[Movie Review] Fallen



Pemain: Addison Timlin, Jeremy Irvine, Harrison Gilbertson, Lola Kirke, Daisy Head
Sutradara: Scott Hicks
Penulis: Nichole Millard
Dari Novel Karya: Lauren Kate
Produksi: Mayhem Pictures
Durasi: 91 menit


Sinopsis:

Kehidupan Lucinda Price (Addison Timlin), seorang gadis remaja berusia 17 tahun berlangsung dengan normal hingga ia difitnah atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan. Sebagai alternatif dari hukuman penjara, Luce diharuskan untuk bersekolah di Sword & Cross, sebuah akademi yang diperuntukan bagi pelanggar hukum di bawah umur.

Di sekolah itu, perhatian Luce terfokus kepada dua orang murid misterius terutama setelah ia merasakan keterikatan yang kuat dengan mereka. Seiring dengan waktu Luce mulai mengetahui jika identitas kedua pria misterius tersebut adalah malaikat yang telah mencintainya sejak ratusan tahun yang lalu. Kini Luce harus membuat pilihan tersulit dalam hidupnya, di mana ia akan menentukan cinta sejatinya.

***



Lagi-lagi saya terpaksa nonton filmnya dulu ketimbang baca novelnya =)) Ehem, ini sebenarnya menyalahi prinsip saya yang seharusnya selesaikan baca novelnya dulu baru menonton filmnya. Rencananya, memang mau nonton Senin (rencana dibuat Jumat dengan asumsi sebelum Senin sudah bisa mengelarkan bukunya). Tapi ternyata, bacanya belum kelar juga hahaha baru menyentuh halaman kelima puluh. Dan hari Senin gagal nonton karena di rumah mati lampu dan bakal bingung janjian ketemu di studionya gimana (maklumlah, anak masa kini, padahal zaman saya SMP janjian jam segitu dan tempat yang sudah disepakati mah, nggak perlu khawatir ada perubahan mendadak). Jadi, baru bisa nonton hari Selasa.

Kembali saya menonton dengan Dina, partner setia saya dalam dunia perfilman. Dina yang tahu kalau saya libur panjang ngajak nonton, yang langsung saya iyakan dengan menawarkan film Fallen. Kenapa Fallen? Karena yang main Jeremy Irvine *kyaaa* #sesederhanaitu. Pokoknya, nontonnya benar-benar tanpa persiapan dan pengetahuan (selain lima puluh halaman novel yang saya baca). Tanpa lihat trailer, tanpa baca sinopsis. Sempat mengira ini film horor karena suasananya ada yang menyeramkan. Dan saya tahu kalau Dina nggak suka horor (sempat ketar-ketir juga), saya juga nggak suka horor hahaha. Saya ternyata baru tahu (dari Dina) kalau ternyata Fallen ini bakal jadi empat film. Oke, pantas saja di akhir masih ada beberapa yang belum terjawab.

Bagaimana review-nya? Here we go...

Source

Luce masuk ke sekolah khusus tempat di mana anak-anak nakal dan pelanggar hukum tinggal, di sekolah yang bernama Sword & Cross. Berdasarkan hasil keputusan hakim, ia harus dijebloskan ke sini karena melakukan sebuah pelanggaran hukum yang benar-benar berat, meskipun ia mengklaim bahwa bukan dirinya yang melakukan itu. Pada psikiaternya, Luce mengaku melihat bayangan hitam. Ia juga disuruh mengonsumsi obat anti desperan untuk menghilangkan halusinasinya itu. Namun, ketika mengetahui bahwa obat-obatan atau nasihat psikiater tidak mengubah apa pun, ia berhenti bercerita dan mengonsumsinya. Padahal, bayangan hitam itu semakin sering dilihatnya semenjak berada di Sword & Cross.

Pada pertemuan pertama, ia bertemu dengan Arriane (Daisy Head) yang memandunya tur ke sekolah barunya ini. Di sini juga ia pertama kali bertemu dengan Cam (Harrison Gilbertson), si pemuda biang kerusuhan. Dan di hari itu pula, Luce mengenal sosok Daniel Grigori (Jeremy Irvine) yang terus-terusan terkesan menjauhinya. Padahal, entah bagaimana, rasanya Luce seperti mengenal Daniel sebelumnya. Meskipun, ini dibantah oleh Daniel.

Beberapa hari setelahnya, Luce berkenalan dengan seorang gadis yang unik dan menarik yang kalau ngomong seperti kereta api, bernama Penn (Lola Kirke). Bersama dengan Lola, Luce menemukan kehidupan yang sedikit menyenangkan di tempat ini. Lola senang berbagi cerita pada Luce. 

Meskipun ketertarikan Luce pada Daniel cukup besar, namun karena mendapatkan pengabaian dan sikap tak acuh dari Daniel, Luce justru jadi dekat dengan Cam. Cam mengajaknya ke sebuah pesta di mana di sana ia mengajak Penn. Luce melihat kedekatan Daniel dengan Gabrielle (Hermione Corfield), dan Penn yang menjadi dekat dengan seorang cowok bernama Todd (Chris Ashby). Akhirnya, Luce memilih pulang. Di jalan pulang itulah ia kembali menemukan kejadian aneh. Lalu kejadian demi kejadian aneh dan menegangkan tak lepas dari kehidupannya, serta kilasan-kilasan masa lalu yang semakin lama semakin jelas.

Ia akhirnya menyadari, bahwa ada malaikat yang dikutuk karena menolak untuk membuat pilihan dan lebih memercayai cinta, karena malaikat itu telah jatuh cinta kepada manusia yang sama selama kurun waktu ribuan tahun.



