Jubilee harus menghadapi cerita yang menyedihkan di malam natal. Kedua orangtuanya dipenjara karena terlibat kerusuhan saat membeli Flobie Santa Village (saya sampai googling dan memang, wow banget mainan satu itu), membuat Jubilee harus pergi ke tempat neneknya untuk menikmati malam natal di sana. Jubile sebenarnya enggan karena dia mau melewatkan setahun pacarannya dengan Noah, namun karena ada badai salju paling besar dalam lima puluh tahun terakhir, membuat dia pasrah untuk mengikuti titah orangtuanya yang kala itu mengutus Sam, pengacara tetangga mereka untuk mengurus kepergiannya.
Singkat cerita, Jubilee pergi naik kereta dan di sana dia bertemu dengan beberapa orang. Yang pertama adalah Jeb, seorang pria yang, kalau Jubilee tidak ingat Noah, dia pasti akan suka dengan pemuda itu. Jeb sedang patah hati karena baru saja putus dari ceweknya. Namun menyebalkan sekali, mereka dibombardir oleh sekelompok anggota pemandu sorak yang, ehem, norak, karena terus saja memamerkan manuver mereka. Juga ada yang kode-kode ke Jeb begitu. Tidak hanya sampai di situ saja, rupanya kereta mereka terhenti karena terkena dampak badai salju. Mereka terpaksa menginap di dalam kereta hingga proses perbaikan selesai.
Tidak mau terjebak di tempat ini, lantas Jubilee berinisiatif untuk pergi ke luar karena ada Waffle House, tempat yang lebih hangat dan tidak ada cheerleader noraknya. Tapi situasi bertambah parah ketika keempat belas pemandu sorak itu datang ke tempat itu juga. Mereka bermaksud berlatih handstand, formasi piramida, atau apalah itu. Namun untungnya, secara tidak terduga Jubilee bertemu dengan seorang pria bernama Stuart, yang setelah mengobrol beberapa saat malah menawarkan rumahnya untuk diinapi. Katanya, ibunya pasti akan senang banget karena sudah bisa memberikan "berkah natal" di malam natal seperti itu. Padahal si Stuart ini Yahudi.
Singkat cerita, keduanya menembus badai salju yang tinggi dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah Stuart. Sempat terjatuh ke dalam sungai yang permukaannya retak juga, namun akhirnya sampai juga, dan bertemu dengan ibu Stuart yang menarik. Lalu, si Jubilee-nya putus deh sama Noah dan..., yeah, mulai pacaran sama Stuart! Memang klise banget, tapi coba baca sendiri novelnya, ini cerita benar-benar manis.
***
Lama nggak ber-"kyaaa-kyaaa" baca cerita romance
khas anak remaja, dan saya dapatnya di sini. Sempat pengen "nge-ABG"
dengan baca teenlit/young adult buatan dalam negeri entah kenapa nggak pas aja
sama saya. Mungkin karena sekarang umurnya udah nggak "bocah" lagi
dan ternyata saya pasnya baca YA luar negeri (karena mereka kelewat dewasa di
umur mereka segitu kali ya hahaha, dan saya udah nggak remaja lagi #gitu). Dari
ketiga cerita ini saya paling suka sama kisah Jubile dan Stuart (apalagi
namanya Stuart! Penting banget karena saya suka nama ini!). Menurut saya sih,
menarik aja. Simpel tak terduga, dan cerita si mamanya Stuart cukup pas.
A Cheertastic Christmas Miracle - John Green [4]
Tobin, The Duke, dan JP, (oh satu lagi Keun,) adalah sekelompok sahabat. Mereka menghabiskan malam natal bersama karena orangtua Tobin yang tengah berada di luar kota tidak mendapatkan penerbangan pulang karena terkendala cuaca buruk. Pada mulanya, ketiganya hanya berniat menghabiskan malam dengan menonton film, namun sebuah panggilan telepon dari Keun yang malam itu bekerja di Waffle House, mengubah segalanya. Keun memberitahukan teman-temannya kalau ada "keajaiban natal" di tempatnya sedang bekerja malam itu, karena ada empat belas anggota cheerleader yang memenuhi tempat mereka. Keun meminta teman-temannya datang sebelum orang-orang lain mengisi tempat kosong yang masih tersedia di tempat itu.
JP tentu saja begitu bersemangat untuk pergi, Tobin juga. Tapi tidak dengan The Duke, satu-satunya perempuan dalam geng itu. The Duke benci cheerleader, dia benci cuaca dingin. Dan Tobin juga tahu pasti bahwa temannya itu benci harus meninggalkan sofa saat film James Bond sedang diputar. tetapi The Duke menyukai hash brown di Waffle House. Dan akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pergi, dengan membawa twister yang dipesan oleh Keun, untuk menarik perhatian gadis-gadis pemandu sorak itu tadi.
