Critical Eleven

Judul : Critical Eleven
Pengarang : Ika Natassa
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020318929
Tebal : 344 Halaman
Rating : 4 dari 5
WARNING! SPOILER ALERTS!!!



Blurb:

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya. 

***

Tanya Laetitia Baskoro adalah seorang wanita karir, anak tunggal, bekerja sebagai Management Consultant yang memiliki frekuensi terbang cukup tinggi. Aldebaran Risjad adalah seorang anak sulung dari lima bersaudara, ayahnya mantan tentara yang amat sangat menginginkan anaknya melanjutkan karir ketentaraan ayahnya. Namun, Ale tidak memiliki minat sama sekali, dan memilih jalan hidupnya sendiri. Sejak saat itulah hubungannya dengan sang ayah retak. Ale justru memilih untuk melebarkan jarak dengan kuliah dan bekerja sejauh-jauhnya dari rumah, di Rig, pengeboran minyak lepas pantai 25 jam penerbangan dari Jakarta. Dengan frekuensi bekerja lima minggu di lokasi, dan lima minggu off. Tapi karena hubungannya dengan si ayah belum membaik juga, Ale lebih memilih menghabiskan masa liburannya untuk travelling ketimbang pulang ke rumah.

Karena intensitas keduanya dalam menumpangi pesawat, suatu hari mereka bertemu dalam penerbangan tujuh jam ke Sydney. Anya, yang biasanya mendapatkan teman duduk bapak-bapak tua, atau ibu-ibu yang sibuk dengan anaknya, atau malah justru si anak yang duduk di sebelahnya, cukup terkejut (dan senang tentu saja) karena teman seperjalanannya kali ini adalah pria tampan. Namun di tiga jam pertama Anya justru malah menghabiskan waktunya dengan tidur..., di pundaknya si Ale.

Obrolan tercipta di antara keduanya setelah beberapa kali berbagi kata "maaf" dan "nggak apa-apa." Ale bercerita kalau dia tidak bisa tidur selama dalam perjalanan dan memilih untuk membaca buku. Namun kalau ada teman ngobrol cantik dan cerdas seperti Anya, buku mana yang bisa menandinginya? :)) Sebelum berpisah mereka sempat bertukar nomor telepon. 

Tapi Ale baru menghubungi Anya sebulan berikutnya saat dia mendapat kesempatan untuk libur, dan memutuskan pulang ke Jakarta. Dan pertemuan mereka kembali itu berlangsung di..., ketoprak ciragil dekat kantor Anya. Seminggu sesudahnya, mereka memutuskan untuk pacaran. Setahun sesudahnya Ale dan Anya pun menikah. Mereka memiliki kehidupan yang sangat menyenangkan, bisa dikatakan demikian, meskipun jarak dan waktu terkadang memisahkan keduanya. Namun pada suatu saat, sebuah ujian melanda kehidupan mereka, yang membuat segalanya menjadi berantakan.

Sejak kejadian itu, Ale dan Anya pisah ranjang, dan membangun tembok yang kokoh di antara keduanya. Ketika Ale berniat meruntuhkan tembok kokoh itu, Anya kembali menebalkan jarak di antara keduanya. Prahara rumah tangga keduanya ini tidak diceritakan kepada pihak luar, atau bahkan sampai tercetus kata perceraian. Ya bagaimana lagi, sebenarnya mereka pun masih cinta, Anya saja masih mengenakan cincin pernikahan mereka. Tapi ini jadi problem ketika si Harris dan Raisa, adik Ale, merencanakan pesta ulang tahun kejutan buat Ale. Skenarionya, Anya diminta untuk mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah.... Anya bahkan sempat memikirkan skenario ini untuk direalisasikan, dan Ale pun mempunyai pemikiran yang sama ketika ia mendapati lemari baju istrinya kosong.

Kelanjutan cerita bisa dibaca sendiri, dan senang sekali saya berhasil menebak endingnya seperti apa :p

***

Secara keseluruhan, saya senang dengan cerita ini. Plotnya sederhana tapi dengan eksekusi yang manis buat ceritanya hidup, dan pembaca bisa ikut terbawa ke dalam konflik ceritanya. Ada beberapa poin yang saya suka, terutama, Ika Natassa membuat sosok Ale hidup banget. Meskipun beberapa orang ada yang menganggap Ale terlalu sempurna, bagi saya nggak juga. Banyak kok di luar sana saya kenal orang yang seperti Ale. Mapan, soleh, cool, begitulah. Dan si Tanya juga, meskipun saya kesal ya, karena di sini saya #TeamAle bukan #TeamAnya, sempat ikutan sebal sama si Anya di beberapa kesempatan. (Padahal kalau saya ada di posisinya mungkin akan berlaku yang sama sih.)

Lalu, penyampaian cerita yang sepotong-sepotong, membuat seperti sedang menyusun puzzle. Pertanyaan yang muncul di awal, akan menemukan penjelasan di tengah. Pertanyaan yang ada di tengah, nanti ketemu jawabannya di menjelang akhir. Kita seperti diajak menyusun lego, namun perpindahan alurnya benar-benar soft.

