang cacat logika seperti ini di buku.

Contohnya bagaimana sih yang menurut saya cacat logika itu?

Misalnya begini, sebuah karakter yang tidak digambarkan latar belakang kehidupannya dari kaum berada dan tidak mengesankan bahwa dirinya seorang dari kalangan jetset atau kaya raya, tapi bisa dengan mudah berkeliling dunia. Mungkin saat orang lain susah mencari rezeki, bagi karakter tersebut rezeki bisa dengan mudah datang seperti memetik daun. Mungkin.

Atau, seorang tokoh yang digambarkan sehari-harinya bekerja di tempat tertentu (atau sedang sekolah/kuliah), tapi malamnya dia memiliki pekerjaan cukup berat lainnya hingga mengambil waktu yang terlalu banyak baginya. Tapi dia baik-baik saja, tidak pernah sakit. Nah, coba bayangkan kalau itu terjadi pada diri kita sendiri. Sanggupkah kita menjalani hal-hal seperti itu? Kalau saya sih, no. Kerja biasa saja sering sakit, apalagi kerja lebih dari enam belas jam sehari. Barangkali memang ada yang demikian, dan banyak orang yang mengalaminya. Tapi, harus ada alasan yang logis untuk bisa menerima yang seperti itu. Contohnya, si tokoh punya stamina yang baik, si tokoh punya alasan yang sangat kuat dia menjalani kehidupan yang seperti itu hingga pekerjaan berat tersebut menjadi tidak terlalu berat karena alasan tersebut. Jika hubungan sebab-akibatnya bisa masuk ke logika, saya rasa tidak masalah. Tapi, yang kita bahas di sini kan yang tidak masuk di akal sehat ya, jadi, yaaa... begitulah.


2. Keluar dari batas koridor SARA

Ups, bukan berarti saya menyatakan diri bebas dari bacaan berbau SARA. Saya tipikal yang senang mengeksplor dan mengembangkan genre bacaan. Termasuk buku-buku berating dewasa dengan adanya adegan kipas-kipas di dalamnya, saya sesekali membacanya. Namun, saya punya batasan atau koridornya di mana kalau sudah lepas dari koridor itu, maaf saya kalau buku tersebut jadi saya kategorikan sebagai buku low rated. Novel dewasa yang adegan seksnya tidak sesuai dengan plot atau justru menjual hanya adegan itu pada novelnya semata--dalam artian bukan menjual plot secara keseluruhan, siap-siap saya berikan bintang rendah untuknya.

Dan tentang SARA, bukan melulu membahas tentang seks semata. Banyak hal yang berada dalam koridor ini. Buku-buku penuai kebencian yang menurut saya terindikasi memberikan ruang untuk menyalurkan kebenciannya itu, sudah pasti langsung saya nobatkan sebagai buku-buku berating rendah.

Untuk itu, biasanya saya coba menghindari buku-buku jenis ini. Bukan berarti saya mengurung pemikiran dan pemahaman saya, hanya saja, saya memang perlu memiliki batasan terhadap buku-buku yang saya baca. Misalnya, saya menghindari buku-buku berbau LGBT apalagi kalau ada adegan seksual di dalamnya. Tidak, terima kasih.


3. Genre berbalik arah

Saya tidak suka dengan buku yang di tengah-tengah, genrenya berubah. Misalnya, kisah persahabatan remaja yang mendadak berubah menjadi thriller. Atau, novel roman yang berubah haluan menjadi misteri tanpa ada petunjuk apa pun tentang perubahan genre itu. Sudah cukup lah ya di dunia nyata ditipu oleh banyak hal, apalagi cinta (eaaa...) jangan juga ditipu dengan genre buku yang berubah-ubah begini. Kalau tipuannya berhasil, mungkin bisa mengobati kekecewaan. Tapi kalau tidak...?