Dengan mobil milik orangtua Tobin, mereka memulai petualangan menaklukkan cuaca buruk dengan salju yang sangat tebal hanya untuk bisa pergi ke Waffle House. Mobil yang sempat rusak, tapi baik lagi, lalu akhirnya tidak bisa jalan sama sekali, petualangan bertemu dengan si kembar Timmy dan Tommy yang juga menginginkan tempat di Waffle House demi bertemu cewek-cewek pemandu sorak. Beberapa fakta juga baru keluar selama di perjalanan, misalnya The Duke yang sempat berkencan dengan Billy Talos. Ya begitulah. Pada akhirnya, ada yang membuat pengakuan di tempat itu dan..., jadian.
Quotes paling saya suka di part ini adalah: "Hash brown means nothing without you."
***
Kalau di cerita pertama itu kesannya cewek banget (tapi pas,
nggak berlebihan si ceweknya), di sini jadi berubah ke-cowok-an #naon. Karena
pakai sudut pandang Tobin yang notabene cowok, cerita tentang friendshipnya
ngena, petualangannya juga oke. Suka. Tapi ada beberapa catatan yang agak
mengganjal di sini. Di bagian, si Tobin mengendarai mobilnya dengan kecepatan
60 km/jam, itu saya agak rancu di sana. Soalnya kan kalau 60 km/jam termasuk
nggak cepat-cepat amat sih. Dan ternyata, di lain kesempatan, translatornya
pakai satuan jarak "mil" which is, nggak konsisten aja.
"Km" sama "mil" itu kan dua satuan yang beda *shot*. Di
Indonesia emang lazimnya pakai kilometer dan di Amerika pakai standar konversi yang berbeda. Duh Nisa bawel amat soal konversian begini ya? Ya gimana kerjaannya sehari-hari ngajar ginian, hehehe.
Tapi, benar-benar menarik kok, menceritakan soal petualangan, friendship, friendzone, yang mana ini my cup of tea banget. Tapi karena memang feelnya saya lagi girly banget, jadi untuk yang John Green selisih rating sedikit dari Maureen Johnson.
- The Patron Saint of Pigs - Lauren Myracle [2]
Addie adalah seorang cewek patah hati yang menghabiskan malam natalnya dengan memangkas habis rambutnya dan mewarnai dengan pink. Addie ini adalah ceweknya si Jeb yang ceritanya sempat disinggung banyak di cerita pertama. Mereka putus karena..., si Addie selingkuh. Addie punya dua teman cewek namanya Dorrie dan Tegan, di mana kedua temannya yang bermaksud menasehati Addie tapi Addie-nya nggak terima. Yeah begitulah.
Salah satu temannya, si Tegan, begitu tergila-gila dengan yang namanya babi. Dia berhasil memesan babi cangkir dan karena cuaca tidak bersahabat dan kebetulan malam kedua natal si Addie bekerja di Starbucks, dan juga karena Addie mau berniat untuk berubah--juga dia mau membuktikan kalau dirinya tidak seegois yang teman-temannya kira--Addie berniat untuk mengambilkan babi kesayangan temannya itu di pet shop. Tapi rupanya dengan kesibukan si Addie, dia sampai lupa, dan terlambat untuk mengambil babi itu. Sampai di tokonya, rupanya ada orang yang sudah membeli si babi (penjaga tokonya nggak tahu kalau itu babi sudah dipesan). Addie mencari siapa yang beli dan ternyata..., dia adalah salah satu pelanggan di kedai kopinya yang sempat melihat post it-an si Addie dan bermaksud untuk menjadi "malaikat" apalah. Intinya cuma mau ngetes si Addie doang.
Endingnya memang mereka, si tokoh-tokoh utama sebelumnya ketemu di Starbucks sih, dan Jeb juga. Begitulah.
***
Cerita ketiga, aduh kok nggak banget ya menurut saya. Eksekusi sebagai penutupnya kurang nendang. Cerita dari sudut pandang cewek super egois nggak ngena. Sayang banget, padahal Maureen sudah mengenalkan Jeb dengan bagus banget di cerita pembuka, dan dia punya cewek seperti Addie, aduh sayang banget. He deserves better, #halah. Tapi ini kan memang balik ke selera sih ya. Yang menarik dari saya justru bukan cerita Addie-Jeb (karena emang karakter si Addie ini nggak banget), atau si babi cangkir, tapi tentang bagaimana kebiasaan orang-orang di Georgetown yang keranjingan nyetarbak tiap pagi, sudah kayak minum teh di rumah saja. Dan ini sebenarnya wajar sih ya, saya menyaksikan banyak juga orang-orang yang doyan nongkrong dan ngopi di tempat itu, yang mana kalau sesuaikan sama kantong saya, itu nggak bakalan nutup gaji sebulan xD. Secara satu gelas kopinya aja mehong bangetttt. Ah mungkin di sana murah kali ya, mungkin seharga teh kotak atau milo kalengan, hahaha.
***
So far, ambil rata saja, bintang empat. Karena ini bukan hanya tiga penulis dijadikan satu, tapi kolaborasinya benar-benar membuat cerita utuh dan menarik sesuai karakteristik penulisnya masing-masing.
0 komentar:
Post a Comment