Penulis : Hanum Salsabiela RaisPenerbit : PT Gramedia Pustaka UtamaCover : SoftcoverISBN : 9786020305455 Rating : 5 dari 5
(Religion—Islam, Inspirational, Adventure)
A book a friend recommended | A book from an Indonesian author | A book set somewhere you've always wanted to visit
Islam menyebutnya Ibrahim. Kristen dan Yahudi menyebutnya Abraham. Dan mungkin Hindu menyebut Brahma. Berbagai nama untuk satu semangat ketakwaan. Ibrahim adalah bapak yang mengajarkan ketuhanan. Ia-lah simbol sempurna, bagaimana seharusnya manusia menjalani ujian-Nya. [Hal. 331]
Diawali dengan sudut pandang orang ketiga,
buku ini menegaskan kalau dia adalah sebuah novel, bukan memoar
perjalanan seperti 99 Cahaya di Langit Eropa--buku Mbak Hanum
sebelumnya. Maju sedikit, barulah cerita bergulir menurut sudut pandang
Hanum dan Rangga. Meskipun saya nggak tahu dengan persis apakah
kolaborasi mereka berdua terpisah penulisannya antar kedua sudut pandang
atau bagaimana. Yang jelas, buku ini menarik. Meskipun harus diakui
bab-bab awal agak sedikit membosankan karena saya pikir ceritanya bakal
monoton. Tapi ... tancap gas terus sampai finish dan hasilnya, saya
nggak rugi.
Jadi, mengapa saya berasumsi kalau cerita ini mungin
akan monoton? Karena label "novel" adalah sebuah cerita yang sarat
konflik, sementara, seolah saya kenal banget sama pemikiran Mbak Hanum,
penulis nggak akan mengganggu jalan ceritanya dengan--misalnya--membuat
tokoh orang ketiga yang merusak hubungan si Mbak Hanum sama Mas Rangga.
(Dan jujur saya kecewa sewaktu kisah 99 Cahaya yang versi film edisi
kedua sedikit mengangkat itu.) Sempat agak under-estimate juga karena
... kalau ngga ada bumbu-bumbu semacam itu, lantas konflik yang membuat
cerita itu monoton ada di mana? Yang akhirnya terjawab secara tidak
terduga.
Saya senang sekali duo penulis ini mengemas cerita,
konflik, yang berlatar dari kejadian nyata tragedi 9/11 menjadi kaya.
Sisi fiksinya dapat, cerita yang tidak bisa ditebak-nya pun dapat
banget. Nggak menyangka saja akan larut dalam keindahan bahasa yang
dituturkan oleh penulis. Sisi riset tentang sejarahnya oke punya.
Pokoknya
keren banget. Kisah Julia dan Ibrahim benar-benar menyentuh. Hanum
menempatkan mereka sebagai tokoh utama tanpa melupakan Hanum dan Rangga
sebagai pengendali jalan cerita tanpa melupakan sisi-sisi humanisme
mereka.
Dan yang paling penting dari semuanya di buku ini adalah:
Penulis mampu menyajikan keindahan Islam dan hikmah yang tidak terduga,
tidak menggurui, yang bahkan untuk segmentasi pembaca di luar muslim
pun akan ikut merasakan keindahan Islam. Penulis menuangkan pengalaman
spiritualnya sebagai sosok biasa yang tidak sempurna, dengan itu dia
mengemban peran sebagai "agen muslim yang baik" bagi umat di dunia. Yang
seperti inilah yang dibutuhkan oleh umat Islam saat ini. Kita nggak
perlu menjadi 'sempurna' untuk mengemban amanah itu. Namun, dari sisi
ketidaksempurnaan itulah kita mampu menghijrahkan diri sendiri ke jalan
yang lebih baik, sekaligus mengemban amanah sebagai agent of change,
agen perubahan. Ya kalau nunggu sempurna, mau sampai kapan? Yang
dibutuhkan adalah pemahaman, bahwa kita seorang muslim, mengemban amanah
sebagai abdullah sekaligus khalifah. Dan di sini, peran sebagai agen
perubahan itu meyusup halus dalam tingkah laku kita sehari-hari.
Epilognya, menceritakan dari sudut pandang bulan, berhasil membuat saya menangis.
Mba.nisa, saya setuju banget sama kalimat terakhir yg di tulis, epilog tentang bulan juga membuat saya nangis. Ngga sengaja berselancar akhirnya mampir kesini heheh. Dari sekian novel yg udah saya baca, baru pertama kali saya benar2 nangis ketika baca novel "bulan terbelah di langit amerika" ya, epilog nya nyentuh banget. Ga sabar nungguin film nya nih, semoga ngga ngecewain deh. Thanks mba utk ulasannya...
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir :) Iya, buku ini nggak hanya sekadar novel tapi banyak informasi dan pelajaran yang bisa diambil untuk siapa saja yang baca :)
ReplyDelete