Judul Buku : Menuju Jama’atul Muslimin, Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam
Pengarang : Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA
Alih Bahasa : Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc
Penerbit : Robbani Press
Cetakan Ke : 5
Tahun Terbit : Juli 2007
Tebal Buku : 427 Halaman
Rating : 5 dari 5
Buku “Menuju Jama’atul Muslimin” ini terdiri dari tiga bab utama.
Bagian pertama menjelaskan mengenai Struktur Organisasi Jama’atul
Muslmin. Sebelumnya, mengenai konsep jama’ah, dijelaskan bahwa jama’ah
diartikan dengan sejumlah besar manusia atau sekelompok manusia yang
berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Dijelaskan berdasar pada
tinjauan syari’at Islam yang menunjukkan betapa pentingnya wujud
jama’atul muslimin, dimulai dengan pembahasan mengenai umat Islam, baik
menurut bahasa maupun berdasarkan letak geografis.
Menurut bahasa, Umat Islam mempunyai banyak arti diantaranya kaum,
jama’ah, dan golongan manusia. Pengarang al Mufradat fi Dalalatiha
al-‘Arabiyah mengartikan umat adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh
sesuatu hal; satu agama, satu zaman, atau satu tempat. Baik faktor
pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan atas pilihan.
Sedangkan berdasarkan secara geografis, titik tolak pembebasan tanah air
umat Islam dimulai dari kawasan Darul ‘Adl yaitu Darul Islam. Negara
yang bisa disebut sebagai negara Islam yang sebenarnya ialah negara yang
dikuasai oleh kekuasaan negara keadilan (darul ‘adl) yaitu negara yang
menegakkan Islam dan melindungi hukum-hukumnya serta dipimpin oleh
seorang khalifah pemegang imamah. Batas-batas tanah air Islam ini meluas
sesuai dengan meluasnya kekuasaan darul ‘adl, meliputi negeri-negeri
darul Islam secara umum. Selanjutnya, pemerintahan-pemerintahan Islam
ini seluruhnya harus tunduk kepada satu pemerintahan pusat yang
dikepalai oleh seorang imam. Jika negeri-negeri itu tidak diperintahkan
dengan syari’at Allah oleh para penguasa Islam, serta tidak tuntuk
kepada satu kekuasaan pusat, maka tidak bisa disebut darul ‘adl.
Batas-batas bagi negara Islam dan tanah airnya meliputi seluruh belahan
bumi. Setiap belahan bumi yang tidak diperintah dengan Islam, maka
merupakan negeri yang dirampas dan harus dikembalikan kepadanya.
Umat Islam mempunyai akar sejarah yang sangat tua yakni sejak pertama
manusia di atas bumi hingga datang penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad
saw. Umat ini, sepanjang sejarahnya telah menempuh dua periodisasi
yakni, pertama sebelum diutusnya Muhammad saw dan kedua dimulai dengan
Muhammad saw. Pada periode ini da’wah mulai beralih dari kerangka
kekauman yang terbatas, kepada kerangka kemanusiaan yang bersifat umum.
Ummat Muhammad yang meliputi segenap manusia terbagi menjadi dua, yakni
ummat yang menyambut dan menerima da’wah Rasulullah dan menyatakan diri
masuk Islam secara kaffah. Golongan ini disebut sebagai umat yang
menerima da’wah. Kedua yakni golongan yang tidak mau menerima da’wah
Muhammad saw, dan tidak masuk Islam secara kaffah. Golongan ini menjadi
ummat yang harus dida’wahi.
Karakteristik umat Islam dan sendi-sendi
utama umat Islam adalah aqidahnya yang bersih dari segala bentuk
kemusyrikan, universalitas dan integralitas aqidah, Rabbaniyah,
kesempurnaan, keterbatasan dari kekurangan, kepertengahannya, dan
fungsinya sebagai saksi atas manusia. Adapun unsur kesatuan ummat Islam
adalah kesatuan aqidah, kesatuan ibadah, kesatuan adat dan perilaku,
kesatuan sejarah, kesatuan bahasa, kesatuan jalan, kesatuan dustur, dan
kesatuan pimpinan.