Overall, ceritanya seru. Akting pemainnya keren, dan setting tempatnya bagus banget, seperti sekolah-sekolah kuno era Renaissance. Tiga bintang saya sematkan, tapi berhubung yang main Jeremy Irvine dan aktingnya kece badai (bias banget), saya kasih 3,5. Intip pula trailer-nya di sini:





A Copy of My Mind

Judul : A Copy of My Mind
Penulis : Dewi Kharisma Michellia 
Penerbit : PT Grasindo
Tebal Buku : 199 Halaman
ISBN : 9786023754014
Edisi Pertama, April 2016
Rating : 4 dari 5




"Kamu percaya enggak kalau takdir pertemuan itu memang seperti itu sifatnya?"
"Seperti bagaimana?"
"Kita diminta mengumpulkan banyak-banyak pengalaman hidup, untuk jadi prasyarat bertemu dengan orang-orang paling penting di hidup kita." ---halaman 114


Blurb:


Sari, pegawai salon kecantikan, adalah seorang pencandu film. Ia bertemu Alek—si penerjemah DVD bajakan—saat Sari mengeluh tentang buruknya kualitas teks terjemahan di pelapak DVD.

Tak butuh waktu lama hingga keduanya saling jatuh cinta. Sari dan Alek melebur di antara riuh dan bisingnya Ibu Kota. Cinta membuat keduanya merasa begitu hidup di tengah impitan dan kerasnya Jakarta.

Namun, hidup keduanya berubah ketika Sari ditugaskan untuk memberi perawatan wajah seorang narapidana. Ia diutus pergi ke rutan tempat Bu Mirna—terdakwa kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara—ditahan. Rutan itu berbeda dari rutan pada umumnya. Di sana Sari melihat penjara yang fasilitasnya bahkan lebih baik dari kamar indekosnya.

Sari dan Alek terlambat menyadari bahaya sedang mengancam nyawa keduanya, saat Sari secara sengaja mengambil satu keping DVD dari rumah tahanan Bu Mirna.

***

Di dunia ini, ada orang yang berambisi banyak hal tentang kehidupan: hidup sejahtera, memiliki banyak investasi, karier menanjak, dan masih banyak lagi. Namun Sari, ambisinya hanya sebatas memiliki home theatre, demi bisa memuaskan satu-satunya passion dalam hidupnya: menonton film. Lebih spesifik lagi: menonton DVD bajakan.

Sari adalah perwakilan dari realitas masyarakat metropolitan yang jarang disinggung dalam cerita-cerita fiksi populer; pekerja dari kelas bawah, seorang pegawai salon. Separuh gajinya ia gunakan untuk mengirim orangtuanya di desa sementara sisanya untuk bertahan hidup di kerasnya ibukota. Satu-satunya hiburan bagi Sari adalah menonton DVD bajakan yang satu kepingnya dihargai lima ribu rupiah. Jika Sari membeli DVD bajakan, maka ia harus rela merapel jatah makannya yang hanya sebungkus mi instan.


Hidup yang tidak disyukuri adalah hidup yang tidak dihidupi. ---halaman 38

Belakangan ini, DVD yang Sari beli subtitle-nya tidak sinkron. Jelas ini membuat Sari kesal. Saat ia memprotes hal ini ke pemilik lapak, ia bertemu dengan Alek, lelaki yang pekerjaannya membuat subtitle DVD bajakan itu. Sari memiliki kebiasaan mencuri DVD bajakan sebagai "bayaran" atas ketidakpuasan atau kekesalannya terhadap sesuatu. Ini rupanya tertangkap oleh penglihatan Alek, Sari dan Alek terlibat perdebatan di lorong tempat itu. Alek, yang rupanya merasa bersalah karena hasil pekerjaannya kurang memuaskan, mengajak Sari untuk ke kosnya karena di sana banyak sekali film yang bisa dipinjamnya. Sari enggan. Namun, karena dapat ancaman akan dilaporkan atas tindakan pencurian itu, akhirnya Sari mau.

Alek adalah seorang pemuda yang merantau ke Jakarta dan bekerja dengan teman baiknya, Leo. Karena Leo menikah dan memutuskan untuk tinggal bersama istrinya, maka ibunya dititipkan kepada Alek, dengan kompensasi ia bisa tinggal gratis di rumahnya dan terjamin hidupnya. Leo juga memberikan link agar Alek bisa mendapatkan pekerjaan. Alek memiliki masa lalu percintaan yang kelam yang membuatnya tidak percaya dengan cinta. Alek hidup dengan sesukanya, tidak percaya agama, tidak memiliki identitas warga negara. Alek pun memiliki hobi taruhan balapan motor liar. Hidupnya bebas, tanpa ada yang melarang.


Kenapa manusia mencari rasa aman? Padahal, mereka bisa saja meninggalkan semua hal, berkelana tanpa identitas. Mungkin hidup seperti itu lebih layak dihidupi. ---halaman 65

Sari tinggal di kos-kosan yang berpenghuni seratus orang. Suatu hari, kos-kosan itu akan direnovasi sehingga seluruh penghuninya diminta untuk meninggalkan tempat itu sementara waktu selama dua minggu. Karena jenuh dengan pekerjaannya di Salon Yelo, Sari mencoba peruntungan dengan melamar pekerjaan di sebuah salon mewah tak jauh dari tempat kerja sebelumnya.  Pak Bandi, sang pemilik mengatakan bahwa Sari harus menjalani training selama dua sampai tiga minggu sebelum ia benar-benar diperbolehkan memegang klien. Karena, di tempat baru ini segalanya serba mutakhir. Sari dikenalkan dengan alat-alat canggih yang tidak didapatnya di salon lama.

Sementara itu, hubungan Sari kian lama semakin dekat. Sari mengeluhkan pekerjaannya yang membosankan pada Alek. Dan himbauan untuk pindah kos sementara waktu dijawabnya dengan menginap di tempat Alek. Begitulah hubungan terjalin di antara keduanya. 

Karena merasa kebosanan dalam masa training-nya, Sari mengadukan keluhannya itu pada Pak Bandi yang dijawab dengan sebuah tawaran untuk menjadi petugas facial bagi seorang tahanan kelas eksklusif di rutan. Bu Mirna adalah seorang narapidana korupsi yang pekerjaannya sebagai makelar undang-undang. Tragedi terjadi saat Sari mencuri sebuah kepingan DVD dari sel Bu Mirna, yang isinya ternyata adalah barang bukti rekaman kejahatannya.