Tapi, ada beberapa hal yang cukup mengganjal saat baca buku ini. Ini termasuk ke selera sih ya, tapi ya tetap saja kurang begitu suka. Yang pertama, karena banyaknya bahasa campur, mix Indonesia-Inggris yang saya kurang begitu suka. Saya sealiran dengan Dewi Lestari yang mana gaya penulisan Dee itu, meminimalisir kata bercetak miring dalam novelnya. Di cerita ini, pada bagian awalnya banyak sekali bahkan nyaris di masing-masing paragraf ada bahasa Inggrisnya. Bukan berarti saya nggak tahu artinya sih, tapi hanya saja, itu mengurangi nikmat membaca bagi saya. Syukur deh sejalan ketika membacanya, sudah agak berkurang dan karena terlalu larut dengan jalan cerita, saya sudah nggak memperhatikan itu lagi :p

Selain itu, saya juga kurang suka membaca cerita pakai sudut pandang "gue". Oke, mungkin maksudnya untuk membedakan dengan jelas dua tokoh tersebut. Tapi bagi saya, oke-oke saja sih kalau saat menceritakan si Ale-nya pakai "aku" juga. Ini balik lagi masalah selera sih, tapi berhubung saya lanjut saja dan justru malah jatuh cinta sama si Ale, menandakan kalau itu tadi nggak begitu jadi masalah besar (meskipun saya wajib menuliskannya di sini :P).

Lalu, menjelaskan satu situasi dengan dua sudut pandang yang berbeda membuat saya ingat sama role playing fiction. Ini bukan berarti nggak bagus hanya saja..., apa ya, kurang begitu suka saja (karena ingat hutang main RP #nggak). Tapi ya so far, sudah saya bilang, saya suka sama cerita ini, suka pake banget. Jadi beberapa yang miss di sini tetap saya tuliskan meskipun kesan mendalamnya lebih kerasa bagus-bagusnya saja.

Bintang empat dari lima, dan yah, semoga ada satu saja orang seperti Ale yang disisakan buat saya :P #iniapa. Oh ya, novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca bagi yang belum (dan akan/pengen) menikah, selain novel Istana Kedua (Surga yang Tak Dirindukan). Serius, banyak pelajaran yang bisa diambil darinya.

Let It Snow

Judul : Let It Snow 
Pengarang : John Green, Maureen Johnson, Lauren Myracle
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978602011517
Tebal : 312 Halaman
Rating : 4 dari 5
WARNING! SPOILER ALERTS!!!






The Jubilee Express - Maureen Johnson [4,5]

Jubilee harus menghadapi cerita yang menyedihkan di malam natal. Kedua orangtuanya dipenjara karena terlibat kerusuhan saat membeli Flobie Santa Village (saya sampai googling dan memang, wow banget mainan satu itu), membuat Jubilee harus pergi ke tempat neneknya untuk menikmati malam natal di sana. Jubile sebenarnya enggan karena dia mau melewatkan setahun pacarannya dengan Noah, namun karena ada badai salju paling besar dalam lima puluh tahun terakhir, membuat dia pasrah untuk mengikuti titah orangtuanya yang kala itu mengutus Sam, pengacara tetangga mereka untuk mengurus kepergiannya.

Singkat cerita, Jubilee pergi naik kereta dan di sana dia bertemu dengan beberapa orang. Yang pertama adalah Jeb, seorang pria yang, kalau Jubilee tidak ingat Noah, dia pasti akan suka dengan pemuda itu. Jeb sedang patah hati karena baru saja putus dari ceweknya. Namun menyebalkan sekali, mereka dibombardir oleh sekelompok anggota pemandu sorak yang, ehem, norak, karena terus saja memamerkan manuver mereka. Juga ada yang kode-kode ke Jeb begitu. Tidak hanya sampai di situ saja, rupanya kereta mereka terhenti karena terkena dampak badai salju. Mereka terpaksa menginap di dalam kereta hingga proses perbaikan selesai.

Tidak mau terjebak di tempat ini, lantas Jubilee berinisiatif untuk pergi ke luar karena ada Waffle House, tempat yang lebih hangat dan tidak ada cheerleader noraknya. Tapi situasi bertambah parah ketika keempat belas pemandu sorak itu datang ke tempat itu juga. Mereka bermaksud berlatih handstand, formasi piramida, atau apalah itu. Namun untungnya, secara tidak terduga Jubilee bertemu dengan seorang pria bernama Stuart, yang setelah mengobrol beberapa saat malah menawarkan rumahnya untuk diinapi. Katanya, ibunya pasti akan senang banget karena sudah bisa memberikan "berkah natal" di malam natal seperti itu. Padahal si Stuart ini Yahudi.

Singkat cerita, keduanya menembus badai salju yang tinggi dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah Stuart. Sempat terjatuh ke dalam sungai yang permukaannya retak juga, namun akhirnya sampai juga, dan bertemu dengan ibu Stuart yang menarik. Lalu, si Jubilee-nya putus deh sama Noah dan..., yeah, mulai pacaran sama Stuart! Memang klise banget, tapi coba baca sendiri novelnya, ini cerita benar-benar manis.


***


Lama nggak ber-"kyaaa-kyaaa" baca cerita romance khas anak remaja, dan saya dapatnya di sini. Sempat pengen "nge-ABG" dengan baca teenlit/young adult buatan dalam negeri entah kenapa nggak pas aja sama saya. Mungkin karena sekarang umurnya udah nggak "bocah" lagi dan ternyata saya pasnya baca YA luar negeri (karena mereka kelewat dewasa di umur mereka segitu kali ya hahaha, dan saya udah nggak remaja lagi #gitu). Dari ketiga cerita ini saya paling suka sama kisah Jubile dan Stuart (apalagi namanya Stuart! Penting banget karena saya suka nama ini!). Menurut saya sih, menarik aja. Simpel tak terduga, dan cerita si mamanya Stuart cukup pas.


A Cheertastic Christmas Miracle - John Green [4]

Tobin, The Duke, dan JP, (oh satu lagi Keun,) adalah sekelompok sahabat. Mereka menghabiskan malam natal bersama karena orangtua Tobin yang tengah berada di luar kota tidak mendapatkan penerbangan pulang karena terkendala cuaca buruk. Pada mulanya, ketiganya hanya berniat menghabiskan malam dengan menonton film, namun sebuah panggilan telepon dari Keun yang malam itu bekerja di Waffle House, mengubah segalanya. Keun memberitahukan teman-temannya kalau ada "keajaiban natal" di tempatnya sedang bekerja malam itu, karena ada empat belas anggota cheerleader yang memenuhi tempat mereka. Keun meminta teman-temannya datang sebelum orang-orang lain mengisi tempat kosong yang masih tersedia di tempat itu.