Selanjutnya dibahas mengenai urgensi syura
sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan
sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan dengan itu tak
mungkin diwujudkan sebuah syura meliputi seluruh umat tanpa adanya
imamah atau sistem kepemimpinan. Imam menurut bahasa ialah setiap orang
yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan lurus atau
sesat. Ar Razi dalam tafsirnya mendefinisikan Imam yaitu setiap orang
yang diajdikan teladan dalam masalah agama. Berdasarkan ayat-ayat al
Qur’an dan pendapat para ulama bahasa, tafsir, dan aqidah, jelas
semuanya sepakat bahwa imam adalah lafazh yang berarti kepemimpinan
tertinggi di antara mereka; ke atas pundaknya diletakkan tanggung jawab
kebaikan mereka dalam agama dan dunia. Imam Mawardi menyebutkan tujuh
orang yang layak menjadi imam harus memenuhi persyaratan berikut, yakni
‘adalah (bermoral Islami) berikut semua persyaratannya, ilmu yang dapat
mengantarkan kepada ijtihad dalam berbagai kasus dan hukum, sehat panca
indera seperti pendengaran, penglihatan, dan lisan, supaya dapat
mengetahui sesuatu secara langsung, tidak memiliki cacat anggota badan
yang akan menghalangi kesigapan gerak dan kecekatan kerja, mempunyai
pandangan yang dapat membawa kepada kebijakan rakyat, memiliki
keberanian dan kegigihan untuk melindungi kawan dan memerangi lawan,
berketurunan dari Quraisy. Mengenai syarat yang ketujuh ini, para ulama
masih memperselisihkannya. Namun banyak hadits yang menunjukkan
kemungkinan munculnya khilafah dari selain Quraisy, sekaligus merupakan
khilafah yang sah (syar’i) dalam umat Islam di mana seseorang tidak
boleh keluar darinya karena hanya bukan dari Quraisy.
Dengan segala
karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi denagn adanya
lembaga syura yang berjalan di dalam kerangak sebuah imamah, berarti
pada saat itulah sebuah jama’atul muslimin telah eksis dengan segala
makna hakikatnya.
Tujuan Jama’atul Muslimin, yakni terdiri dai
tujuan khusus bagi umat Islam, yakni, pembentukan pribadi-pribadi
muslim, pembentukan rumah tangga muslim, pembentukan masyarakat muslim,
penyatuan umat. Adapun tujuan umum, yakni agar seluruh manusia mengabdi
kepada Allah swt, agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah
yang munkar, agar menyampaikan da’wah Islam kepada segenap umat
manusia, agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi, agar memerangi
segenap umat manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang
benar.
Adapun bagian kedua buku ini yakni membahas jalan menuju
jama’atul muslimin. Bagian ke dua ini diawali dengan pembahasan mengenai
hukum Islam, karena berdirinya jama’atul muslimin erat kaitannya dengan
hukum-hukum Islam tersebut. Sejak da’wah Islam dibawah pimpinan
Rasulullah saw mulai digelar di Makkah, turunlah pengarahan-pengarahan
Rabbani sesuai dengan keperluan jama’ah dan tuntutan tahapan yang
dihadapi oleh jama’ah. Dalam kaitannya dengan jama’ah Islam yang sedang
berupaya menegakkan kembali Jama’atul Muslimin dalam kehidupan umat
Islam, pengarahan Rabbani dan sunnah Nabawiyah telah diturunkan secara
sempurna. Sehingga setiap muslim dan jama’ah Islam dituntut
melaksanakan seluruh pengarahan Rabbani dan sunnah Nabawi secara utuh.
Hukum Islam dari segi hakikat dan caranya terbagi dua, yakni substansi
hukum dan cara pelaksanaan hukum. Kedua bagian hukum ini, dari segi
pelakunya, terbagi dua, yakni hukum-hukum yang khusus bagi Muslim
sebagai individu dalam umat Islam, dan hukum-hukum yang khusus bagi
jama’ah sebagai jama’ah dari umat Islam. Jama’ah umat Islam adalah
kelompok atau golongan yang membawa da’wah untuk menegakkan Jama’atul
Muslimin pada masa ketiadaannya.