***

A Copy of My Mind adalah buah karya sutradara Joko Anwar yang dinovelisasi oleh Dewi Kharisma Michellia. Sebuah cerita dengan plot yang luar biasa: memotret kehidupan kaum urban level bawah dengan segala hiruk-pikuknya dalam bertahan di ganasnya kota metropolitan. Apalagi, yang menjadi bidikan temanya adalah tentang DVD bajakan. Betapa mirisnya, karena kemungkinan besar film ini pun akan bernasib sama di tangan para pengusaha lapak bajakan itu. Menurut saya, ini adalah ide yang cerdas. Menyinggung dan menyasar tepat pada sasaran.

Sebagai tangan yang bekerja untuk pembuatan novelnya, Dewi Kharisma Michellia mengemasnya dengan sangat apik. Jujur saja, menurut saya filmnya membosankan, saya berhenti menonton di tengah jalan (dan sebagai kaum yang agak sedikit idealis, maafkan saya karena menontonnya di yuchub karena memang filmnya sudah tidak lagi ada di pasaran *merasa ikutan kesindir oleh ide yang diangkat*). Ada banyak plot hole yang tidak terjelaskan atau tidak tersuarakan dari filmnya. Dan rupanya, kekosongan "suara" dan "cerita" itu benar-benar diisi dengan baik sekali di novelnya. Sebab-akibat yang menjadi jalan cerita sangat diperhatikan dengan detail. Suara-suara yang tidak tersuarakan oleh gesture pemain, diungkapkan dengan bahasa yang tepat pada maksdunya.

Ini adalah novel kedua dari penulis yang saya baca (dan ternyata memang novel keduanya) setelah sebelumnya menikmati Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya yang merupakan pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012. Salut dengan kepiawaian penulis meramu jalan cerita, mengemasnya dalam balutan diksi dan pemilihan kalimat yang luar biasa. Pembaca dapat merasakan langsung kehidupan dalam novel ini seolah itu disajikan dan dirasakan sendiri di depan mata. Sebagai seseorang yang pernah tiga minggu berada di Jakarta (jangka waktu yang sangat pendek memang, tapi cukup menggambarkan situasi dan kondisi di sana karena memang saya di sana tidak dalam rangka vakansi), gambaran realita yang dipaparkan sungguh mengingatkan saya akan momen berada di kota itu. Sebuah kisah kehidupan yang sayangnya jarang diangkat sebagai tema dalam novel populer.

Dari segi tokohnya, Alek misalnya, adalah gambaran real keadaan masyarakat kebanyakan. Kita tidak bisa tutup mata, bahwa di sekitar kita banyak tipikal manusia yang memilih "kebebasan" sebagai jalan hidup mereka. Alek bukan orang yang tidak berpendidikan, ia bahkan mampu menangkap fenomena kehidupan di sekitarnya untuk dijadikan bahan tertawaan. Pemikirannya juga dalam, tentang pemaknaan hidup dari sisinya. Lalu dengan Sari, yang memiliki optimisme hidup sekadar memenuhi impian dan cita-citanya yang berhubungan dengan hobi menonton film, Alek menemukan sosok seorang wanita yang selama ini tidak pernah masuk ke dalam kehidupannya.

Sari adalah tipikal gadis lugu berpendidikan rendah yang hidup merantau di kota. Namun semenjak pertemuannya dengan Alex, ia pun mendapatkan sosok yang bisa dibaginya dalam hal mengeluhkan beban hidupnya yang kian menghimpit.


"Kata orang, pemenang adalah yang tertawa terakhir. Kamu akan tertawa terakhir kalau kau terawa terus. Jadi, kita memang harus tertawa, dan sering-sering tertawa, biar kita menang atas hidup." ---halaman 115

Saya mengacungkan jempol terhadap ide cerita ini. Memaparkan realitas tentang jurang pemisahan yang begitu besar antara si miskin (diwakili Sari) dan si kaya (Bu Mirna), tentang ketiadaan mimpi karena sarana untuk meraih mimpinya yang tidak terpenuhi, tentang bagaimana mengangkat cerita dari kacamanta orang lain yang memiliki pandangan hidup berbeda dengan kita (atau saya).

Terlepas dari apakah kita memilih untuk mengamini jalan pikiran penulisnya, saya rasa novel ini layak untuk dijadikan bahan perenungan. Setiap pilihan memiliki konsekuensi yang mengikut di belakangnya. Ketika kau memilih untuk tidak percaya terhadap identitas, kau akan menanggung sendiri risikonya. Pun begitu juga ketika kau mengambil jalan untuk tidak percaya pada Tuhan. Bukan ranah manusia untuk memberikan penghakiman. Namun, sebuah kisah tentu akan menuai banyak sekali pelajaran.

Satu hal yang menjadi kekurangan dari novel ini adalah tidak adanya penanda bahwa novel ini adalah novel dewasa. Ada adegan dewasa yang dideskripsikan dalam ceritanya. Seharusnya, pihak penerbit memberikan warning agar tidak semua kalangan usia bisa membacanya. Meskipun, justru biasanya kalau sudah diperingatkan begini bikin orang penasaran, tapi setidaknya dengan memberikan label "novel dewasa", pihak penerbitan sudah turut andil dalam memberikan peringatan kepada calon pembacanya. Katakanlah saya terlalu saklek dalam hal beginian =)) tapi ini saya rasa perlu. Terlepas dari apakah efektif atau tidak dengan adanya peringatan tersebut, setidaknya dengan memebrikan peringatan, pihak penerbit sudah "terbebas" dari tanggung jawab moral terhadap isinya.

Terakhir. Saya harus mengapresiasi dan mengangkat topi dengan kemampuan penulis dalam mendeskripsikan adegan-adegan tertentu sehingga membuat novel ini layak baca tanpa mengurangi maksud dari scene yang sedang disampaikan.

Ini benar-benar terakhir deh =)) Agak sedikit protes boleh ya. Kenapa cover depannya gambar Chico Jericho ya? Padahal versi Tara Basro yang ada di back cover lebih cakep menurut saya =))



Baca via SCOOP.