JP tentu saja begitu bersemangat untuk pergi, Tobin juga. Tapi tidak dengan The Duke, satu-satunya perempuan dalam geng itu. The Duke benci cheerleader, dia benci cuaca dingin. Dan Tobin juga tahu pasti bahwa temannya itu benci harus meninggalkan sofa saat film James Bond sedang diputar. tetapi The Duke menyukai hash brown di Waffle House. Dan akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pergi, dengan membawa twister yang dipesan oleh Keun, untuk menarik perhatian gadis-gadis pemandu sorak itu tadi.

Dengan mobil milik orangtua Tobin, mereka memulai petualangan menaklukkan cuaca buruk dengan salju yang sangat tebal hanya untuk bisa pergi ke Waffle House. Mobil yang sempat rusak, tapi baik lagi, lalu akhirnya tidak bisa jalan sama sekali, petualangan bertemu dengan si kembar Timmy dan Tommy yang juga menginginkan tempat di Waffle House demi bertemu cewek-cewek pemandu sorak. Beberapa fakta juga baru keluar selama di perjalanan, misalnya The Duke yang sempat berkencan dengan Billy Talos. Ya begitulah. Pada akhirnya, ada yang membuat pengakuan di tempat itu dan..., jadian.

Quotes paling saya suka di part ini adalah: "Hash brown means nothing without you.


***


Kalau di cerita pertama itu kesannya cewek banget (tapi pas, nggak berlebihan si ceweknya), di sini jadi berubah ke-cowok-an #naon. Karena pakai sudut pandang Tobin yang notabene cowok, cerita tentang friendshipnya ngena, petualangannya juga oke. Suka. Tapi ada beberapa catatan yang agak mengganjal di sini. Di bagian, si Tobin mengendarai mobilnya dengan kecepatan 60 km/jam, itu saya agak rancu di sana. Soalnya kan kalau 60 km/jam termasuk nggak cepat-cepat amat sih. Dan ternyata, di lain kesempatan, translatornya pakai satuan jarak "mil" which is, nggak konsisten aja. "Km" sama "mil" itu kan dua satuan yang beda *shot*. Di Indonesia emang lazimnya pakai kilometer dan di Amerika pakai standar konversi yang berbeda. Duh Nisa bawel amat soal konversian begini ya? Ya gimana kerjaannya sehari-hari ngajar ginian, hehehe.

Tapi, benar-benar menarik kok, menceritakan soal petualangan, friendship, friendzone, yang mana ini my cup of tea banget. Tapi karena memang feelnya saya lagi girly banget, jadi untuk yang John Green selisih rating sedikit dari Maureen Johnson.


- The Patron Saint of Pigs - Lauren Myracle [2]

Addie adalah seorang cewek patah hati yang menghabiskan malam natalnya dengan memangkas habis rambutnya dan mewarnai dengan pink. Addie ini adalah ceweknya si Jeb yang ceritanya sempat disinggung banyak di cerita pertama. Mereka putus karena..., si Addie selingkuh. Addie punya dua teman cewek namanya Dorrie dan Tegan, di mana kedua temannya yang bermaksud menasehati Addie tapi Addie-nya nggak terima. Yeah begitulah.

Salah satu temannya, si Tegan, begitu tergila-gila dengan yang namanya babi. Dia berhasil memesan babi cangkir dan karena cuaca tidak bersahabat dan kebetulan malam kedua natal si Addie bekerja di Starbucks, dan juga karena Addie mau berniat untuk berubah--juga dia mau membuktikan kalau dirinya tidak seegois yang teman-temannya kira--Addie berniat untuk mengambilkan babi kesayangan temannya itu di pet shop. Tapi rupanya dengan kesibukan si Addie, dia sampai lupa, dan terlambat untuk mengambil babi itu. Sampai di tokonya, rupanya ada orang yang sudah membeli si babi (penjaga tokonya nggak tahu kalau itu babi sudah dipesan). Addie mencari siapa yang beli dan ternyata..., dia adalah salah satu pelanggan di kedai kopinya yang sempat melihat post it-an si Addie dan bermaksud untuk menjadi "malaikat" apalah. Intinya cuma mau ngetes si Addie doang.

Endingnya memang mereka, si tokoh-tokoh utama sebelumnya ketemu di Starbucks sih, dan Jeb juga. Begitulah.

***


Cerita ketiga, aduh kok nggak banget ya menurut saya. Eksekusi sebagai penutupnya kurang nendang. Cerita dari sudut pandang cewek super egois nggak ngena. Sayang banget, padahal Maureen sudah mengenalkan Jeb dengan bagus banget di cerita pembuka, dan dia punya cewek seperti Addie, aduh sayang banget. He deserves better, #halah. Tapi ini kan memang balik ke selera sih ya. Yang menarik dari saya justru bukan cerita Addie-Jeb (karena emang karakter si Addie ini nggak banget), atau si babi cangkir, tapi tentang bagaimana kebiasaan orang-orang di Georgetown yang keranjingan nyetarbak tiap pagi, sudah kayak minum teh di rumah saja. Dan ini sebenarnya wajar sih ya, saya menyaksikan banyak juga orang-orang yang doyan nongkrong dan ngopi di tempat itu, yang mana kalau sesuaikan sama kantong saya, itu nggak bakalan nutup gaji sebulan xD. Secara satu gelas kopinya aja mehong bangetttt. Ah mungkin di sana murah kali ya, mungkin seharga teh kotak atau milo kalengan, hahaha.