Ajaran Islam bersifat
syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh-sempurna-dan saling menyempurnakan).
Oleh karena Muslim memiliki kemampuan sektoral dan terbatas, tidak
mungkin Islam akan tegak secara utuh manakala kaum Muslimin
menerapkannya secara individual, namun harus diterapkan secara jama’i
(kolektif). Jika Jama’atul Muslimin kita nyatakan tidak ada di masa
sekarang ini, maka harus diupayakan jalan menuju terbentuknya Jama’atul
Muslimin yaitu dengan adanya jama’ah dari sebagian umat Islam (jama’atun
minal Muslimin) yang mengupayakan perwujudannya.
Rasulullah saw
sejak masa-masa pertama diturunkan wahyu Ilahi menyadari bahwa tugas
mulia ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang manusia tetapi
memerlukan suatu jama’ah yang kuat. Dalam perjalanan kepada Rabb-nya,
Nabi Ibrahim as mengumumkan hakikat yang merupakan syarat kemenangan
da’wah ini, yaitu menegakkan jama’ah yang akan membawa da’wah dan
membelanya. Jika jama’ah ini tidak tegak, maka tidak akan pernah
kemenangan dagi da’wah. Hakikat ini pun telah dipahami Rasulullah saw
sejak awal masa da’wahnya. Dan hakikat ini pula yang harus dipahami oleh
setiap da’i Islam. Rasulullah saw mengungkapkan pentingnya jama’ah ini
bagi keberhasilan da’wah, dan menyatakan bahwa jama’ah inilah yang akan
menentukan eksis atau tidaknya da’wah Islam. Jika telah jelas hakikat
ini dari Sirah Rasulullah saw dan kewajban ini pun telah dipahami oleh
para da’i Islam, maka setiap Muslim yang menyadari kewajiban da’wah
Islam atas dirinya dan ingin bergerak untuk da’wah ini, wajib menjadikan
langkah pertamanya dalam kehidupan ini sebagaimana langkah Rasulullah,
yaitu mencari jama’ah, atau mewujudkannya, untuk membantunya
melaksanakan kewajiban da’wah yang amat berat tersebut.
Adapun rambu-rambu dari sirah Nabi falam menegakkan jama’ah berisi enam karakteristik pokok sebuah jama’ah yaitu:
1. Menyebarkan prinsip-prinsip da’wah
Dalam
tahapan ini Rasulullah menempuh dua jalan yakni dengan melakukan kontak
pribadi, seperti dilakukan Beliau kepada Khadijah ra dan Ali bin Abi
Thalib. Dakwah Islam perlu menempuh jalan ini dalam keadaan permulaan
da’wah dan pada saat pemerintah yang berkuasa melarang para aktivis
da’wah melakukan aktivitas da’wah secara terang-terangan. Jalan
selanjutnya yakni melakukan kontak umum. Cara ini disebut tahapan da’wah
secara terang-terangan.
2. Pembentukan da’wah
Pembentukan
(takwin) da’wah ini merupakan tindak lanjut dari ramu pertama Sirah
Rasulullah saw baik dalam kontak pribadi maupun kontak jama’i. Sisi
penataan dalampembinaan jama’ah kadang berlangsung pada tahapan iitishal
fardi (kontak priadi) pada rambu pertama, ayitu tahapan sirriyah, dan
kadang berlangsug pada tahapan ittishal jama’I (kontak umum) atau kadang
berlangsung pada kedua tahapan tersebut.