Love in Kyoto

Judul : Love in Kyoto
Penulis : Silvarani 
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 240 Halaman
ISBN : 9786020336305
Edisi Pertama, November 2016
Rating : 4 dari 5



Blurb:

“Adinda Melati, Satoe hari nanti, berkoendjoenglah ke Kjoto dengan kimono jang kaoe djahit dari kain sakoera ini. Akoe menoenggoemoe.” —Hidejoshi Sanada (13/11/45)

Veli, gadis yatim-piatu yang sejak kecil diasuh kakek-neneknya, adalah perancang busana yang tengah naik daun. Sepulang dari Jakarta Fashion Week, dia menemukan tumpukan surat lusuh di sela-sela koleksi kain nusantara almarhumah neneknya, Nenek Melati. Nama pengirim surat berbau Jepang itu mengusik rasa ingin tahunya, apalagi ada kaligrafi potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya.

Bukan kebetulan, prestasi Veli sebagai desainer diganjar kesempatan tinggal beberapa bulan di Kyoto untuk mengikuti program industri budaya. Veli merasa, ini jalan untuk menambah ilmu sekaligus mencari tahu tentang Hideyoshi Sanada.

Dengan bantuan Mario, teman spesial yang sedang bertugas di Osaka, dan Rebi, kawan SMA yang sudah empat tahun menetap di Jepang, jalinan rahasia antara Hideyoshi dan Nenek pun satu per satu mulai terungkap. Penemuan ini juga membawa Veli dan Mario bertemu sosok dingin bernama Ryuhei Uehara, musisi muda shamisen, dan Futaba Akiyama, gadis pemalu penjaga kedai udon di tengah kota Kyoto. Ternyata, hubungan empat insan ini melahirkan kisah yang jauh lebih rumit dibanding cerita Hideyoshi dan Nenek Melati puluhan tahun silam.

***

Setelah berhasil dalam pergelaran busananya di Jakarta Fashion Week, Veli akan bertolak ke Kyoto untuk mendalami pengetahuannya seputar budaya Jepang terutama tentang kimono. Veli memang menyukai akulturasi budaya, contohnya saja saat fashion show kemarin, ia mengangkat tema seputar akulturasi budaya Jawa dan Jepang.

Sebelum pergi, Veli disuruh kakeknya untuk mengecek gudang, di mana mendiang nenek menyimpan kain-kain nusantara miliknya. Sang kakek merasa sedikit tidak senang ketika Veli membahas tentang Jepang. Jadi harapannya, alih-alih Veli mencintai Jepang, ia juga bisa mencintai budaya nusantara sendiri. Namun, di gudang Veli menemukan sebuah harta karun yang tidak terduga. Ada sebuah kain dengan motif sakura dan surat-surat dari seseorang bernama Hideyoshi Sanada untuk Sakura.


Pertanyaannya, siapa itu Hideyoshi Sanada? Dan juga siapa itu Sakura? Apakah ia adalah Melati nenek Veli?

Dengan adanya misteri tentang surat itu, kepergian Veli ke Kyoto jadi punya tambahan satu misi lagi. Untungnya, di Kyoto Veli bertemu dengan dua orang temannya di sana: Mario dan Rebi. Mario adalah teman lama Veli. Mario pula seseorang yang memiliki hubungan dekat dengannya, meskipun tidak ada status kejelasan hubungan di antara mereka. Di Jepang, ia tinggal di Osaka untuk urusan pekerjaan. Rebi adalah teman mereka yang sudah cukup lama tinggal di Jepang.

Atas bantuan Rebi untuk menerjemahkan surat-surat neneknya, terkuaklah satu demi satu informasi seputar hubungan almarhumah neneknya dengan seorang samurai Jepang. Dan dengan kehadiran dua orang temannya itulah membuat Veli merasakan kehidupan yang menyenangkan di Jepang. Apalagi, kehadiran Mario memberikan babak baru percintaannya yang menggantung lama. Memangnya, kenapa ya Mario tidak berani menyatakan perasaan pada Veli yang sudah sejelas matahari?

Tidak hanya itu saja, kehadiran dua orang asli Jepang, Uehara sang samurai dan seniman Kyoto, serta Futaba gadis pengelola kedai udon memberikan warna tersendiri pada kehidupan Veli dan Mario selama di sana.

***

"Orang yang fokus hanya pada hasil, ketika mereka tak bisa mewujudkan mimpi, mereka akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Tapi, orang yang menghargai proses, ketika mereka tak bisa mewujudkan mimpi, mereka akan tetap semangat maju karena proses dianggap sebagai pencapaian." ---halaman 150

Novel Love in Kyoto memiliki pembukaan yang tidak biasa, yakni dari cerita ber-setting zaman kemerdekaan. Tentang seorang tentara Jepang dan gadis pribumi; Hideyoshi dan Melati. Setelahnya, cerita berlangsung dengan setting masa kini, menampilkan sosok wanita muda yang tengah bergelut dengan pekerjaannya sebagai seorang desainer dalam Jakarta Fashion Week. Perbedaan setting waktu dan suasana ini menjadi nilai tambah yang tidak biasa dari novel Love in Kyoto.

Karakter dalam novel ini bergerak dengan dinamis. Saya menyenangi Veli yang karakternya kuat dan mendominasi kisah ini. Ia bisa membuat ceritanya menarik dan mengalir dengan santai. Sosok Veli yang tangguh, tidak berhenti meraih impiannya hanya karena satu mimpinya tercapai. Veli mewakili jiwa muda masa kini yang tak kenal lelah mencapai impiannya. Lalu Mario yang bisa dibilang nyaris sempurna. Namun, kisah cintanya harus terhalang oleh restu orangtua. Ia yang mencintai Veli sejak lama, tidak bisa menyatakan cintanya karena orangtua Mario tidak setuju dengan Veli, mengingat ibunya menganggap bahwa keluarga Veli penuh skandal. Kendala terbesar ini memberikan rintangan pada kemajuan hubungannya dengan Veli.

Lalu, penulis memberikan banyak unsur budaya pada novelnya. Dengan membaca Love in Kyoto, pembaca dikenalkan dengan beberapa kebudayaan Jepang misalnya pertunjukan shamisen, musik shakuhachi yang meneduhkan, dan juga pertunjukan lainnya. Lalu, setting tempat misalnya di Fushimi Inari disampaikan dengan apik. Potongan surah Al-Zalzalah dari masa lalu membuat banyak perubahan dan pengalaman spiritual para tokohnya di novel ini.