***


So far, ambil rata saja, bintang empat. Karena ini bukan hanya tiga penulis dijadikan satu, tapi kolaborasinya benar-benar membuat cerita utuh dan menarik sesuai karakteristik penulisnya masing-masing.

Dunia Cecilia

Judul : Dunia Cecilia 
(Sempat terbit dengan judul: Cecilia dan Malaikat Ariel)
Judul Asli : Through a Glass, Darkly
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerbit : PT Mizan Pustaka
ISBN: 9789794338865
Tebal : 209 halaman
Rating : 5 dari 5





Blurb:

"Orang bilang, kita akan ke surga setelah mati. Benarkah?"
Malaikat Ariel mendesah, "kalian semua sekarang sudah berada di surga. Sekarang, di sini. Jadi, sebaiknya kalian berhenti bertengkar dan berkelahi. Sangat tidak sopan berkelahi di hadapan Tuhan."


Malam Natal tahun ini sungguh menyedihkan bagi Cecilia. Ia sakit keras dan mungkin tak akan pernah sembuh. Cecilia marah dan menganggap Tuhan tidak adil. 

Namun, terjadi keajaiban. Seorang Malaikat-Ariel namanya-mengunjungi Cecilia. Mereka berdua kemudian membiat perjanjian. Cecilia harus memberitahukan seperti apa rasanya menjadi manusia dan Malaikat Ariel akan memberitahunya seperti apa surga itu. 

Cecilia adalah seorang gadis cilik yang tengah mengalami sakit keras. Kegiatan sehari-harinya hanyalah berada di kamar, dan hanya mengamati ornamen-ornamen yang ada di kamarnya, atau membaca Science Illustrated yang selalu dibelikan ayahnya, atau menulis di Diari Cina miliknya yang tersembunyi di bawah kolong ranjang. Tapi Cecilia tidak cukup punya tenaga untuk menulis banyak di diari itu. Tapi dia sudah bertekad untuk mencatat semua gagasan yang terlintas di benaknya saat ia terbaring di ranjang. Mereka menyediakan lonceng kecil yang diletakkan di meja apabila Cecilia membutuhkan sesuatu, sehingga anggota keluarganya akan datang. 

Suatu pagi di hari Natal, seorang malaikat menyambanginya dan memulai pertemanan ganjil mereka dengan sebuah sapa, "Nyenyak tidurmu?" Sang malaikat memperkenalkan dirinya sebagai Ariel. Lantas keduanya berdialog dan membicarakan banyak hal, hingga mereka membuat kesepakatan untuk saling menceritakan tentang misteri yang melingkupi kehidupan mereka.  Cecilia harus memberitahukan seperti apa rasanya menjadi manusia dan Malaikat Ariel akan memberitahunya seperti apa surga itu. 

***

Dimulai dari Ariel, yang begitu ingin tahu bagaimana rasanya meraba, melihat, mendengar, memiliki penciuman, memiliki indera perasa. Cecilia heran dan baru mengetahui kalau malaikat tidak bisa merasakan itu semua, membuat Cecilia yang awalnya menganggap aktivitas itu biasa saja jadi ikut berpikir juga, bahwa manusia tercipta dengan banyak sekali kompleksitas yang mahadahsyat. Obrolan mereka pun bergulir ke mana-mana. Seperti misalnya, "Duluan mana ayam atau telur?" atau "Mengapa malaikat tidak punya rambut? Apakah mereka selalu memotong kuku?"

Kata Ariel, manusia dianugerahi hal-hal terbaik dari dua dunia. Mereka punya ruh dan kesadaran malaikat, juga punya badan yang tumbuh, seperi hewan. "Aku nggak suka disamakan dengan hewan," protes Cecilia.

"Semua tumbuhan dan hewan memulai hidup mereka sebagai benih atau sel mungil. Mula-mula mereka sangat serupa sehingga kau tak bisa membedakan mereka. Tapi kemudian, benih-benih mungil perlahan berkembang dan menjelma menjadi segala macam tumbuhan, mulai dari semak berry merah dan pohon plum sampai manusia dan jerapah. Butuh waktu berhari-hari sebelum kau bisa melihat perbedaan antara embrio babi dan embrio manusia. Kau tahu itu?"

Dan dialog yang paling saya suka itu saat mereka membicarakan tentang surga dan Tuhan:

"Aku selalu bertanya-tanya di manakah surga berada," kata Cecilia. "Tak seorang pun astronaut pernah melihat Tuhan atau malaikat."

"Tak seorang pun ahli bedah otak pernah menemukan pikiran di dalam otak. Dan tak seorang pun psikolog pernah melihat mimpi orang lain. Itu tak berarti pikiran dan mimpi tak benar-benar ada di dalam kepala manusia."

Masih banyak sekali dialog-dialog sarat filosofis sejenis itu. Dan karena disajikan dalam sudut pandang anak kecil yang rasa ingin tahunya tinggi, juga oleh malaikat yang akhirnya punya teman yang bisa diajak mengobrol dan berdiskusi, obrolan ini benar-benar menarik. Sayang sekali, malaikat Ariel hanya datang saat Cecilia sedang sendiri sehingga bahkan ketika keadaannya semakin memburuk, ia meminta orang-orang yang menunggunya untuk pergi. 

Akhirnya memang sudah bisa ditebak bagaimana, tapi yah... tetap saja, perjalanan menuju akhir itu menyimpan banyak perenungan tentang keajaiban alam semesta, tentang manusia dan segala keajaiban yang ada di dalam dirinya. Ironisnya lagi, cerita disampaikan dari sudut pandang Cecilia, seorang anak kecil yang sedang mengalami sakit keras. 

