Judul : Alazhi Perawan Xinjiang
Pengarang : Nuthayla Anwar
ISBN : 9786029225679
Penerbit : Qanita
Rating : 5 dari 5
"Tidakkah kau ingat, Alazhi? Yang paling akhir mengetuk pintu hati adalah sesal."
Baca novel ini, dari awal sampai akhir nggak buat bosan atau berniat untuk stop di tengah jalan. Ceritanya tentang seorang gadis dari perkampungan muslim di Kasghar, bersuku Uyghur. Ceritanya dapat banget, menyentuh hati dan berhasil mengaduk-aduk emosi yang baca. Baru kali ini saya baca novel dan merasa nggak sejalan dengan pemikiran si tokoh utama.
Alazhi, 24 tahun, dan seorang muslimah. Tempatnya tinggal, di komunitas Uyghur, adalah sebuah kampung kecil dengan penduduk asli beragama islam yang taat. Ayahnya seorang Damullah (pemuka agama) di kampungnya, dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang begitu taat dengan suaminya. Konflik sudah tersaji dari awal cerita bergulir yaitu dengan kepergian dua adiknya, Gulina dan Aisha yang pergi dari kampung mereka menuju ke Xinjiang. Bagi kedua adiknya, mereka merasa tidak ada masa depan di kampungnya sehingga memutuskan untuk pergi dari rumah untuk menjemput cita-cita.
Kampungnya yang tenang dan damai kedatangan invasi suku Han yang dibawa oleh pemerintah sebagai bagian dari pembaruan. Namun yang terjadi, pemerintah melakukan diskriminasi terhadap suku asli dengan lebih memberikan kesempatan karir pada kaum pendatang sehingga suku Uyghur menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Atas dasar gejolak muda itulah maka Alazhi pun melakukan hal yang sama untuk menyusul kedua adiknya menuju ke kota.
Cerita selanjutnya, ngga ditulis soalnya mengandung spoiler (padahal saya aja yang lagi sakit kepala dan mager hehe).
Nah, yang membuat saya nyumbang bintang lima untuk novel ini, pertama saya larut pada cerita yang disuguhkan oleh penulis. Bagaimana saya mengutuk tindakan Alazhi dan kedua adiknya, yang dengan egoisnya mementingkan kepentingan mereka sendiri tanpa mempertimbangkan betapa hancurnya hati kedua orang tuanya. Bayangkan saja, bapaknya itu seorang Damullah, pemuka agama di kampungnya, eh anaknya begitu. Dan ibunya, benar-benar sosok istri seorang pembesar yang memang pantas untuk dijadikan teladan. Yah pokoknya begitulah. Karena, hmmm, dua dunia Alazhi itu, saya bisa merasakan bagaimana perubahan drastis yang terjadi di dalamnya. Gambaran kasarnya, itu kayak lagi nonton Hunger Games, membayangkan kondisi di Diskrik dan di Panem. Tapi nggak separah itu. Bedanya, di Kasghar itu nuansa islaminya terasa banget. Seperti kota yang hidup dalam kedamaian dan tentram. Tata cara mereka menikahkan muda-mudinya islami banget. Yah pokoknya begitulah. Namun ya seperti itu, di tempat ini sangat sulit untuk mengembangkan karir karena mayoritas yang duduk di pemerintahan adalah suku Han.
Selanjutnya, informasi yang didapat tentang bagaimana kehidupan di Uyghur itu info yang berharga sekali. Dan disajikan dengan tata bahasa yang indah. Tulisannya rapi, saya nyaris tidak menemukan sesalahan penulisan dalam novel ini. Dan begitu mengetahui kalau ini novel pertamanya penulis, rasanya tidak percaya.
Kalau ada yang pantas dijadikan panutan dan tokoh utama dalam novel ini, saya memilih Hanipa, ibunya Alazhi. Keren banget. Ah the best pokoknya. Dan sampai di titik terakhir, pandangan Alazhi masih tetap sama, sayangnya. (Dan begitu tahu kalau ini berdasarkan kisah nyata, saya hanya bisa berdoa semoga Alazhi dibukakan pintu hatinya untuk kembali menjunjung tinggi nilai-nilai kemuslimahan yang luntur oleh zaman).
Suddenly saya jadi ingat teman-teman muslimah saya, yang dulu begitu getol mempertahankan identitas kemuslimahan mereka, namun kini luntur dimakan waktu. Doa terlantun supaya saya dan muslimah lainnya diberikan keistiqomahan dan terus berjalan dalam koridor yang semestinya. Dan bagi yang berpaling, semoga Allah memberikan jalan kembali untuk mereka, seperti halnya semoga Alazhi diberikan hidayah untuk pulang.
Ahehe, paragraf terakhir melo...
0 komentar:
Post a Comment