Menikmati Love in Kyoto, membuat pembaca disuguhkan gambaran banyak hal seputar kehidupan di Kyoto beserta banyak hal yang bisa dieksplor di sana. Sebuah novel dengan cerita yang memukau dan tidak terduga, serta pengetahuan tambahan yang bisa dinikmati di sana.

Baca juga seri Around the World with Love lainnya, dan wawancara dengan penulisnya di sini.


[Tukar Buku] Falling into Place




Halo teman-teman.

Tukar Buku adalah sebuah rubrik baru di blog saya. Jadi, sebelum masuk ke teknis, saya mau jelaskan dulu yaaa. Setelah melihat koleksi buku saya, ternyata ada beberapa buku yang terbeli dobel. Jadinya, daripada dibiarkan begitu saja di rumah, beberapa mau saya tukarkan saja. Lalu, ada beberapa buku preloved yang ingin saya tukar juga. Ada yang tidak cocok genre-nya dengan saya (di saya memang saya kasih rating rendah, karena selera tentu saja, bukan karena bukunya tidak bagus), dan siapa tahu, di tangan yang baru bisa lebih baik lagi.

Nah, buku yang mau saya tukar pertama adalah... Falling into Place. 




Kondisinya masih segel karena saya belinya dobel. Kalau ngikutin cerita di twitter pasti tahu deh kenapa 😂.  Nah sekarang, tentang teknisnya yaaa.

Pertama, buku yang ditukar judul dan nominalnya bebas. Tapi, kalau bisa yang saya belum punya ya hihihi. Tidak harus segel, tapi kalau preloved, saya harap yang kondisinya masih bagus dan layak baca.

Kedua, buku-buku yang saya tukarkan akan saya informasikan judulnya dan kisaran harganya. Tapi, saya harap buku yang mau kalian tukar dirahasiakan ya, biar spesial gitu.

Ketiga, orang terpilih yang sudah mengonfirmasi dan menyatakan kesetujuan, akan saya beritahu. Selanjutnya, kita akan bertukaran alamat. Asas yang digunakan saling percaya ya teman-teman.

Terakhir, saya akan posting hasil tukar bukunya dan review buku yang kalian berikan kepada saya. Tidak berlaku sebaliknya, tapi kalau kalian kasih feedback akan lebih baik lagi.


Nah sekarang, saya akan berikan informasi bukunya:

Saya beli buku Falling into Place dengan harga Rp. 82.000,- (kalau nggak salah ingat) di Gramedia Samarinda. Tapi, kalau di bukabuku, harganya Rp. 56,000,- Nah, sebagai gambaran, saya tinggal di Samarinda. Sebagai acuan, perhatikan juga yaaa ongkos kirim menuju rumah saya 😂😂.

Informasi tentang buku saya berikan supaya kalian bisa estimasikan buku apa yang mau ditukar dengan saya. Karena ini proyek senang-senang saja, saya harap kalian nggak rugi (vice versa). Pokoknya, kalian bisa kisarkan buku tukarannya yaaa.

Bagaimana? Kalian tertarik untuk tukaran buku dengan saya? Silakan komentar di bawah ini atau hubungi saya di twitter @niesya_bilqis. Terima kasih.

[Ngobras Buku] Tiga Novel yang Tokoh Utamanya Penari



Halo teman-teman, Ngobras Buku kali ini hadir dengan pembahasan mengenai tiga novel yang tokoh utamanya penari. Setelah sebelumnya saya membuat obrolan seputar novel yang tokohnya penulis, sekarang saya mau bahas yang penari. (Baca: 6 Novel yang Tokohnya Seorang Penulis) Kenapa hanya tiga? Karena sepertinya, saya baru membaca tiga novel yang berlatarkan dunia tari dan yang tokoh utamanya menggeluti dunia tari. 

Sebagai seseorang yang tidak pernah mendalami tari, mendapati sebuah cerita dengan karakter memiliki ketertarikan besar dengan tari bahkan mengambil itu sebagai passion-nya, saya jadi mendapat tambahan kisah baru dari membaca cerita-cerita ini. Yang spesial adalah, tiga novel ini ditulis oleh penulis lokal dan dua di antaranya mendapatkan apresiasi yang bagus dari pembaca (yang satu lagi, Sing Me Home baru saja rilis awal bulan lalu dan sepertinya akan mendapatkan tanggapan yang bagus pula karena ceritanya bagus dan disampaikan dengan apik).

Nah, sudah siap untuk mengetahui apa saja judulnya? Untuk menuju ke review, kalian bisa klik di judulnya ya.





Nefertiti, tokoh dalam novel ini adalah seorang penari. Terlahir dari keluarga seniman, Nefertiti sejak kecil tidak menunjukkan bahwa dirinya mewarisi bakat seni dari orangtuanya. Namun, akhirnya ia menemukan tari sebagai dunianya. Orangtuanya memasukkan ia ke sanggar balet dan berharap bahwa Titi akan menjadi bintangnya dan menonjol di sana. Ternyata, ia gagal mendapatkan peran dalam pertunjukan Swan Like dan ia mendapatkan sorot kekecewaan dari ibunya.





Nada adalah mahasiswa jurusan tari di kampusnya. Dalam suatu ujian tari, ia meminta Nino, pacar tetangganya untuk membantu mengiringinya dengan musik. Namun, karena tetangganya itu mempunyai permasalahan dengan psikisnya, dan tidak pernah membiarkan pacarnya berdekatan dengan siapa pun dengan alasan apa pun, membuat Nada yang sudah memiliki chemistry terhadap Nino (dalam hal hubungan tari-musik yang sama-sama mereka geluti) harus menghadapi permasalahan pelik dengan Audy yang punya kecenderungan untuk bunuh diri.