3. Konfrontasi bersenjata terhadap musuh da’wah
Karakter
rambu pertama adalah membagi manusia menjadi dua bagian kelompok
pertama, kelompok yang menerima prinsip-prinsip da’wah, menjadi bagian
dari rambu kedua, yaitu harus dibina dan dibentuk denagn prinsip-prinsip
da’wah, sedangkan kelompok kedua, yakni kelompok yang menentang
prinsip-prinsip da’wah menjadi bagian dari rambu ketiga, yaitu harus
dihadapi dengan kekuatan senajta agar mereka mau menyerah kepada
kekuatan da’wah. Hal itu dilakukan setelah ditegakkan hujjah yang nyata
atas mereka pada rambu pertama, berupa penyebaran pikiran-pikiran dan
ajaran-ajaran da’wah. Fungsi rambu ketiga ini ialah mempertahankan
kelompok yang masuk ke dalam takwin.
4. Sirriyah dalam kerja membina jama’ah
Faktor-faktor yang menajmin keberlangsungan proses pembinaan jama’ah
meliputi tiga hal, yakni sirriyah dalam gerak pembinaan jama’ah,
bersabar atas segala kesulitan, dan menghindari konfrontasi melawan
kebatilan dalam dua tahapan awal yakni penyebaran dan takwin. Maksud
sirriyah dalma kerja membina jama’ah ialah membatasi pengetahuan program
kerja pada lingkungan pimpinan. Setiap individu dalam kerja sirri ini
tidak boleh mengetahui tugas anggota lain, tetapi harus mengatahui tugas
pribadinya. Sirriyah merupakan “kotak” tempat menyimpan program amal
jama’i dan “tirai” yang menutupi dan melindungi program tersebut.
Sirriyah adalah suatu prinsip yang sangat penting dan harus dipegang
teguh sepanjang gerakan pembinaan jama’ah, terutama pada tahap-tahap
pertama, agar tidak dipukul dalam usia bayi. Sirriyah hanya menyangkut
aspek penataan (tanzhim) saja, bukan menyangkut aspek pemikiran atau
nilai-nilai Islam yang harus dikemukakan. Para da’i harus memperhatikan
rambu ini dan meng-utamakannya dalam gerak mereka. Karena ia merupakan
“kunci” keamanan yang akan melindung amal jama’i dari intaian mata-amta
musuh yang mengawasinya.
5. Bersabar atas gangguan musuh
Di antara
faktor terpenting yang dapat melindungi dtruktur jama’ah pada tahapan
takwin ialah kesabaran seluruh anggoa jama’ah dan keberhasilan merekan
meredam emosi dalam menghadapi setiapgangguan dan ejekan musuh.
Berulang-ulangnya perintah bersabar pada ayat-ayat Makiyah, menunjukkan
pentingnya sifat ini dalam memelihara eksistensi jama’ah, terutama pada
tahapan takwiniyah.
6. Menghindari medan pertempuran
Kitman
(perahasiaan) dan sabar belum cukup untuk melindungi jama’ah dari
gangguan, karena perbedaan kemampuan manusia dalam menerapkan kedua hal
tersebut. Juga karena sebagian besar ajaran Islam pasti akan nampak pada
par pelakunya dalam bentuk sikap dan perilaku. Karena itu, pimpinan
yang bijaksana segera membuat faktor yang lebih aman untuk melindungi
jama’ah tersebut. Denagn terpeliharanya eksistensi jama’ah maka akan
tercapai kemenangan Islam dan tersebar ajaran-ajarannya. Tetapi jika
jama’ah ini hancur, akan menagkibatkan bekunya hukum-hukum Islam dan
terhapusnya ajaran-ajarannya. Menjauhi medan pertempuran dalam tahapan
takwiniyah merupakan upaya perlindungan bagi pelaksanaan ibadah kepada
Allah.
Setelah penjelasan mengenai rambu-rambu jalan menuju
terbentuknya Jama’atul Muslimin, berikut dijelaskan tabiat jalan
tersebut, yakni jalan ujian dan cobaan. Tabiat jalan ini telah banyak
disimpulkan menjadi dua kategori, yakni jalan kebaikan dan keburukan.