Yang disayangkan, ini kenapa Mizan pada latah mengubah judul novelnya Jostein Gaarder pasca Dunia Sophie, pada diganti dengan "dunia" semua di depannya ya? Dunia Anna, nah sekarang Dunia Cecilia yang sebelumnya pernah diterbitkan dengan judul "Cecilia dan Malaikat Ariel". Entah mengapa saya suka judul aslinya "Through The Glass, Darkly" yang menurut saya lebih filosofis. Karena kita memang menatap "dunia lain" tersebut seperti menatap cermin yang buram. Namun bukan berarti tidak ada. Konsep ketuhanan, malaikat (meskipun saya tidak yakin malaikat yang sesungguhnya itu seperti yang digambarkan oleh Jostein Gaarder melalui Ariel-nya, namun saya percaya bahwa malaikat itu ada), proses penciptaan, dan lain sebagainya yang tidak dapat dipikirkan secara nalar, itu benar-benar ada. Seperti dialog Cecilia-Ariel di atas: Tak seorang pun ahli bedah otak pernah menemukan pikiran di dalam otak. Dan tak seorang pun psikolog pernah melihat mimpi orang lain. Itu tak berarti pikiran dan mimpi tak benar-benar ada di dalam kepala manusia.

Konsep ide ceritanya pun menarik, dengan memberikan perbedaan yang spesifik dan mendasar antara malaikat dan manusia dengan membuat si malaikat tidak memiliki apa yang melekat dalam diri manusia. Sebenarnya alangkah inginnya saya membicarakan malaikat dalam perspektif Islam, namun apa daya ilmu saya tidak sampai. Tapi di sini, karena tokoh fantasinya Opa Gaarder dibuat sedemikian rupa, membuat kita para pembaca (mungkin saya saja sih) kembali bercermin, tapi tidak melalui cermin yang buram, bahwa dialog dan ide yang diangkat sebenarnya membuat kita harusnya mengenali diri kita sendiri lagi. Jadi ingat ungkapan populer Arab (dan ini bukan hadits lho, by the way), “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya,” memiliki makna yang mendalam bahwa kalau kita mau melihat keajaiban Tuhan, coba deh lihat ke diri kita sendiri dulu.

Dan sebagai penutup review ini, masih berhubungan dengan  kalimat terakhir saya di atas, ada satu lagi kutipan menarik dari buku ini, tentang pertanyaan Cecilia mengenai apakah malaikat bisa melihat Tuhan.

“Aku sekarang bertatap muka dengan sepotong kecil dari diri-Nya. Apapun yang kulihat dan kubicarakan dengan sepotong kecil diri-Nya, sama artinya aku melihat dan membicarakan-Nya dengan Dia.

The Notebook

Judul : The Notebook
Pengarang : Nicholas Sparks
Penerjemah : Kathleen S.W
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020306490
Tebal : 255 halaman
Rating : 2 dari 5





Blurb:

Sekembalinya dari medan perang, Noah Calhoun yang berusia 31 tahun senantiasa dihantui bayang-bayang gadis cantik yang dikenalnya empat belas tahun silam, dan amat dicintainya. Walau mereka tak pernah bertemu lagi, Noah merasa puas hidup dengan kenangan masa lalunya... namun tanpa terduga gadis itu kembali ke kotanya, untuk menemuinya sekali lagi.


Allie Nelson, 29 tahun, kini sudah bertunangan dengan pria lain, namun ia menyadari bahwa cintanya pada Noah tak pernah pudar ditelan waktu. Tapi dunia mereka begitu berbeda. Menghadapi pernikahannya yang tinggal beberapa minggu lagi, Allie dipaksa untuk mempertanyakan, apa sebenarnya harapan-harapan dan impiannya untuk masa depan, dan dengan siapakah ia ingin menjalani masa depan itu. 

***

Di sebuah panti jompo, seorang laki-laki tua membacakan cerita dari buku catatannya kepada wanita tua lainnya. Di situ diceritakan tentang kisah seorang pemuda bernama Noah Calhoun, yang jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Allie Nelson, setelah pertemuan mereka selepas festival. Seorang teman Noah, Fin, menyebutkan bahwa gadis itu sedang melewatkan musim panas di New Bern bersama keluarganya. Mereka kemudian bertemu lagi, dan lagi, hingga keduanya tidak dapat dipisahkan.

Bukannya orangtua Allie tidak suka pada Noah, namun karena Noah bukan berasal dari kalangan mereka--terlalu miskin--sehingga mereka tidak akan pernah setuju dengan hubungan mereka. Dan ketika musim panas selesai, Allie tidak memiliki alasan untuk tidak kembali kepada orangtuanya, dia mengatakan bahwa hubungan mereka tidak akan pernah selesai. Namun, untuk alasan yang tidak diketahui, surat-surat Noah tidak pernah mendapatkan balasan.

Untuk alasan melupakan hubungannya dengan Allie, Noah memutuskan untuk pergi dari New Bern. Mula-mula ia pergi ke Norfolk dan bekerja di galangan kapal selama enam bulan, lalu pindah ke New Jersey. Ia akhirnya menemukan pekerjaan di tempat pembuangan barang-barang bekas milik Tuan Goldman. Noah bekerja untuk Goldman cukup lama, semakin lama sehingga Noah dipromosikan. Ia menjadi perantara bisnis, serta membawahi tiga puluh staff. Selama bertahun-tahun pula Noah tidak dapat melupakan cinta pertamanya. 

Saat berumur dua puluh enam tahun, perang meletus dan Noah bermaksud ikut mendaftarkan dirinya untuk perang. Saat berpamitan dengan Goldman, ia diberikan aset atas perusahaannya. Selama tiga tahun, Noah menjadi tentara menjelajahi Afrika dan hutan-hutan Eropa karena kesatuannya hampir selalu terlibat dalam peperangan. Setelah perang berakhir, dia mendapatkan sebuah surat dari pengacara yang mewakili Goldman. Ia diberitahu bahwa Goldman sudah meninggal dan Noah mendapatkan banyak sekali uang dari hasil usaha yang dimiliki pria tersebut.