Gwen memiliki passion dalam hal tari. Namun, ibunya tidak pernah mengizinkan ia menggeluti dunia ini. Padahal, menurut Savannah guru tarinya, Gwen adalah seorang gadis yang benar-benar berbakat. Gwen tergabung dalam grup Annabel's, ia dan grupnya mengikuti audisi untuk mendapatkan beasiswa. Dan karena ibunya tidak mengizinkan Gwen, gadis itu harus menjalani latihan tambahan untuk audisi itu secara diam-diam. Ibunya memiliki alasan tertentu mengapa Gwen tidak diperbolehkan menjadi seorang penari? Kira-kira kenapa ya?



Nah, itu dia tiga novel yang tokohnya penari. Ada yang sudah kamu baca? Bagaimana kesan-kesannya? Atau, apa kamu punya rekomendasi novel yang bertokoh penari? Share di bawah ini ya... saya jadi kepingin baca novel bertemakan sejenis, atau novel-novel yang karakternya memiliki passion di bidang tari. Apalagi, kalau tarinya tradisional. Ditunggu komentarnya ya....


________________
Source pict, edited by me


Éclair: Pagi Terakhir di Rusia

Judul : Éclair: Pagi Terakhir di Rusia
Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Gagas Media
Tebal Buku : 236 Halaman
ISBN : 9789797804725
Cetakan keempat, 2012
Rating : 3 dari 5





"Kadang, masa lalu memang lebih indah dari masa sekarang. Dan bila ada hal yang membahagiakan sekaligus menyedihkan untuk dipikirkan, itu adalah masa lalu yang indah... Seandainya masa lalu itu akan terus menjadi masa kini." ---halaman 224


Blurb:

Seandainya bisa, aku ingin terbang bersamamu dan burung-burung di atas sana. Aku ingin terus duduk bersamamu di bawah teduhnya pohon-berbagi eclair, ditemani matahari dan angin sepoi-sepoi. Aku ingin terus menggenggam jari-jemarimu, berbagi rasa dan hangat tubuh-selamanya.

Sayangnya, gravitasi menghalangiku. Putaran bumi menambah setiap detik di hari-hari kita. Seperti lilin yang terus terbakar, tanpa terasa waktu kita pun tidak tersisa banyak. Semua terasa terburu-buru. Perpisahan pun terasa semakin menakutkan.

Aku rebah di tanah. Memejamkan mata kuat-kuat karena air mata yang menderas. "Aku masih di sini," bisikmu, selirih angin sore. Tapi aku tak percaya. Bagaimana jika saat aku membuka mata nanti, kau benar-benar tiada?

***

Katya Fyodorovna dua minggu lagi akan menikah. Namun, ia harus menyelesaikan beberapa hal yang tertunda. Ini semua berhubungan dengan kisah persahabatannya dengan empat orang pemuda: Sergei yang akan menjadi suaminya, Stepanych adik Sergei yang mengalami sakit parah, dua bersaudara Olivier yang menghilang dari kehidupan mereka. Keadaan Stepanych yang semakin hari kian parah, membuat Katya dan Sergei khawatir. Apalagi, Stepanych terus saja membisikkan nama teman-teman mereka. Sebelum menikah Katya memiliki rencana untuk membuat mereka semua kembali lagi. Dan melupakan kisah lama yang merenggut nasib persahabatan mereka.

Stepanych adalah seorang chef patissier terkenal sampai sepenjuru dunia. Ia adalah pencipta Éclair terlezat yang pernah ada. Namun, beberapa tahun belakangan ia hilang dari sorotan media. Keluarganya menyimpan rapat fakta seputar kesehatan Stepancyh. Semenjak dua tahun yang lalu, kondisinya semakin parah, bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bisa bertahan.

Mulanya, Katya pergi ke New York untuk mendatangi Kay Olivier yang bekerja sebagai fotografer di bidang kuliner. Sayang sekali rencananya harus tertunda karena Kay mengalami masalah dengan kepolisian. Ia dituduh sebagai pelaku pembunuhan rekan kerjanya. Karena sebuah pisau lipat yang tidak tahu dari mana asalnya yang tiba-tiba saja ditemukan di sakunya. Mau tidak mau, Katya harus mengerahkan segala upaya demi bisa membebaskan Kay, juga agar pria itu dapat memaafkannya dan mereka bisa berdamai kembali dengan masa lalu.


Lalu Katya juga harus ke Indonesia, menemui Lhiver. Sebenarnya, permasalahan pelik mereka ada di Lhiver. Bisa dibilang pria itulah yang merasa paling terluka dengan kejadian yang menimpa mereka dua tahun yang lalu. Lhiver pergi sejauh-jauhnya dari Rusia, dan memilih Surabaya sebagai tempat mengasingkan diri. Di sana, ia menjadi seorang pengajar di universitas dan menjalani kehidupannya yang baru. Dan Lhiver tetap mencoba untuk melupakan kehidupannya yang lama.

Bagi Katya, menemui Lhiver jauh lebih sulit ketimbang Kay, kakaknya. Karena duka Lhiver terlalu dalam. Ia kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya dalam peristiwa itu. Ia bahkan sampai harus pergi jauh dari tempat di mana luka itu terjadi. Pergi dan meninggalkan sisa-sisa kebahagiaannya di sana, demi mencari kebahagiaan baru di tempat yang sama sekali asing baginya.


Ada kalanya batas mimpi dan kenyataan terasa begitu kabur, terutama bila terlalu sering bermimpi. Mimpi seolah adalah hal yang riil, bisa didengar, dipandang, bahkan dikecap. Dan kenyataan malah tampak kabur, dengan benang-benang halus yang membalutnya, juga kesan transparan yang bisa menguap sewaktu-waktu. ---halaman 81

Apakah mereka akan kembali bersama? Apa yang menyebabkan persahabatan itu hancur seketika?


***

Bisa dibilang novel ini spesial. Butuh lebih dari tiga tahun untuk saya dapat menikmati novel ini. Apalagi, teman-teman yang merekomendasikannya adalah orang-orang yang saya kenal tidak terlalu gandrung dengan novel romansa (karena teman-teman yang membicarakan novel ini dan merekomendasikan ke saya adalah anak-anak aktivis keislaman--eh, saya juga termasuk sih hahaha--yang notabene bacaan mereka biasanya tidak jauh dari tema itu pula, dan--kecuali saya--jarang menyentuh novel-novel bertemakan romance). Jadi, wajar kalau saya penasaran. 

