Judul : 3 (Alif Lam Mim)
Penulis : Primadonna Angela
Diadaptasi Dari Skenario : Anggy Umbara, Bounty Umbara, dan Fajar Umbara
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 232 Halaman
ISBN : 9786020320946
Rating : 4 dari 5
Blurb:
Alif, Lam, dan Mim. Tiga sahabat seperguruan yang menjalani hidup berbeda sejak Indonesia menjadi negara liberal. Alif teguh sebagai penegak hukum. Lam berkarier sebagai wartawan, memaparkan kebenaran sebagaimana yang dilihatnya. Mim tetap setia di padepokan, meski Indonesia mencurigai mereka yang beragama.
Satu demi satu konflik bergulir. Dalam situasi genting, garis antara kawan dan lawan mengabur, dan mereka bertiga harus terus berjuang demi negara, keluarga, dan sahabat yang mereka sayangi...
***
Novel ini bercerita tentang situasi dan kondisi Indonesia tahun 2034, di mana saat itu Indonesia menjadi negara liberal, pancasila sudah diubah menjadi catursila--sila pertama tentang ketuhanan sudah dihapus. Tidak boleh ada simbol agama di mana pun. Terorisme dijadikan ancaman ketahanan negara, meskipun ternyata ada skenario besar untuk menyerang satu golongan tertentu.
Teror bom yang akhir-akhir ini marak di Jakarta, membuat banyak pihak gempar. Kepolisian melakukan misi untuk mengungkap aksi terorisme ini, media mengusut kebenaran yang tidak terungkap dalam kasus ini. Sementara itu, tuduhan tentang otak di balik kejadian ini dialamatkan ke Pesantren Al Ikhlas.
Teror bom yang akhir-akhir ini marak di Jakarta, membuat banyak pihak gempar. Kepolisian melakukan misi untuk mengungkap aksi terorisme ini, media mengusut kebenaran yang tidak terungkap dalam kasus ini. Sementara itu, tuduhan tentang otak di balik kejadian ini dialamatkan ke Pesantren Al Ikhlas.
Alif
Menjulang ke atas, tegak, tanpa memiliki liukan sana-sini. Tegasnya tidak bisa ditawar-tawar. Kukuh dan teguh dalam menjalani hidup. Seperti huruf hijaiyah pertama, Alif adalah pionir. Dia seorang pemimpin. Dan sebagai pemimpin, dia harus berani menegakkan kebenaran. --- Halaman 7
"Ini, Lam!" Alif menggenggam foto-foto itu sampai terancam remuk. "Ini yang bikin gue tetap waras! Ini yang ngejaga gua supaya tetap punya ini...!" Alif menunjuk-nunjuk dadanya. --- Halaman 47
Alif mendapatkan sebuah pesan untuk menemui Laras di suatu tempat, Candi Cafe, tempat Laras bekerja sebagai pramusaji. Di sana, Alif mendapati sekelompok orang berpakaian seperti santri yang ditolak masuk ke dalam kafe tersebut. "NO RELIGIOUS TALKS, NO RELIGOUS OUTFITS." Begitu tulisan peringatan di kafe itu. Namun, sesuatu tidak terduga terjadi, bom meledak di tempat itu.
Alif ditugaskan untuk menyelidiki kasus itu.
Lam
Huruf hijaiiyah Lam membentuk kurva, melengkung. Dia tetap tegak, namun dia luwes. Dia fleksibel. Lam menunjukan seseorang tetap bisa memegang prinsip sekaligus baik hati dan pemurah pada sesama. --- Halaman 87
Herlam adalah seorang wartawan yang idealis. Herlam memiliki seorang istri bernama Gendis dan anak SD yang bernama Gilang. Anaknya yang cerdas mewarisi bakat d bidang IT yang diajarkan oleh Herlam.
Meskipun negara ini menganut paham liberalis, yang mengedepankan kebebasan, namun tidak ada yang namanya kebebasan dalam beragama. Banyak hal yang berhubungan dengan dunia jurnalisme yang seolah "diatur" oleh kepentingan tertentu. Banyak kasus yang ingin ditangani secara objektif oleh Herlam, namun ketika adaberita-berita yang sensitif, Herlam justru ditugaskan untuk meliput berita di daerah.
Saat kejadian pemboman terjadi, pihak kepolisian membuat press release yang terkesan terburu-buru, tanpa ada penelitian lebih lanjut. Mereka menyatakan bahwa Pondok Pesantren Al-Ikhlas adalah otak dibalik serangan ini, karena ditemukan parfum yang menjadi ciri khas pesantren itu.
Herlam memiliki kecurigaan tentang kasus ini, dan diam-diam ia menyelidikinya sendiri.
Mim
Mim, huruf hijaiyah yang membentuk lingkaran. Menandakan kesempurnaan. Manusia bisa dikatakan mendekati sempurna kalau dia menerima dirinya sebagai insan yang tunduk di hadapan Tuhannya, kalau dia ikhlas hidup dan matinya hanya untuk Allah semata, kalau yang dia cari dalam hidupnya adalah keadaan berpulang pada-Nya dalam keadaan husnul khotimah. --- Halaman 143
Di tengah prasangka yang negatif terhadap agama terutama Islam, kehadiran pondok pesantren ini menjadi ancaman bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan. Mimbo membantu KH Mukhlis yang merupakan pimpinan pondok pesantren ini. Di sini, mereka tidak hanya belajar agama saja, namun juga beladiri. Di tempat ini pula dulunya Alif, Lam, dan Mim dibesarkan dan belajar banyak hal.
Peristiwa pemboman yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini dialamatkan pada pesantren ini sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Sampai di satu masa, ketiganya yang merupakan kawan, dihadapkan pada posisi sebagai lawan.
