Judul : Api Awan Asap
Penulis : Korrie Layun Rampan
Penerbit : Grasindo
Tebal Buku : 176 Halaman
ISBN : 97860203750009
Rating : 3 dari 5
Di sebuah kawasan, tepi Sungai Nyawatan, penduduk membangun lou (betang, rumah panjang). Dari lou itu, dua sahabat -Jue dan Sakatn- setelah menempuh perjalanan 300 kilometer, memasuki gua untuk mengambil sarang burung walet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan tali plastik; sementara Sakatn menunggu di luar. Karena diam-diam Sakatn juga mencintai Nori, Sakatn lalu mengerat tali plastik itu. Akibatnya, Jue tersesat dalam gua yang gulita.
***
Seperti merica, seperti lombok, bagaikan ada yang menoreh. Ada keperihan yang tidak mengandung dendam, tetapi mengandung suka. Ada sakit yang tidak mendatangkan aduh,tetapi mendatangkan terima kasih yang melimpah ruah, bahkan mendatangkan tuah. --- Halaman 99
***
Kisah ini bermula dengan pesta pernikahan antara Nori dan Sakatn, yang harus dinodai dengan Pune, anak Nori dan Jue, yang terjatuh saat membawa darah kerbau sebagai ritual terakhir dari prosesi pernikahan ibunya. Lalu, cerita mengalami kilas balik ke masa lalu, saat Nori masih remaja dan menikah dengan Jue suami dan cinta sejatinya yang hilang dalam gua.
Selama nyaris dua puluh tahun Nori menjanda, membesarkan anaknya, juga memajukan desanya. Tidak sebersit pun ia menanggapi lamaran Sakatn yang tak henti datang menghampirinya. Nori pun dibuat bimbang dengan tawaran pernikahan ini. Apalagi, sebenarnya ia masih berharap bahwa Jue--entah bagaimana ceritanya--masih hidup. Cintanya begitu besar dengan Jue yang hanya sempat bersama dengannya satu bulan saja.
Sungguh susah menduga kebahagiaan dan keberhasilan sebuah perkawinan, karena hidup ini memang suatu misteri yang sukar diterjemahkan ke dalam perhitungan matematika. Keberhasilan sebuah perkawinan sangat ditentukan dari perjuangan, nasib, dan peruntungan pasangan itu sendiri. Bukan juga ditentukan oleh cantik atau ganteng, tidak juga ditentukan oleh kaya atau mskin, tetapi terutama ditentukan oleh niat utama perkawinan itu sendiri. --- Halaman 87
Selain kisah percintaan tersebut, cerita tentang lingkungan dan budaya suku Dayak Benuaq disajikan di sini. Ayah Nori adalah seorang tetua adat, di mana posisinya selain sebagai seorang pemimpin juga bertanggung jawab seputar apa yang terjadi dengan hutan yang sudah turun menurun mereka jaga. Keberadaan orang-orang kota, dengan surat-surat yang menyatakan tentang klaim kepemilikan dan penguasaan hutan menjadi ancaman. Belum lagi, asap membumbung karena mereka tidak paham bagaimana proses pengelolaan hutan dengan baik dan benar.
Kisah tentang bagaimana adat istiadat suku Dayak membumbui kisah ini dengan apik dan tentunya memberikan banyak pengetahuan bagi pembacanya.
***
Selama membaca novel ini, setting yang ada di dalam bayangan saya adalah seperti film zaman saya kecil, Ari Anak Rimba Indonesia (yang pemerannya Om Piet Pagau kalau nggak salah), yeah meskipun harus dinodai sama ingatan tentang film Jupe yang nggak sengaja ditonton saat nginap di tempat keluarga. Keduanya bercerita tentang suku Dayak, meskipun di sinetron Ari settingnya benar-benar melekat dalam ingatan.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Kalimantan Timur, sebenarnya saya tidak benar-benar paham dengan kebudayaan suku Dayak. Pernah punya sahabat dekat orang Dayak waktu SMP juga rasanya pengetahuan saya tentang suku ini masih minim. Maklum, hidup di Samarinda, jauh sekali dengan lokasi di mana suku Dayak hidup dan berkembang.
Membaca buku ini, membuat pengetahuan saya menjadi bertambah. Ada beberapa yang sudah saya ketahui, tapi banyak juga yang menjadi pengetahuan baru. Memang, kisah mistis yang ada di buku ini rasanya tidak masuk di akal. Tapi, hal-hal yang seperti itu sepertinya bukan tabu dan bisa jadi memang ada di dunia nyata saat ini. Oh saya tidak mau membahas itu sebenarnya. Yang saya ingin ceritakan dari membaca novel ini adalah, tentang dua kisah dan dua cerita yang disampaikan penulis di sini.
Pertama, kisah cinta antara Nori-Jue-Sakatn. Penulis dengan cerdas membawa pembacanya ke kilasan masa lalu dengan menampilkan cuplikan yang sebenarnya menjadi ending di dalam novel ini. Dengan pembukaan semacam ini, pembaca dibawa untuk mengikuti alur cerita, dengan menyimpan tanya apa yang terjadi dengan upacara pernikahan yang tengah berlangsung. Pembaca disuguhkan cerita seputar kehidupan suku Dayak, bagaimana mereka bersosialisasi, dan hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat suku ini.
Kedua, isu sosial yang diangkat dalam cerita, dan ini adalah kisah yang tidak asing di tanah Kalimantan yakni soal pembalakan, kebakaran, hak kepemilikan atas hutan. Ini menjadi poin plus. Dengan menyuguhkan kisah tentang apa yang terjadi dengan hutan Kalimantan saat ini, setidaknya membuat pembaca jadi mengetahui bahwa hutan Kalimantan sekarang sudah tidak sama lagi, semenjak pihak yang berkuasa mengelola hutan secara berlebihan. Dampaknya? Kebakaran hutan, kerusakan lahan, bahkan tidak mungkin keadaan ini bisa mengganggu kawasan pemukiman suku-suku yang berada di dekatnya.
Bahasa yang berbunga (kalau kata teman-teman lain yang baca, katanya bahasa khas anak role-playing) sebenarnya tidak begitu menjadi masalah bagi saya. Narasi juga cukup banyak, dan ini tidak mengganggu karena saya cukup menyukai narasi atau bahasa berbunga yang tidak berlebihan. Karena bukunya juga lumayan tipis, membuat saya menghabiskan buku ini dalam waktu yang cukup singkat.
Bahasa yang berbunga (kalau kata teman-teman lain yang baca, katanya bahasa khas anak role-playing) sebenarnya tidak begitu menjadi masalah bagi saya. Narasi juga cukup banyak, dan ini tidak mengganggu karena saya cukup menyukai narasi atau bahasa berbunga yang tidak berlebihan. Karena bukunya juga lumayan tipis, membuat saya menghabiskan buku ini dalam waktu yang cukup singkat.
0 komentar:
Post a Comment