Tujuan tabiat jalan ini adalah membentuk manusia yang baik melalui
perbuatan-perbuatannya, agar dengan demikian pergerakan manusia di atas
bumi ini pun menjadi baik. Roda pergerakan manusia di permukaan bumi ini
tidak mungkin dapat berjalan seperti yang diinginkan Allah kecuali jika
diambil dan dipegang oleh tangan-tangan yang telah digembleng dengan
tarbiyah yang dikehendaki Allah, dan tidak mungkin dapat mengetahui
‘tangan-tangan’ yang layak tersebut kecuali setelah melalui berbagai
ujian saringan. Ujian-ujian itulah yang disebut tabiat jalan. Dan
tangan-tanagn yang layak itulah yang ditetapkan sebagai tujuan dari
tabiat jalan yang penuh berkah ini.
Pada bagian ketiga, penulis
membahas mengenai jama’ah-jama’ah terpenting yang aktif di medan da’wah
Islam. Perjuangan Islam setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, dilakukan
melalui perjuangan individual (amal fardi) dan melalui per-juangan
kolektif (amal jama’i). Ditinjau dari tujuannya, perjuangan kolektif
terbagi dalam beberapa bagian, yakni:
a. Perjuangan kolektif ayng tujuannya langsung menegakkan khilafah.
Kelompok ini antara lain, Hizbut Tahrir, Da’wah Ikhwanul Muslimin, Partai Masyumi.
b. Perjuangan kolektif yang tujuan langsungnya da’wah sosial,budaya, dan sufi.
Kelompok ini antara lain Anshar as-Sunnah, Jama’ah Tabligh
c. Perjuangan kolektif yang sudah bubar, sementara yang lain tetap dapat mempertahankan diri.
Dalam
pembahasan selanjutnya dibahas mengenai empat kelompok jama’ah sebagai
sampel pembahasannya, masing-masing memiliki kecenderunagn yang berbeda.
Dalam kaidah penilaian atas jama’ah-jama’ah Islam, kriteria yang
menjadi referensi dalam penilaian terhadap organisasi tersebut adalah
Islam. Dengan Islam ditinjau tujuan-tujuannya, sarana-sarana untuk
mencapai tujuan, serta pemikiran dan karakteristiknya.
Pertama,
Jama’ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah yang didirikan di Kairo 1345 H
yang orientasi dakwahnya kepada seruan sosial dan ilmu pengetahuan.
Kedua, Hizbut Tahrir yang didirikan di Yordania pada 1378 H yang
orientasi dakwahnya pada seruan politik (as-siyasi). Ketiga, Jama’ah
Tabligh yang didirikan di India yang berorientasi pada seruan sufiyyah.
Keempat, yang tulisan tentangnya dan aktivitasnya ditulis di akhir
karena tlisan tentang itu sangat banyak, yakni Ikhwanul Muslimin yang
didirikan di Mesir pada 1347 H. Penulis menganggap bahwa jama’ah ini
mewakili gerakan da’wah yang memiliki karakteristik syamil (menyeluruh).
Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata,
melainkan juga aspek sufiyyah dan siyasiyyah bahkan juga meliputi aspek
harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan jihad).
Pada akhirnya,
karakteristik jalan menuju penegakan khilafah Islamiyah amatlah sulit,
sebelum mendapatkan pertolongan dari Allah, penuh dengan berbagai macam
hal yang tidak disukai oleh nafsu. Setelah mendapat pertolongan Allah
dihiasi dengan berbagai macam syahwat. Yang dituntut adalah tetap teguh
berpijak kepada kebenaran dalam kedua situasi tersebut, yakni situasi
bala’ dan bujukan. Ada banyak jama’ah Islamiyah yang telah menempuh
jalan ini. Di antara jama’ah tersebut ada yang tujuan dan sarananya
terbatas sehingga tidak mengantarkannya kepada tujuan yang diharapkan.
Menurut syari’at Islam ia tertolak. Ada juga jama’ah yang tujuan dan
sarananya lengkap, mencerminkan kesempurnaan dan keluhuran Islam dan
diterima menurut syari’at Islam. Jama’ah yang memiliki kesempurnaan dan
kekomprehensifan dalam tujuan dan sarananyalah yang layak mendapat
loyalitas dan dukungan setiap Muslimin.