Sebenarnya, saya nggak bakal menyangka bisa menemukan buku ini (karena memang edisi tahun 2011, bukan novel baru), dan membacanya. Bermula dari keisengan untuk menaruhnya di rak "want to read" di goodreads, dan ternyata, pada suatu hari, saya berjodoh juga dengan bisa memiliki buku fisiknya. Saya jadi percaya dengan kekuatan "want to read" shelves di goodreads, karena sudah beberapa kali list buku yang saya masukkan di situ jadi berjodoh dengan berhasil membaca bukunya. Jadi, sekarang kalau kepingin baca suatu buku, saya langsung klik saja di goodreads, dan semoga menjadi doa. 

Jadi pada akhirnya, beberapa bulan yang lalu saya membaca ini juga, yeay. Seperti super mini review saya di goodreads, saya menuliskan: "Selesai kurang dari 24 jam. Setelah penantian ingin membaca buku ini yang terlalu lama." Ya. Benar-benar lama, bukan?


Seperti khasnya novel-novel Prisca Primasari lainnya (sejauh ini saya sudah membaca tiga bukunya), penulis memiliki kemampuan meramu plot-twist yang juara. Di Éclair ini, penulis berhasil menyimpan kejutannya dengan menebarkan cerita akibat dari sebuah sebab yang masih misteri. 

Ada banyak kisah di sini, namun kepiawaian penulis dalam merangkaikan cerita membuatnya pas, dan tidak tumpang tindih. Novel ini juga tidak pure romance karena ada beberapa yang menyerempet ke thriller, seperti saat mengungkap kasus pembunuhan yang dialami Kay. Juga sedikit berbau konspirasi tentang kisah di balik kehidupan Katya dan pekerjaan ayahnya. Dan jangan lupakan pula cerita seputar dunia kuliner yang erat kaitannya dengan Eclair. Membuat saya kepingin sarapan dengan Eclair begitu selesai membacanya.

Dari segi keragaman genre itu, sebenarnya menjadikan novel ini memiliki nilai tambah, karena tidak mudah memadupadankan berbagai cerita dalam satu judul. Namun, bisa jadi justru itu dirasakan sebaliknya oleh pembaca. Saya berada di yang kedua, meskipun saya masih tetap menikmati novel ini dengan baik.

Selain itu, ada pula beberapa kebetulan-kebetulan yang terlalu mendominasi cerita sehingga membuat kesan alamiah ceritanya jadi kurang. Meskipun, jika ditinjau dari pola sebab-akibat, semuanya masih dalam batas kelogisan.

Oh ya ada satu lagi, ternyata memang dulu pernah ada masanya blurb diisi dengan "kata-kata indah" alih-alih tulisan seputar informasi buku. Alhamdulillah sepertinya sekarang sudah nggak nge-trend lagi. Ini membingungkan jujur saja, karena pembaca jadi gambling karena tidak tahu jalan ceritanya bagaimana. Apalagi untuk saya yang nggak mudah tergiur dengan kata-kata indah. Cie.

Overall, saya cukup menikmati novel ini. Rasa penasaran saya bertahun-tahun silam sudah terbayar. Saya jadi tambah suka dengan karya penulis dan ingin menikmati cerita-cerita lainnya.


Sing Me Home

Judul : Sing Me Home
Penulis : Emma Grace 
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 272 Halaman
ISBN : 9786020335711
Edisi Pertama, Desember 2016
Rating : 4 dari 5



Kamu tahu, cita-cita bukanlah sekadar cita-cita. Mereka mendefinisikan siapa dirimu yang sesungguhnya. ---halaman 191

Blurb:

Selain menghadapi ibu yang tidak setuju dirinya menjadi penari, Gwen juga harus menerima fakta yang lebih menyakitkan: Hugo, cowok yang selama ini dekat dengannya, ternyata memilih gadis lain. Gwen sadar ia mesti mempertahankan impiannya menjadi penari profesional, meski masih patah hati.

Di tengah situasi itu, Gwen harus mengikuti audisi tari yang sangat penting. Dan di sana, ia bertemu Jared mengabadikan tariannya dalam selembar foto. Sejak itu, nyaris tiap kali, Jared menemaninya latihan tari. Cowok itu memasuki hidup Gwen, dan hidup Gwen tenang kembali.

Namun, bagaimana kalau jauh di dalam hati Gwen, Jared hanyalah pengganti Hugo? Bahwa Hugo-lah yang sebenarnya ia inginkan?

***

Gwen, seorang gadis kelas dua belas yang memiliki passion dalam dunia tari. Namun sayangnya, Ma tidak ingin Gwen menggeluti bidang itu. Ada alasan yang berkenaan dengan masa lalu Ma yang membuatnya tidak ingin Gwen menjadi penari. Berkebalikan dengan sikap Ma terhadap passion-nya itu, Gwen justru malah menunjukkan bakat yang benar-benar cemerlang. Savannah guru tarinya bahkan yakin kalau grup tari mereka Annabel's akan dapat mengorbit, pun begitu pula dengan Gwen salah satu punggawa Annabel's. Savannah yakin anak didiknya itu benar-benar berbakat.

Diam-diam Gwen menjalani sesi latihan menari yang lebih berat dan lebih padat. Ma hanya mengizinkan dirinya berlatih dua kali seminggu, lebih dari itu tidak. Ia selalu berdalih mengerjakan tugas kelompok bersama Hanna, sahabatnya. Dengan Hanna-lah Gwen mencurahkan segala isi hatinya.

Gwen menyimpan perasaan pada Hugo dan ia yakin Hugo pun merasakan hal yang sama. Namun, kehadiran sosok Corrine di tengah-tengah mereka membuat Hugo berpaling, dan Gwen tersisihkan. Ingin rasanya ia membenci Corrine, tapi sebenci apa pun ia dengan gadis itu, rasa kasihan tetap muncul. Meskipun Gwen tidak dapat menyalahkan keadaan yang membuatnya harus terpisah hanya karena kondisi Corrine. Ia mengaku kalah dari gadis itu lalu pergi dari kehidupan Hugo.