Noah kembali ke New Bern untuk membeli rumah baru baginya dan ayahnya. Rumah tersebut adalah kediaman yang pernah ditinggali oleh keluarga Allie sebelum mereka pindah. Tak lama kemudian ayahnya meninggal.

Allie telah bertunangan dengan Lon, seorang pengacara gagah dan mapan. Pernikahan mereka sudah diambang mata. Namun, ada sesuatu yang membuat Allie kembali mengingat Noah, yaitu ada wajah Noah yang menghiasi gambar Noah, mengabarkan kalau pria itu telah merenovasi rumah mereka di New Bern. Allie memutuskan bahwa semuanya harus diselesaikan, dia harus bertemu Noah. Atas alasan ingin berlibur sejenak dari persiapan pernikahan, Allie pergi ke New Bern. Dan di sanalah dia bertemu kembali dengan Noah.

Namun ketika pertemuan itu kembali terjadi, bibit-bibit cinta di antara keduanya ternyata tidaklah padam. Noah dan Allie justru melanjutkan kembali hubungan terlarang mereka. Ann Nelson rupanya menyadari ada sesuatu yang tidak benar dalam perjalanan Allie kembali ke New Bern. Dia mendatangi rumah Noah dan menemukan anaknya di sana. Seketika itu juga terbongkarlah bahwa selama itu, ibunya yang menyembunyikan surat Noah hingga tidak sampai ke tangan Allie. Ibunya juga memperingatkan bahwa Lon curiga dengan Allie dan sudah mengikutinya hingga tempat ini. Ibunya meminta anaknya untuk kembali pulang. Namun, satu pesan ibunya pada Allie adalah agar Allie mengikuti kata hatinya dalam mengambil keputusan.

Kembali ke masa kini, ternyata yang diceritakan oleh kakek tua tersebut adalah kisahnya sendiri. Dia adalah Noah Calhoun yang ada di dalam cerita. Dan nenek yang diceritakan itu adalah...? Ya kau bisa menebaknya sendiri :p

Allie mengalami penyakit demensia yang menyebabkan dia hilang ingatan. Ingatannya setiap hari hilang, dan setiap hari itulah dengan setia Noah menceritakan kisah itu, tanpa mengatakan bahwa mereka berdua adalah tokoh yang tengah dia kisahkan.

***

Sebenarnya, ceritanya cukup menarik. Tapi, hmmm, apa ya..., not my cup of tea. Kemanisan dan kebanyakan. Seperti puding dengan terlalu banyak gula dan vla, ditambah cokelat. Ada kacang almondnya, bikin sesekali merasakan "krenyes", tapi sebatas itu doang. Dan pada akhirnya nggak bisa dinikmati dengan benar-benar nikmat. Mudah-mudahan nggak kapok baca cerita Nicholas Park yang lainnya.


Burung-Burung Rantau

Judul : Burung-Burung Rantau
Pengarang : YB Mangunwijaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020307732
Tebal : 406 halaman
Rating : 5 dari 5


Novel ini berkisah tentang keluarga Purnawirawan Letnan Jendral Wiranto. Istrinya Ibu Yuniati yang tidak peka dengan humor, dan kelima anaknya dengan karakteristik dan jalan hidup mereka masing-masing. Anak pertama, Anggraini atau Anggi, seorang janda sukses yang mengembangkan bisnisnya melalui wirausaha dan sukses, kaya raya. Anak kedua mereka, Bowo, adalah seorang ilmuwan fisika yang bekerja pada Laboratorium CERN di Swiss. Anak ketiga, Letkol Penerbang Candra, berkarir sebagai seorang tentara, meneruskan jejak ayahnya, dan menggeluti dunia penerbangan. Sementara Marineti Dianwidhi atau Neti (di mana Neti inilah penggerak dalam cerita ini), adalah seorang sarjana Antropologi yang bergulat dalam dunia sosial, menganggap dirinya seorang sosiowati, hidup bebas menurut versinya, dan senang berkumpul dengan masyarakat kelas bawah. Adiknya, Edi, meninggal dunia akibat kecanduan narkoba. 

Neti yang begitu akrab dengan sang adik adalah orang yang paling terpukul akan kepergiannya. Neti mencurahkan hidupnya bergelut dengan kemiskinan ibukota, sebagai pelampiasan atas ketidakmampuannya menyelamatkan sang adik. 

Marineti berkawan dengan anak-anak kolong jembatan, mendedikasikan hidupnya sebagai guru bagi anak-anak kampung miskin kumuh di sana. Mengajar baca dan menulis, serta berharap akan memberikan warna dan mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik lagi.

Suatu hari, Bowo kakaknya pulang ke Jakarta dengan membawa seorang calon istri. Namanya Agatha, dari Yunani. Kehadiran Agatha dengan mudah dapat diterima oleh keluarga Letjen Wiranto. Begitu pula dengan Neti. Bahkan, Agatha dengan senang hati menerima ajakan Neti untuk mengajar anak-anak di kolong jembatan. Suatu hari ketika keluarga mereka mengantarkan Agatha dan Bowo untuk berlibur ke Pulau Banda, Neti bertemu dengan seorang ibu yang baru saja mengantar kepergian suaminya untuk pergi ke Arab mencari adiknya yang menjadi TKW dan memaksanya untuk pulang. Jiwa Neti yang lembut begitu saja terenyuh dengan cerita tersebut dan menggerakkan hatinya untuk mengantarkan ibu itu kembali ke rumahnya yang berada di Banten.

