Judul : The Fault in Our Stars
Penulis : John Green
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit : Qanita
Tebal Buku : 424 Halaman
ISBN : 9786021637395
Rating : 5 dari 5
"Terkadang orang tidak memahami janji yang mereka ucapkan ketika mereka sedang mengucapkannya."
"Benar, tentu saja. Tapi, tetap saja kau memegang janji itu. Itu-lah yang disebut cinta. Cinta adalah tetap memegang janji. Tidakkah kau memercayai cinta sejati?"
Hazel Grace adalah seorang gadis enam belas tahun pengidap kanker tiroid dengan penyebaran di paru-paru, dipaksa ibunya untuk menjalani kehidupan seperti remaja seusianya, dalam hal ini: bersosialisasi, dan tentu saja sosialisasi yang dimaksudkan ini adalah dengan bergabung di Kelompok Pendukung yang beranggotakan anak-anak pengidap kanker. Pada mulanya, Hazel bermalas-malasan menghadiri kelompok ini, yang anggotanya tidak tetap; sebagian besarnya akan menghilang setiap pertemuannya karena keadaan mereka semakin parah, atau meninggal. Di sini, mereka saling mengenalkan diri dan juga menceritakan tentang penderitaan mereka mengenai penyakit yang diidap oleh masing-masing anggotanya.
Namun pada suatu hari, kemunculan Augustus Waters di kelompok ini, membuat kehidupan Hazel lebih berwarna. Gus—panggilan Augustus—adalah teman Isaac di kelompok pendukung, seorang pemuda tujuh belas tahun yang mengidap kanker tulang, satu kakinya telah diamputasi dan ia berjalan dengan menggunakan kaki palsu. Sementara Isaac, mengidap kanker mata. Sebelah matanya telah diangkat, dan beberapa saat ke depan, satu matanya pun akan mengalami hal yang sama dan mengakibatkan Isaac akan mengalami kebutaan total.
Augustus Waters adalah seorang pemuda yang unik, di perkenalan pertamanya dengan Hazel, ia mengajak gadis yang selalu membawa tabung gas portabel bersamanya itu ke rumahnya untuk menonton V for Vendetta hanya karena ia mengatakan bahwa Hazel mirip dengan Natalie Portman. Augustus kerap kali meletakkan batang rokok pada bibirnya, yang mulanya itu sangat membuat Hazel marah.
“Rokok tidak akan membunuhmu, kecuali jika dinyalakan. Dan aku tidak pernah menyalakannya. Lihat, ini metafora: Kau meletakkan pembunuh itu persis di antara gigimu, tapi tidak memberinya kekuatan untuk melakukan pembunuhan.”
Begitulah kisah mereka. Terkadang, ketiganya (bersama Isaac) mereka melakukan pertemuan di ruang bawah tanah Augustus, bermain game di sana. Ketika Isaac mengalami kebutaan dan penderitaan akibat diputuskan pacarnya yang bernama Monica, Hazel dan Gus ada untuk menghiburnya. Ini kutipan obrolan antara Gus-Isaac yang saya suka:
"Merasa lebih baik?""Tidak.""Seperti itulah kepedihan. Kepedihan menuntut untuk dirasakan."
Hazel memberitahu Gus tentang buku favoritnya yang berjudul Kemalangan Luar Biasa, menceritakan seorang gadis pengidap leukemia yang begitu berarti bagi Hazel. Sayangnya, cerita dalam buku tersebut menggantung, dan pengarangnya tidak pernah membuat buku apapun sesudahnya, atau paling tidak membuat sekuelnya. Hal ini membuat Hazel sangat penasaran, ia berulang kali menuliskan surat kepada penulis buku tersebut untuk setidaknya memberitahukan ia bagaimana kelangsungan orang-orang di luar tokoh utama yang bisa dipastikan meninggal, dalam kisah buku tersebut. Namun, tidak pernah ada balasan dari sang penulis.
Suatu hari, Augustus Waters melakukan korespondensi via email kepada asisten penulis dan secara mengejutkan mendapatkan balasan. Peter van Houten, mengundang mereka untuk pergi ke Amsterdam di mana sekarang ia berdiam, untuk menceritakan kelanjutan cerita tersebut. Sayang sekali, Keinginan Terakhir Hazel sudah dihabiskannya untuk pergi ke Disneyland tiga tahun yang lalu. Namun, pada akhirnya ia mendapatkan tiket penerbangannya dengan menggunakan Keinginan Terakhir milik Augustus. (Ps: Keinginan itu semacam keinginan terakhir di mana sebuah organisasi yang concern terhadap kanker akan mengabulkan satu keinginan pengidap kanker untuk diwujudkan.)
Dan ketika mereka bertiga—Hazel, ibunya, dan Gus—pergi ke Amsterdam, yang terjadi saat pertemuan dengan Peter van Houten tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, atau justru malah mengecewakan. Gus dan Hazel mengobati kekecewaan itu dengan mengunjungi museum Anne Frank.
Ini sudah banyak spoilernya ya =)) baiklah saya akhiri saja reviewnya sampai di sini. Jalan ceritanya amat mengejutkan, karena yang terjadi setelah peristiwa kepergian ke Amsterdam bisa dibilang tidak sesuai dengan dugaan. Dalam perjalanan menuju ending novel, klimaksnya sudah diceritakan pada tiga per empat bagian. Namun, John Green membuat kejutan dengan menyisakan satu plot sehingga membuat ending novel ini menjadi manis.
***
Ini adalah buku pertama yang selesai di 2016, meskipun saya membacanya sudah dari bulan Desember. Semacam nyesel baru baca ini sekarang padahal belinya bulan Agustus 2014 hanya karena alasan yang cuma saya yang tahu kenapa =)) hahaha, oke ini bagian dari ke-childish-an saya. Jadi, memang saya sangat menyesal.
Pada awalnya, saya bawa buku ini sebagai teman perjalanan ke Banjarmasin tanggal 24-29 Desember 2015. Eh ternyata sampai di sana, keponakan yang rumahnya saya tinggali selama di sana, suka baca novel, walhasil novelnya dibaca sama dia dan tiga hari selesai =)) (Agak ketar-ketir kalau dia belum menyelesaikan sebelum saya pulang, hehehe, soalnya nggak tega kalau tiba-tiba dia minta bukunya tapi nggak saya kasih karena saya saja belum selesai membacanya.)
Oke, sekarang bagian review saya:
Ceritanya.... k e r e n! Gimana nggak keren kalau bacanya aja saya ikutan ngerasa susah bernapas kayak Hazel. Saya merasa seperti menjadi Hazel, yang susah bernapas karena keterbatasan kemampuan paru-parunya. Jadi sepanjang cerita, saya seolah ikutan sakit juga. Hehehe, terlalu menghayati.
Saya punya buku ini, yang versi cover movie-nya. Ini alasan saya kenapa nggak cepat-cepat baca sebenarnya, hahahaha. Sampai, teman saya bilang: "Kenapa nggak disampul cokelat aja sih bukunya kalau emang covernya mengganggu?" =)) Tapi yah, akhirnya saya baca juga. Dan dari semua buku John Green yang saya baca, novel ini yang ratingnya paling tinggi. Saya suka.
Ceritanya lumayan mengharukan, tapi sayangnya saya lebih suka cerita yang agak dark. Coba baca The Time Traveler's Wife, pasti nangis-nangis deh hehehe :D
ReplyDeleteWah, oke, terima kasih rekomendasinya :)
DeleteEmang kenapa kalo covernya versi film? Cuek aja :)
ReplyDeleteBayangan Shailane Woodley terlalu memengaruhi saya :D *halah*
Delete