Saat sedang berlatih tari, Gwen bertemu dengan Jared, sosok pemuda dengan kamera di tangannya berhasil mengabadikan momen Gwen. Pemuda itu jatuh hati padanya, dan berniat untuk menjalin hubungan dengan Gwen. Gwen bimbang. Ia tidak bisa menghilangkan sosok Hugo begitu saja dalam benaknya. Tapi kehadiran Corrine tidak bisa ia abaikan begitu saja. Namun, dengan kemunculan Jared dengan perhatian yang diberikan pemuda itu padanya, membuat Gwen berpikir barangkali memang ia bisa menghilangkan sosok Hugo selamanya dan menerima Jared dalam hidupnya.

Mereka pada akhirnya berhubungan. Hidup Gwen menjadi lebih baik ketimbang saat-saat ia ditinggalkan Hugo. Namun, konflik demi konflik bermunculan, terutama berhubungan dengan kebohongannya dengan Ma seputar aktivitasnya menari. Ditambah lagi, semakin hari Gwen tidak mampu pula membendung perasaannya yang sesungguhnya masih bertaut pada Hugo. Ia tentu tidak dapat terus-terusan meletakkan Jared pada posisi yang seharusnya tidak ditempati pemuda itu dalam hatinya.

Apakah yang terjadi dengan hubungan mereka? Bagaimana kelanjutan sikap Ma dan mengapa Ma sangat membenci pilihan hidup Gwen seputar passion-nya di bidang tari?

***

Ini adalah kali pertama saya berkenalan dengan karya Emma Grace. Membaca Sing Me Home adalah merasakan kehangatan yang disajikan dalam deskripsinya. Penulis membuat kisah romansa berbalur kehidupan keluarga yang masih kental dengan nuansa chinnese-nya. Ber-setting di Sydney Australia, membuat rasa di novel ini seperti novel-novel terjemahan.

Deskripsinya mengalir dengan indah, membuat pembaca dibuai dengan kesan hangat dan lembut. Emosi yang diberikan disajikan dengan tenang, namun ada momen-momen tertentu yang nendang. Membuat haru, gelisah, dan berhasil mengikat pembaca hingga tidak ingin melepaskannya sampai selesai membaca.

Karakter dalam cerita ini disampaikan dengan pas dan tidak berlebihan. Menurut saya, Gwen adalah sosok yang egois. Namun, sisi keegoisannya itu berada pada proporsinya, yang memang benar-benar manusiawi. Sehingga, meskipun di balik kekeraskepalaannya dan keegoisannya, Gwen tampil sebagai sosok tokoh utama yang mengesankan. Terlebih lagi, bagaimana ia memperjuangkan mimpinya, benar-benar menginspirasi.

Lalu ada sosok Hugo, seorang pemuda yang memiliki cara tersendiri untuk menggapai impiannya. Ia juga memiliki pemikiran dewasa yang mana apa yang ia pikirkan dan putuskan terkadang melampaui apa yang dipikirkan pemuda di usianya. Sementara Jared, adalah sosok yang menyenangkan. Saya tidak bisa mendeskripsikan yang lebih pas lagi dengannya selain itu. Pokoknya, saya senang dengan Jared bahkan jauh lebih senang Gwen dengan Jared ketimbang Hugo.

Untuk Ma sendiri, saya jadi teringat dengan sebuah kutipan dari novel yang saya baca bahwa orangtua memiliki peran untuk "merusak" anak-anak mereka dengan berupaya memasukkan keinginan mereka dan memaksakan kehendak atas kehidupan anak-anak mereka. Bisa dibilang, saya cenderung setuju. Sosok Ma mengingatkan saya betapa terkadang, ia mengambil peran demikian dalam hal yang menurut mereka "terbaik" bagi anak-anaknya. Padahal, mungkin itu hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan atau trauma yang mungkin pernah orangtua alami. Saya jadi teringat dialog Gwen dan Pop, kakeknya.

"Itu bagian dari menjadi orangtua. Mereka akan menjadi pusing tanpa kecuali. Jadi tak usah merasa bingung, Gwen."
"Yah, mungkin Pop benar. Tapi yang pasti, aku tak ingin jadi orangtua yang membuat anak-anakku harus mengorbankan impian mereka demi ambisiku semata."
"Tidak begitu, Gwen." ---halaman 198

Dari sisi plot, penulis membuat sebuah kisah yang benar-benar dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, di tangan seorang Emma Grace, kisah yang "biasa" itu mendapatkan sentuhan yang menjadikannya "luar biasa". Cerita seputar impian yang dihalangi orangtua, pengorbanan dalam hubungan percintaan, susah move on, merupakan hal yang familier dalam kehidupan kita. Di sini kita akan menemukan plot cerita seputar itu. Justru, dengan semakin dekatnya kisah ini dalam cerita sehari-hari, membuat kita juga dapat dengan mudah memahami bagaimana peristiwa itu terjadi dan bagaimana menyikapinya.

Saya juga senang dengan alur maju-mundur yang disampaikan dalam novel ini. Penulis menjalinnya dengan lembut sekali. Terkadang satu bagian memang dibuat mundur dengan jelas. Namun, ada juga di bagian lain yang alurnya mundur dengan sendirinya tanpa pembaca sadari. Ini jelas membuat pembaca merasakan betapa apiknya jalinan alur yang dibuatnya. Benar-benar memikat.

Satu hal lagi, saya senang penulis memasukkan unsur budaya tradisional Cina di dalam novel ini. Entah dalam kulinernya, juga waktu momen pernikahan. Membuat saya yang hanya tahu di permukaan saja, menjadi cukup memahami. Ini menjadi nilai lebih lainnya dari novel ini.

Hanya saja, saya masih menemukan beberapa kesalahan penulisan. Tidak banyak sebenarnya, bahkan kalau tidak salah kurang dari lima. Semoga jika novel ini cetak ulang bisa diperbaiki. Namun bagi saya, ini sama sekali tidak mengurangi rasa nikmat dan menyenangkannya membaca novel ini. Saya jadi tertarik untuk menikmati karya Emma Grace yang lainnya.


Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)