Begitulah Neti, dengan kehidupan serta jiwanya yang bebas. Neti pun mengabaikan nasehat ibunya yang terus-menerus menganjurkannya untuk menikah. Bagi Neti, hidupnya sudah menyenangkan, dan dia termasuk gadis yang tidak memikirkan hal-hal tersebut. Cinta dan pernikahan adalah kosakata yang begitu jauh dari kehidupan Neti.

Agatha dan Bowo memutuskan untuk menikah di Yunani. Keluarga ini menyikapinya dengan karakteristik mereka masing-masing. Anggi, merasa keberatan karena menurutnya, harus dilaksanakan juga upacara pernikahan di Jakarta atau istilahnya 'memetik pengantin'. Karena baginya, keluarga Letjen Wiranto yang terpandang (bahkan lebih terpandang dari keluarga mempelai wanita) harus dihormati. Namun Bowo adiknya menolak. Bowo adalah tipikal seorang pemuda yang merasa kecewa dengan bangsanya, tidak menganggap Jakarta sebagai tempat tinggalnya. Bowo bersikeras, kalaupun ada pesta pernikahan di Indonesia, tempatnya adalah di Pulau Banda, bukan di Jakarta. Seorang ahli fisika yang berkutat dengan kehidupan akademis serta menghabiskan hidupnya di laboratorium itu memiliki pandangan hidupnya sendiri. Sementara Letkol Candra, kehidupannya adalah 'terbang'. Dia bebas dengan aranya sendiri pula namun tetap patuh pada atasan. Dan Neti sendiri, dia sih santai saja, justru dengan merayakan pesta pernikahan di Yunani bisa membuat dirinya ikut berlibur di tanah para filsuf tersebut. Akhirnya toh pernikahan mereka dilaksanakan di Yunani juga. Dan Anggi pun harus mengalah karena dia juga dibumbui kepentingan politisnya untuk melebarkan sayap dagang di negeri kepulauan nun jauh di sana.

Akhirnya mereka pergi juga ke Yunani. Secara mengejutkan, di sana Neti bertemu dengan seorang pemuda yang pernah ditemuinya pada pertemuan lembaga sosial se-Asia di India. Pria dari kasta Brahmana tersebut bernama Krish. Dan Neti yang semula apatis dengan hubungan percintaan pun luluh dan jatuh hati kepada pria tersebut. Mereka bertiga--dengan Candra turut bersama--menyusuri sejarah peradaban Yunani dengan mengunjungi beberapa tempat penting, sambil mendiskusikan berbagai macam hal. Krish yang tengah mendalami bioteknologi pun ikut menceritakan bagaimana visi yang diembannya dalam masalah kemanusiaan dan menuntaskan kemiskinan di negaranya dituangkan dalam ilmu yang tengah didalaminya tentang bioteknologi.

Nah, apakah pada akhirnya Neti akan bersama dengan pemuda India yang berhasil memesona dirinya dengan rasa kemanusiaan serta keintelektualannya? Apakah bisa disamakan hubungan Neti-Krish dengan Bowo kakaknya dan Agatha? Nggak mau spoiler saya, baca saja sendiri karena ini benar-benar menarik ;)


Kisah ini begitu menarik. Bagaimana tidak, cakupan bahasan yang diangkat oleh Romo Mangun cukup banyak dan mendetail. Mulai dari mengangkat latar belakang akademis Neti yang mendalami antropologi, tentang fisika nuklir yang digeluti Bowo, masalah bioteknologi, sejarah filsafat Yunani, dan masih banyak lagi. Belum lagi, gaya penulisan Romo Mangun yang tidak bisa tidak membuat decak kagum pembacanya, terutama saya. Oh ya kisahnya memang sarat konflik fisik, lebih banyak menguak konflik batin para tokoh-tokohnya. Bagaimana di sini digambarkan bahwa sosok Letjen Wiranto dan istrinya merupakan induk burung yang menelurkan jenis-jenis burung yang berbeda. Di mana anak-anaknya merupakan perlambangan burung-burung rantau yang pergi bermigrasi keliling dunia. Dan ada saatnya mereka akan kembali, sesuai dengan pengelanaan mereka masing-masing.

Saya suka deskripsi Romo Mangun yang tidak biasa. Seperti pada halaman pembuka:

"Letnan Jenderal Wiranto, sosok pohon nangka kekar kokoh yang rupa-rupanya asih emoh menerima tanda status mapan dengan perut gendut, namun membiarkan rambutnya abu-abu bjak meski bertubi-tubi didesak anak putrinya, Neti." (Halaman 1)

Atau di sini:

"Untunglah Letjen papinya tahu dan peka humor; humornya tidak berderai atau kocak, tetapi kering seperti biskuit marie atau kaasstengel yang tidak manis, tetapi justru asin, atau lebih tepatnya seperti kerupuk singkong; ya, Neti suka kaasstengel, entah yang asli asin keju maupun asin garam dan campuran misterius lain yang diakukan sebagai keju." (Halaman 7)

Jujur saya lemah sama deskripsi manis seperti itu *meleleh*

Nah balik lagi ke isinya, saya suka sekali karena banyak makna filosofis yang bisa digali dari novel ini. Seperti misalnya ketika berbicara tentang sejarah peradaban Yunani, tentang studi S2 Antropologi yang hendak ditempuh Neti, tentang kegiatannya sebagai sosiowati di kolong jembatan. Apalagi sewaktu Krish menceritakan tentang negerinya, di mana penggambaran kemiskinan di India mengingatkan saya pada film peraih Oscar, Slumdog Millionaire. Benar-benar mengagumkan sekaligus membuat miris. Apalagi saat mengaitkan tentang konsep ketuhanan dengan realita perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Novel ini, menyuguhkan kisah cinta tanah air, globalisasi, dengan caranya tersendiri. Bagi yang kurang suka deskripsi atau narasi tebal, mungkin akan bosan membaca novel ini. Tapi untuk yang suka menyelami kedalaman maknanya, saya yakin akan banyak menggali pemahaman serta banyak makna yang mendalam.

Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng

Judul : Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng
Judul Asli : The Ringmaster's Daughter
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerjemah : A. Raharti Bambang
Penerbit : PT Mizan Pustaka
ISBN: 97897948872
Tebal : 259 halaman
Rating : 5 dari 5




Saya tidak merasa kesepian sampai ada sesuatu yang layak dirindukan. Kesepian dan kerinduan adalah dua sisi mata uang yang sama. (Halaman 21)



Kisah ini adalah tentang Petter, seorang lelaki yang memiliki banyak sekali imajinasi. Imajinasi itu bahkan sampai merenggut ingatan Petter sendiri, hingga dia tidak mampu membedakan mana yang merupakan ingatan masa lalu mana yang hanya ada dalam benaknya saja. Anugerah ini tentu saja mengganggu Petter karena imajinasinya terus berkembang apabila tidak disalurkan. Petter memiliki gagasan serta ide tentang banyak sekali cerita, tapi dia tidak bisa membuat novel, karena bisa jadi ceritanya akan berkembang biak lebih rumit dan runyam apabila Petter mengembangkannya menjadi novel. Dia juga mengatakan bahwa kegiatan menulis menimbulkan pengaruh emosional. Petter tidak mau terjebak di dalamnya.

Alhasil, dia menemukan sebuah penyaluran dengan menjual ide serta gagasannya pada penulis novel. Ide ini kemudian akan berkembang menjadi Writer's Aid, sarana yang akan membantu setiap penulis dalam memecah kebuntuan dalam hal menulis cerita atau mengembangkan gagasan serta imajinasi menjadi sebuah novel. Petter menjual idenya, mulai dari yang terkecil, misalnya memberikan sebuah percakapan (yang ditukar dengan traktiran minuman), atau bahkan sinopsis lengkap yang berisi lembaran-lembaran detail cerita hingga tamat, (yang ini dihargai dengan uang yang lebih mahal, serta royalti sekian persen apabila nanti bukunya meledak di pasaran.)

Kehadiran Petter sebagai "pabrik ide" dalam khazanah kesusastraan Norwegia tentu saja sangat besar, Petter menyumbang banyak sekali peran yang mulanya tidak terendus sama sekali. Namun pada akhirnya, ada pula orang-orang yang mulai curiga. Pertama, adalah orang-orang yang pernah memakai jasanya, yang mengira bahwa mereka adalah pelanggan tunggal Petter tanpa mengetahui bahwa Petter memperlakukan hal yang sama kepada semua pelanggannya. Kedua, terlebih setelah Petter go internasional, dia menemukan bahwa ada kisah yang sama yang terbit dalam dua novel berbeda. Yang satu adalah pelanggannya di Writer's Aid, dan yang kedua adalah seseorang dengan nama samaran Wilhelmine Wittman. Siapakah sosok Wilhelmine Wittman ini? Apakah dia adalah Maria, seseorang dari masa mudanya yang begitu dicintainya dan hanya kepada Maria-lah Petter bercerita tentang kisah-kisah itu?

Petter juga mendapat ancaman dari orang-orang yang merasa karir kepenulisannya terancam dengan terbongkarnya siapa Petter dan Writer's Aid-nya.



Agaknya saya perlu mengulas si Petter dari masa kecil. Dia adalah seseorang yang penuh imajinasi dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia memiliki teman imajinasi yang kemudian keluar dari ruang imajinasinya. (Menurut Petter, Si Lelaki Semeter itu keluar begitu saja dari mimpi dan hadir dalam dunia nyatanya.) Petter kecil suka sekali 'menolong' teman-temannya untuk mengerjakan tugas. Nanti, dari aktivitasnya inilah si Petter dapat menganalisis dan mengklasifikasi karakter jejaring yang dia buat dalam Writer's Aid. 

Saat mulai dewasa, Petter mulai mendekati gadis-gadis, bukan atas dasar cinta, namun menurutnya, berkenalan dan mengajak kencan para gadis ini adalah sebagai kesenangan pribadi. Sampai ketika dia jatuh hati kepada Maria. Seseorang yang lebih tua darinya dan menurut Petter, lain daripada gadis-gadis lain yang dikenalnya. Kepada Maria inilah Petter banyak menceritakan kisah-kisah dalam dongengnya.

Suatu hari, Maria muncul dengan gagasan gila, bahwa gadis itu menginginkan anak dari Petter. Dan begitu Maria mendapatkan apa yang diinginkannya, ia pergi begitu saja dari kehidupan Petter. Ini akan memunculkan konflik pada saatnya nanti.


Sebenarnya, sepertiga kisah di bab akhir sudah ketahuan alurnya bagaimana. Tapi ya, membaca buku ini, selalu akan mendapatkan kejutan-kejutan dan selipan makna filosofis yang dalam. Benar-benar mengagumkan. Membaca novel karangan Jostein Gaarder bagi saya adalah sebuah garansi bahwa apa yang disuguhkan dalam ceritanya sangat menarik.

Intinya... saya suka banget.... Sejak dikenalkan sama Jostein Gaarder pertama kali lewat novel Gadis Jeruk, terus Dunia Sophie, Dunia Anna, Maya (tapi belum kelar bacanya), saya sudah jatuh cinta dengan setiap novel-novelnya. Cerita ini bener-bener out of the box. Sarat dengan pembelajaran hidup, banyak maknanya, dan ya.... seperti komentar di cover belakang: sebuah dongeng fantasi untuk orang dewasa. 


Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)