4. Ceritanya terlalu drama

Sebenarnya ini relatif. Ada buku-buku dengan kadar drama yang overdosis tapi saya masih bisa menikmati dan senang membacanya (contohnya, Kereta Api Terakhir karya Mira W). Namun, di luar kasus khusus tersebut, biasanya saya tidak terlalu menikmati novel-novel dengan drama yang kebanyakan. Barangkali, memiliki banyak plot maupun sub-plot dalam novel itu perlu agar setiap lembaran demi lembarannya pembaca tidak dibuat kebosanan. Hanya saja, jika plot-plot itu didramatisir, rasanya jadi tidak seru lagi. 


5. Karakternya Gary Tsu atau Mary Sue

Silakan googling kata ini kalau belum tahu artinya, ya. Intinya, adalah membuat karakter teramat sempurna. Misalnya karakter fantasi di mana tokohnya bisa terbang, membaca pikiran orang, bisa menyihir, bisa menghilang, cantik, kaya, modis, terkenal, pintar, semuanya ada dalam satu tokoh. Kalau sudah menemukan buku berkarakter begini, rasanya malas sekali. Kesempurnaan kan hanya milik Allah swt.

Karakter Gary Tsu atau Mary Sue membuatnya susah untuk mendapat simpati. Apa lagi yang harus disimpatiin kalau hidupnya sudah terlalu sempurna: kaya, cantik, punya suami tampan dan mapan, punya anak lucu-lucu, liburan selalu ke tempat yang eksotis di sepenjuru dunia? Barangkali kembali lagi, bahwa karakter dalam novel adalah refleksi dari kehidupan nyata. Mungkin ada karakter-karakter demikian di kehidupan nyata. Namun, kembali lagi, apabila karakter tersebut tidak bisa merebut simpati pembacanya, saya rasa tidak banyak yang bisa dilakukan lagi untuk menikmati kisahnya.

Ada satu lagi yang menurut saya kurang menyenangkan, meskipun agak melenceng dari alasan yang ini. Yaitu ketika penulis terlalu mengagung-agungkan karakternya. Terasa kok, saat membacanya. Misalnya, ada keberpihakan si penulis pada karakter tertentu dan mematikan peran karakter yang lain. (Ah ini sudah tidak nyambung dengan Gary Tsu dan Mary Sue, jadi pembahasannya tidak akan saya perpanjang lagi.)


6. Terlalu banyak typo

Typo alias kesalahan penulisan adalah momok bagi para penulis. Saya saja, bahkan saat menulis ini menemukan banyak kesalahan penulisan (sebelum diperbaiki). Buku yang memiliki banyak kesalahan penulisan tentu akan menurunkan semangat membaca. Meskipun, pada beberapa kasus, typo ini masih bisa ditoleransi. Apalagi kalau kisahnya menarik. Tapi, kalau sudah banyak minusnya ditambah dengan banyaknya kesalahan penulisan, saya rasa susah untuk memberikan bintang yang banyak untuk buku tersebut.

Kalau di bawah lima, masih wajar, karena manusia tidak luput dari yang namanya kesalahan. Kalau lebih dari sepuluh, sepertinya ini masalah serius.


Itu dia alasan yang bisa saya kemukakan mengapa ada buku-buku yang saya beri rating rendah. Meskipun, sebenarnya saya cukup ramah dalam memberikan penilaian terhadap buku. Padahal, standar saya cukup tinggi untuk menilai buku. Percayalah, di balik bintang yang rendah, bukan berarti si penulis tidak berhasil dalam menuliskan bukunya, hanya saja mungkin pesannya tidak sampai ke saya. Barangkali, akan sampai ke yang lainnya. 

Penilaian terhadap suatu buku memang subjektif, itulah mengapa di awal saya mengatakan bahwa buku pasti akan menemukan pembaca yang tepat baginya. Untuk itu, biasanya jika ada kriteria buku-buku yang tidak sesuai dengan standar pemberian bintang saya, saya memberikan ulasan dengan jujur disertai dengan alasan-alasannya. Agar di kemudian hari, alasan itu bisa menjadi pertimbangan dan saran membangun bagi karya-karya selanjutnya.

Bagaimana dengan kalian, apa alasan kalian memberi rating rendah terhadap suatu buku?



Postingan ini disertakan dalam #BBIHUT6 Blog Buku Indonesia dengan tema: Tips dan/atau Pengalaman Seorang Pembaca.

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)