***
Saya teringat dengan sebuah pertanyaan di buku Bulan Terbelah di Langit Amerika; Would the world be better without Islam? Di novel ini, mungkin akan muncul pemahaman yang sama meskipun dalam lingkup yang berbeda; Apa yang terjadi dengan Indonesia tanpa agama?
Sebuah penggambaran distopia futuristik yang mencengangkan, karena deskripsi yang ada di novel ini melekat sekali dengan keadaan Indonesia. Dan, mau tidak mau, saya harus mengakui bahwa ada banyak hal yang terjadi saat ini, yang mungkin saja akan terjadi sepuluh-dua puluh tahun ke depan. Miris, benar-benar miris pokoknya.
Jadi, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" dihapuskan dan pancasila hanya menjadi catursila? Indonesia akan menjadi negara liberal. Semua simbol agama dihapuskan, tidak ada lagi yang boleh berbangga diri dengan atribut agama yang dikenakan. Tidak boleh berhijab, tidak boleh mengenakan kalung salib (untuk umat Kristiani). Banyak rumah ibadah yang beralih fungsi menjadi gudang. Ini sebenarnya bukan hal yang baru. Saya jadi teringat berita yang lumayan marak beberapa waktu lalu di Perancis, atau kisah pelarangan hijab di Turki sebelum era Erdogan berkuasa. Saya memang lemah dalam hal politik atau berita luar negeri, tapi cukup mengetahui berita-berita itu di permukaannya saja. Membayangkan hal tersebut terjadi di Indonesia rasanya..., naudzubillah, semoga tidak terjadi.
Novel ini membuat imajinasi berkelana untuk membayangkan bagaimana jadinya jika itu memang benar-benar terjadi. Sekarang saja, banyak tanda-tanda yang mengarah ke sana. Misalnya tentang media yang digunakan pihak tertentu untuk melancarkan propaganda, bias terjadi untuk mengetahui mana yang benar mana yang salah, dan beberapa peristiwa (terorisme yang dialamatkan kepada Islam, pelarangan hijab, atau upaya menggagalkan perda syariah di wilayah-wilayah tertentu). Serem banget ya Allah.
Dan saya juga penasaran pada akhirnya, mengapa film ini begitu cepat turun layar di bioskop-bioskop Indonesia. Apakah benar karena sepinya peminat atau....
Sebenarnya novel ini saya beri rating 3,5. Tapi karena saya ingin banyak orang membaca dan tertarik dengan buku ini, jadi saya bulatkan bintangnya ke atas.
Sebuah penggambaran distopia futuristik yang mencengangkan, karena deskripsi yang ada di novel ini melekat sekali dengan keadaan Indonesia. Dan, mau tidak mau, saya harus mengakui bahwa ada banyak hal yang terjadi saat ini, yang mungkin saja akan terjadi sepuluh-dua puluh tahun ke depan. Miris, benar-benar miris pokoknya.
Jadi, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" dihapuskan dan pancasila hanya menjadi catursila? Indonesia akan menjadi negara liberal. Semua simbol agama dihapuskan, tidak ada lagi yang boleh berbangga diri dengan atribut agama yang dikenakan. Tidak boleh berhijab, tidak boleh mengenakan kalung salib (untuk umat Kristiani). Banyak rumah ibadah yang beralih fungsi menjadi gudang. Ini sebenarnya bukan hal yang baru. Saya jadi teringat berita yang lumayan marak beberapa waktu lalu di Perancis, atau kisah pelarangan hijab di Turki sebelum era Erdogan berkuasa. Saya memang lemah dalam hal politik atau berita luar negeri, tapi cukup mengetahui berita-berita itu di permukaannya saja. Membayangkan hal tersebut terjadi di Indonesia rasanya..., naudzubillah, semoga tidak terjadi.
Novel ini membuat imajinasi berkelana untuk membayangkan bagaimana jadinya jika itu memang benar-benar terjadi. Sekarang saja, banyak tanda-tanda yang mengarah ke sana. Misalnya tentang media yang digunakan pihak tertentu untuk melancarkan propaganda, bias terjadi untuk mengetahui mana yang benar mana yang salah, dan beberapa peristiwa (terorisme yang dialamatkan kepada Islam, pelarangan hijab, atau upaya menggagalkan perda syariah di wilayah-wilayah tertentu). Serem banget ya Allah.
Dan saya juga penasaran pada akhirnya, mengapa film ini begitu cepat turun layar di bioskop-bioskop Indonesia. Apakah benar karena sepinya peminat atau....
Sebenarnya novel ini saya beri rating 3,5. Tapi karena saya ingin banyak orang membaca dan tertarik dengan buku ini, jadi saya bulatkan bintangnya ke atas.
Salam Kanal Kak,
ReplyDeletebagus sekali review nya, jelas seolah olah saya yang hanya baca review seperti membaca novel nya sendiri.
untuk film yang cepat turun dari bioskop memang kabar nya seperti "atau menggantung.." yang mba pertanyakan diatas dan dari segi ceritapun tdk sesuai yang diharpkan oleh penulis skenario dan satu yang ingin saya tanyakan ke Kak Nisa "kenapa hanya 3.5-4 yang Kak Nisa berikan?"
Halo salam kenal :)
DeleteTerima kasih sudah mengunjungi blog saya dan berkenan meninggalkan komentar :) tentang film yang cepat turun layar sih saya kok ya curiganya juga begitu =)) tapi ya sudahlah.
Kenapa hanya 3,5 sebenarnya sih karena masalah teknis seperti ada kesalahan penulisan atau kurang "nendang" di bagian tertentu. Tapi karena buku ini bagus dan membuka mata pembacanya, saya bulatkan ke atas saja ratingnya :)