Judul : Replay
Penulis : Seplia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 216 Halaman
ISBN : 9786020323190
Rating : 3 dari 5
Blurb:
Nada pernah berjanji tidak akan membiarkan orang lain bunuh diri. Tapi sejak mengenal Audy, ia kehabisan akal dalam menepati janji tersebut. Audy, gadis yang berulang kali mencoba bunuh diri itu, begitu penuh kejutan.
Ujian tari membuat Nada terpaksa meminta bantuan Nino, pacar Audy, untuk mengiringi komposisi tariannya. Ia tidak memahami perasaan hangat yang timbul setiap melihat pemuda itu bernyanyi sambil memainkan jemari di tuts piano.
Nada tidak menyadari bahwa secara perlahan kehadirannya mengganggu hubungan Nino dan Audy. Perlahan, Nada menjadi orang yang ia benci. Seperti wanita yang merebut ayahnya dan membuat ibunya bunuh diri.
Dapatkah Nada menepati janji?
***
"Tetapi, kamu juga harus sadar bahwa tidak ada manusia yang benar-benar lurus jalan hidupnya di dunia ini. Tidak ada orang yang sepenuhnya jahat dan sepenuhnya baik. Setiap kita memiliki kedua sifat itu, hanya kadarnya yang berbeda." --- Halaman 197
***
Nada baru saja menempati apartemen kosong di sebelah apartemen Audy. Baru saja tinggal di sana, dia sudah mendapati perangai tidak menyenangkan dari tetangganya itu. Audy memiliki kebiasaan buruk suka bunuh diri. Ini membuat Nada gusar karena ibunya meninggal karena bunuh diri. Nada bertekad untuk tidak membiarkan Audy melakukan hal konyol itu karena, dia merasa, bahwa dirinya tidak bisa mencegah apa yang pernah menimpa ibunya dulu.
Nino, pacar Audy, adalah seorang vokalis band. Atas dasar rasa bersalahnya terhadap Audy lah yang membuat ia bertahan menjalani hubungan dengan gadis itu.
Karena intensitas pertemuannya dengan Nada, dan juga kesamaan pemahaman tentang musik, membuat keduanya memutuskan untuk diam-diam berteman akrab. Apalagi, Nino membantunya dalam ujian tari yang membuat Nada merasakan gejolak yang tidak biasa kepada pria itu.
Nada kemudian merasa bahwa posisinya salah. Kisah dirinya yang merasa menjadi orang ketiga di antara hubungan Audy dan Nino, membuatnya harus becermin dengan situasi yang dibencinya. Sang ibu bunuh diri karena ada orang ketiga dalam hubungan orangtuanya. Diana, sosok yang akan menggantikan posisi ibunya itu, adalah seseorang yang dibencinya. Nada merasa bimbang karena pada akhirnya dia merasa sudah menjadi orang seperti Diana.
***
Membaca novel ini, rasanya saya seperti sedang naik roller coaster. Ada masanya saya begitu menyukai ceritanya sampai ingin memberikan bintang lima, ada pula saatnya saya tidak begitu menyenanginya hingga pengin memberi bintang dua saja. Secara keseluruhan, saya suka ceritanya, meskipun tokoh-tokohnya tidak menyenangkan. Sebenarnya, yang membuat saya suka atau tidak suka dengan satu tokoh bukanlah karena karakter itu lovable atau tidak. Karakter menyebalkan akan disukai kalau disampaikan dengan baik dan logis. Apalagi jika pembaca mengetahui sebab-musabab mengapa dia menjadi orang yang tidak menyenangkan begitu.
Saya tidak begitu masalah dengan bagaimana karakter ini berkembang, juga tidak mempermasalahkan apa yang disampaikan penulis di awal tentang karakter-karakternya. Saya suka dengan Nada, suka sekali hingga saya bisa merasakan bagaimana perasaan dia waktu melihat adegan Audy dan Nino di depan matanya. Dan sepertinya memang hanya Nada yang saya sukai. Lainnya tidak.
Sekarang mau bahas Nino. Nino adalah salah satu karakter yang membuat saya kecewa. Saya bisa menduga bahwa ada sesuatu yang membuat Nino terpenjara dalam kehidupan cinta bersama Audy. Saya menebak-nebak, dan ternyata tebakan saya benar. Tapi, ini justru membuat saya mengernyitkan dahi. Saya berharap bahwa alasan itu jauh lebih dramatis dari yang saya duga. Oh well, kok kesannya saya yang jahat ya sampai "menganggap remeh" apa yang dialami Audy dan masa lalunya dengan Nino? =)) Tidak, di sini saya hanya berusaha memosisikan diri sebagai pembaca yang menimbang-nimbang sebab-akibat. Atas akibat yang menimpa Nino, rasanya sebabnya kurang sebanding.
Saya lalu berpikir, dan memiliki teori. Ada dua alasan yang menyebabkan seseorang terjerat dalam penyesalan dan kubangan masa lalunya yang kelam. Pertama, karena dia merasa bersalah pada korban, dan kedua karena dia merasa bersalah pada diri sendiri. Mungkin, penyesalan yang dialami Nino ini lebih kepada alasan yang kedua, karena ternyata apa yang dilakukannya itu juga akan merusak dirinya sendiri. Nah, tapi, Nino ini bodoh. Sudah tahu kelakuan Audy begitu, kenapa dia tidak melakukan hal lain yang lebih rasional alih-alih merugikan dirinya sendiri? Misalnya, ngomong ke orangtua Audy dan meminta mereka memikirkan solusi yang tepat, gitu? Masa sih orangtua Audy udah sebegitu menyerahnya sama kelakuan anaknya yang--maaf--psycho sampai mengancam jiwanya seperti itu? Kan pada akhirnya si Nino sendiri yang "sakit" juga.
Lalu tentang Audy. Satu kata untuk Audy adalah..., pathetic. Yang saya heran, kenapa responnya terhadap hubungan Nada-Nino kok lambat banget ya? Padahal, untuk kasus ancaman bunuh diri sebelum ini, sepertinya dia begitu mudah mencoba mengakhiri hidupnya hanya karena si cowok berdekatan dengan si ini dan situ. Dari awal juga dia sudah mencium gelagat aneh dengan Nada-Nino kan ya? Hmmm. Ending untuk Audy menurut saya kentang. Antiklimaks.
Oke, itu saja tentang karakter-karakternya. Dan karena tokoh dalam cerita ini tidak banyak, jadi permasalahan saya rasa cukup terfokus. Saya juga suka dengan gaya bahasanya yang mengalir dan enak. Overall, tiga bintang saya kasih semuanya untuk character building-nya si Nada.
Oh ya, saya suka dengan Ken. jadi, untuk menutup review ini, saya akan berikan satu kalimat dari Ken untuk Nada yang manis sekali:
"Jangan pesimistis akan cinta, Nada. Untuk mendapatkan cinta yang bertahan sampai akhir hayat itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan diciptakan bersama." --- Halaman 204
0 komentar:
Post a Comment