Maryam

Judul : Maryam
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 280 Halaman
ISBN : 9789792280098
Rating : 2 dari 5




Blurb:
Tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang penuh keindahan.

Lombok, Januari 2011

Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram.

Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?


Maryam Hayati


***


Dari awal membaca buku ini, saya sudah berupaya memosisikan diri saya sebagai pembaca netral, yang tidak mengunci pandangan saya pribadi terhadap apa yang dikemukakan penulis dan menjadi tema besar dalam penulisan novelnya: tentang Ahmadiyah. Dengan posisi seperti itu, harapan saya adalah tentu saya akan memiliki paradigma baru atau setidaknya, mampu mencerna sudut pandang lain dari yang semula saya miliki.

Maryam berkisah tentang seorang wanita bernama Maryam, lahir dan besar oleh orangtua pengikut aliran Ahmadiyah. Hidup dalam posisi "berbeda" dengan masyarakat pada umumnya. Pak Khairuddin adalah sesepuh kampung, ikut bergotong-royong bersama, anak-anak mereka pun hidup berdampingan dengan anak-anak lainnya. Selain perkara akidah, mereka adalah bagian dari masyarakat yang sama. Namun, ibu dan bapak Maryam sempat khawatir saat melepas Maryam untuk bersekolah di luar Lombok. Maryam tetap menempuh pendidikannya di Surabaya dan tinggal dengan keluarga Ahmadi kenalan mereka di sana. Tidak ada bedanya kehidupan mereka dengan masyarakat lainnya. 

Akan tetapi dalam urusan jodoh anaknya, muncul besar harapan agar anaknya menikah dengan orang yang sama dengan mereka, sesama Ahmadi. Untungnya selama di Surabaya, Maryam kenal dengan seorang pemuda dari kalangan mereka bernama Gamal. Namun sayang sekali, dalam satu peristiwa Gamal tidak lagi sepaham dengan akidah orangtuanya. Gamal keluar dari komunitas Ahmadiyah, tidak hanya mengecewakan kedua orangtuanya melainkan juga Maryam dan keluarga. Setelah patah hati dengan lelaki itu, saat Maryam bekerja di Jakarta, ia berkenalan dengan Alam. Dengan Alam, ia membuka kembali lembaran kisah cintanya yang sempat karam dengan Gamal. Maryam dibutakan oleh cinta, sehingga lebih memilih untuk menikah dengan Alam dan menjauhi keluarganya. Orangtua Maryam pun kecewa, tidak lagi menganggap Maryam sebagai bagian dari keluarganya. Hubungan Maryam selama beberapa tahun putus sama sekali dengan keluarganya maupun komunitas Ahmadiyahnya.

Setelah menikah beberapa lama, kebahagiaan yang diharapkan Maryam rupanya tidak datang jua. Hidup dengan ibu mertua yang tidak mau menerima ia apa adanya, selalu menempatkan Maryam sebagai seorang pendosa, orang sesat, membuat kehidupan pernikahan itu tidak harmonis. Terlebih lagi mereka belum juga dikaruiniai anak. Akhirnya keputusan perceraian dibuat.

Maryam mencoba untuk kembali pulang, setelah beberapa tahun meninggalkan keluarganya. Namun yang didapatkan saat kembali ke tanah kelahirannya tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Saat kembali, bukannya ia bertemu dengan ayah dan ibunya, namun ia hanya mendapatkan cerita dari penjaga rumahnya bahwa orangtuanya diusir oleh orang kampung hanya karena mereka seorang Ahmadiyah. Pada perjalanan selanjutnya, ia mencoba mencari jejak-jejak keberadaan orangtuanya dan bertanya mengapa mereka diusir dari tanah dan rumah yang mereka bangun sendiri. Mengapa orang-orang itu merampas kenangan masa kecilnya di tanah kelahirannya.

