Judul : Elegi Rinaldo
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Falcon Publishing
Tebal Buku : 204 Halaman
Cetakan Pertama, Desember 2016
ISBN : 9786026051400
Rating : 4 dari 5
"Kalau ada hal yang paling aku takutin, itu adalah kehilangan kamu, tapi aku lebih takut kalau aku melewatkan kamu."
Blurb:
Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.
Jika kau berjalan ke salah satu blok, kau akan menemukan rumah yang setiap pagi dipenuhi nyanyian Rihanna. Seorang pemuda kribo yang selalu menenteng kamera tinggal di sana bersama tantenya. Dia sering kali bersikap dingin. Dia menyimpan duka. Sisa penyesalan terdalam dua tahun lalu.
Ada gadis yang menantinya, dan ingin menamai hubungan mereka yang kian dekat. Namun, pemuda itu selalu ragu. Dia menyukai gadis itu, tetapi... selalu merasa bersalah jika memberikan tempat yang sengaja dia kosongkan di hatinya. Namanya Rinaldo. Panggil dia Aldo, tapi jangan tanya kapan dia akan melepas lajang.
***
Aldo tinggal bersama tantenya di kompleks Blue Valley. Pekerjaannya, sebagai fotografer makanan. Makanya tidak heran jika kau menemukannya selalu menenteng kamera. Usianya sudah cukup matang, membuatnya tak jarang menemukan pertanyaan kapan dia akan melepas masa lajang.
Hanya saja, Aldo terlalu skeptis dengan yang namanya pernikahan. Dulu, dia sempat mempunyai seseorang di hatinya. Namun, sesuatu terjadi yang membuat dia tidak bisa bersatu dengan gadis yang dicintainya itu. Apalagi, jika dia mencoba mencari pendamping baru, dia selalu dihantui perasaan bersalah. Keadaan itu, memberinya trauma mendalam tentang menjalin sebuah hubungan.
Suatu hari, dia mendapatkan pekerjaan untuk memotret makanan di sebuah kafe bernama UNO. Di sana, dia berkenalan dengan seorang chef menyebalkan. Sebagai seorang fotografer makanan yang bekerja secara profesional, Aldo wajib menjaga hubungan baik dengan koki tempat dia memotret. Menurutnya, dia perlu mendapatkan banyak sentuhan pribadi pada hasil jepretannya. Namun, kalau dia tidak bisa menjalin hubungan baik dengan chef yang bernama Jenny itu, Aldo merasa bahwa pekerjaannya di UNO tidak akan berjalan mulus.
Setelah menggantikan tantenya ke sebuah pernikahan, tanpa disangka dia bertemu dengan Jenny di sana. Karena tidak ada seorang pun yang dikenalinya selain Jenny, dia berinisiatif untuk memulai obrolan, hitung-hitung memperbaiki hubungan dengan rekan kerjanya itu. Saat sedang menunggu jemputan Jenny datang, mereka mengobrol di trotoar, tentang pernikahan. Aldo terkejut mendapati Jenny sepemikiran dengannya tentang konsep pernikahan. Yang pada akhirnya, membuat keduanya bisa juga menjadi akrab.
Aldo menemukan sesuatu yang unik dari Jenny. Gadis itu berhasil mematahkan pemikirannya seputar menjalin sebuah hubungan. Meskipun, pendapatnya mengenai pernikahan, tidak begitu saja bisa dia ubah. Trauma masa lalu karena takut kehilangan menghantuinya, bahkan hingga saat ini, dua tahun setelah peristiwa itu terjadi.
***
Kesan pertama saya saat membaca buku ini..., ini adalah sebuah buku yang ringan. Mengejutkan bahwa sebuah buku yang ringan, banyak mengambil setting dan unsur keseharian yang biasa banget, menjadi sebuah karya yang unik, menarik, dan manis. Ceritanya biasa saja, tidak ada konflik yang begitu bombastis. Namun, di tangan yang tepat, cerita biasa tentang kehidupan sehari-hari bisa menjadi sesuatu yang manis. Kisah-kisah seperti obrolan di trotoar (scene yang paling saya suka), di teras indekos, di tempat-tempat makan yang biasa (bukan restoran mewah serba wah), bahkan di rumah dengan karakternya berbalut daster kuning (kayak Pikachu *heh*), berhasil disajikan dengan memikat. Membuktikan bahwa tidak butuh yang "luar biasa" untuk menciptakan sesuatu agar menjadi "luar biasa".
Untuk karakter Aldo sendiri, saya mendapatkan sosok yang apa adanya (meskipun penampilan fisiknya si Aldo ini berambut keribo, entah mengapa saya selalu terngiang-ngiang penulisnya yang menjelma menjadi Aldo, ya? #eh). Biasa namun istimewa. Keistimewaan karakter ini adalah dari kesederhanaan dan tampilan biasanya itu. Pun begitu juga dengan Jenny, yang tampil seperti karakter-karakter manusia pada umumnya. Jenny punya pemikiran yang pada suatu saat, membenturkan dia untuk mengubah pandangannya tersebut, dan bagaimana cara dia meyakinkan orang lain untuk keluar dari pemikiran mereka pula. Dalam hal ini, Aldo dan pandangannya tentang pernikahan. Karakter dia begitu dinamis, dan mengalami perubahan dengan disertai alasan logis mengapa dia seperti itu.
Untuk tema sendiri, tentang alasan mengapa seseorang memutuskan untuk tidak menikah, rasanya cukup masuk akal. Apalagi, tentang ketakutan menjalani hubungan karena takut hal-hal di masa lalu yang pernah dialami kembali datang. Ketakutan-ketakutan seperti itu kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Dan memang, butuh proses yang tidak mudah untuk bisa keluar dari itu.
Saya mendapatkan buku ini hadiah dari tantangan menulis yang diberikan Kak Jia Effendie. (Kalau mau baca, ini dia cerpen saya yang menang tantangan menulis itu :D Baca: Sungkawa Naya). Meskipun bukan pemenang utama, tapi rasanya senang sekali dapat buku ini. Apalagi, dari kelima seri Blue Valley, saya memang kepingin baca bukunya Bara (meskipun sekarang lagi berburu yang lainnya. Sudah punya Asa Ayuni, tinggal tiga lagi nih, barangkali ada yang mau kasih *kode*). Terima kasih kepada Kak Jia, dan Penerbit Falcon untuk hadiah bukunya. Saya senang sekali. Meskipun saya sudah selesai membacanya akhir tahun lalu, tapi baru sempat membuat ulasan lengkapnya sekarang. Soalnya, sebulanan ini fokus sama menyelesaikan tantangan, ehem, ada deh pokoknya. :D
Sekali lagi, terima kasih atas kesempatannya untuk bisa menikmati Elegi Rinaldo ini. Empat bintang saya sematkan untuk kisahnya yang ringan dan juga manis.
Rekomendasi: Coba baca Lara Miya dan Melankolia Ninna juga. Baguuss
ReplyDelete