Setelah membaca buku yang berjudul “Menuju Jama’atul Muslimin, telaah
sistem jama’ah dalam gerakan Islam” ini, terdapat beberapa penilaian
mengenai konten buku tersebut. Buku karangan Hussain bin Muhammad bin
Ali Jabir, MA ini merupakan hasil thesis yang diajukan beliau untuk
meraih gelar MA di universitas Islam di Madinah. Karena merupakan hasil
thesis, adapun konten dalam isinya merupakan hasil penelitian yang
didalamnya terdapat berbagai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Berangkat dari penilaian tersebut, saya dalam menilai
buku ini murni merujuk pada tulisan yang disampaikan penulis berdasarkan
fakta yang disampaikan beliau dalam buku ini.
Saya sampaikan
penilaian bahwa buku ini layak untuk dibaca, bahkan penting untuk kita
semua sebagai pengemban risalah dakwah. Didalamnya dijelaskan mengenai
pentingnya berjamaah dan berpegang teguh pada tali agama Allah secara
amal jama’i. dengan alurnya yang pas, penulis menyajikan di muka yakni
hakikat makna umat Islam beserta ciri-ciri dan kesatuan yang
dimilikinya, dijelaskan juga konsep syura dan imamah yang sangat erat
kaitannya dengan konsep jama’ah yang dijadiakn topik oleh penulis.
Selanjutnya dijelaskan mengenai jalan menuju jama’atul muslimin yang
dimulai dari penjelasan mengenai hukum-hukum Islam dan penegasan bahwa
tidak ada parsialisasi dalam menegakan ajaran Islam, dengan demikian
berarti pengertian syumuliyyah benar-benar ingin diterapkan dalam
kehidupan. Dan pengertian ini juga sejalan dengan alur yang dibawa oleh
penulis pada esensi dari buku ini bahwa untuk mewujudkan jama’atul
Muslimin diperlukan suatu wadah atau jama’ah yang dalam pencapaian
tujuannya harus benar-benar sesuai dengan konsep syumuliyyah tersebut.
Adapun keunggulan dalam buku ini adalah penulis menyampaikan pemikiran
dan gagasannya disertai fakta-fakta dan di dalam buku ini juga disertai
lampiran-lampiran yang penting sebagai penguat atau bukti atas informasi
yang diberikannya. Selain itu, dalam menuliskan urgensi-urgensi
pembahasan yang di ulas, penulis juga menyertakan dalil-dalil baik dari
al-Qur’an maupun Hadits, serta banyak dikaitkan dengan sirah Rasulullah
maupun kisah Nabi-Nabi lainnya yang termaktub dalam Nash al-Qur’an
maupun Hadits. Dalam ulasannya tentang jama’ah-jama’ah yang dijadikan
contoh atau wakil dari objek penelitiannya, disertakan juga
keterangan-keterangan yang terdapat dari dokumen-dokumen maupau buku
yang bekaitan denagn jama’ah tersebut. Kelebihan lain yang saya analisis
dari buku ini adalah dalam menilai atau meneliti jama’ah-jama’ah
tersebut, tidak berdasarkan atas perilaku orang atau pelaku jama’ah
tersebut, bahkan ditulis secara khusus alasannya karean akan menjadi
tidak objektif penilaiannya apabila didasarkan atas perbuatan pelaku
jam’ah tersebut, mengingat keterbatasan manusia yang kadang kala dapat
berbuat salah ataupun khilaf. Namun, dalam penelitiannya, penulis
menyandarkan pada tujuannya, sarana-sarana untuk mencapai tujuan, serta
pemikiran dan karakteristiknya.
Pada bagian akhir buku, penulis
memberikan hasil penelitian dan penilainanya terhadap jama’ah objek
penelitiannya tersebut. Saya pribadi, menyerahkan penilaian akhir
mengenai ending buku ini kepada masing-masing pembaca untuk dapat
terlibat dalam amal jama’i sesuai dengan jalan yang dipilih oleh
pembaca. Namun, besar harapan penulis maupun saya, agar buku ini dapat
menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam menentukan langkah pembaca
dalam menilai dan mewujudkan Jama’atul Muslimin di muka bumi ini.