Ehm, itu dia sebagian alur dan cerita dari novel ini. Tema yang diangkat adalah seputar Ahmadiyah, seperti yang sudah saya singgung di paragraf awal. Dari membaca novel ini, saya merasa adanya informasi yang tidak berimbang dan terkesan bahwa penulisnya kurang netral dalam memilih jalan ceritanya. Entah ini pikiran saya saja (padahal saya sudah berupaya senetral mungkin memosisikan diri saat membaca novel ini), atau memang beginilah adanya, bahwa yang dipaparkan dalam novel ini memunculkan stereotip bahwa: tokoh-tokoh Ahmadi-nya tak bercela sementara yang beragama Islamnya digambarkan dengan kurang baik. Saya cukup memaklumi bahwa titik poin dalam novel ini yang mau diangkat adalah tentang sisi kemanusiaan yang ternoda hanya karena kelompok minoritasnya berbeda. Tapi, dalam urusan karakter dan laku, ada ketidakseimbangan di sini. Misalnya, Pak Khairuddin yang seorang Ahmadi, berperilaku santun, sabar, penuh kasih sayang dengan keluarga dan rajin membantu sesamanya. Lalu muncul ibu mertua Maryam yang ikut mencampuri urusan rumah tangga anaknya, suka menyinggung menantunya dengan menyatakan secara tersirat bahwa dulunya dia sesat, dan lain sebagainya. Tokoh Guru Agama Maryam, lalu Pak RT, Pak Haji, Kiyai yang ceramah, dikemas dengan kemasan negatif. Dan mau tidak mau, pembaca juga digiring untuk memberikan statement bahwa pelaku penyerangan (yang notabene adalah Islam) adalah kurang baik. Saya paham bahwa yang diangkat adalah tema yang memang sudah terjadi di masyarakat ini. Tapi, dengan ketidakseimbangan penokohan itu membuat pembaca (terutama saya) agak kurang sepakat dengan penggiringan persepsi tersebut. Saya mahfum, kisah ini akan kurang dramatis jika tidak dikemas sedemikian rupa. Tapi tetap saja, dengan berat sebelah membuatnya tidak lagi objektif. Kenapa ini saya soroti? Karena penokohan tentu akan menguatkan jalan cerita dan itu akan menimbulkan persepsi dalam benak pembaca (meskipun barangkali hanya buku yang benar-benar berkesan yang akan meninggalkan jejak dalam ingatan pembaca). Ketika persepsi yang timbul adalah memberikan pembenaran bahwa orang Islam itu anarkis, mempunyai pandangan negatif (dalam tema ini tentang orang-orang yang dianggap sesat) maka saya sungguh sedih sekali.

Kedua, barangkali ini potongan penting yang--entah dengan sengaja atau tidak--dihilangkan, bahwa penjelasan seputar Ahmadiyah tidak didapat saat pembaca menikmati novel ini. Mungkin penulis hanya berfokus pada masalah "kemanusiaan yang diciderai karena agama" tanpa mau repot-repot masuk pada aspek akidah. Tapi bagi saja ini kurang bijak; seolah-olah seperti melemparkan bola tanpa mau memberi tahu kenapa bola itu dilempar. Dari pandangan orang awam, yang barangkali mau membeli novel ini untuk mengetahui lebih banyak tentang Ahmadiyah selain label bahwa ia sesat, tentu akan kecewa. Penjelasan tentang Ahmadiyah hanya terhenti di deskripsi bahwa di rumah Ahmadi, ada foto besar yang menyatakan bahwa itu adalah Mirza Ghulam Ahmad tanpa dijelaskan dia itu siapa dan mengapa sampai diagung-agungkan sedemikian rupa.

Saya berpendapat, seharusnya dengan mengangkat tema besar tentang orang Ahmadiyah yang terusir, setidaknya penulis memberikan informasi tentang apa itu Ahmadiyah, mengapa ia dikatakan sesat. Kenapa? Karena ini yang menjadi dasar permasalahan yang diangkat. Ahmadiyah difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (bukan saya yang bilang sesat, hehe) karena menganggap Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, sementara bagi umat Islam, Rasulullah Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir. Ini adalah perbedaan mendasar yang kemudian hari memicu percikan-percikan. Tapi..., tentu saja, itu tidak menjadi pembenaran dalam hal memerangi siapapun. Orang yang berlaku anarkis tetap tidak bisa dibenarkan, apalagi mengatasnamakan agama untuk melakukannya. 

Terlepas dari apapun motifnya, saya kira saya pun sepaham bahwa kekerasan atas dasar apapun tidak dibenarkan. Dalam Islam perilaku seperti itu tidak dibenarkan pula. Dalam kacamata kemanusiaan apalagi. Kekerasan terhadap minoritas bukan barang baru di dunia ini. Namun amat sangat disayangkan bahwa pemaparannya tidak cukup berimbang. Dari sisi romansa yang dikemas (sehingga buku ini tidak menjadi bosan) memang sukses untuk membuat saya tidak bosan. Dari segi gaya penulisan pun menarik dan mengalir. Hanya saja, atas pemaparan saya yang panjang kali lebar di atas membuat bintang pada novel ini hanya bisa dinyalakan dua.

0 komentar:

Post a Comment

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)