Love Trip

Judul : Love Trip
Penulis : Putu Kurniawati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 272 Halaman
Cetakan Pertama, Juni 2016
ISBN : 9786020329055
Rating : 2 dari 5



Blurb:

Selain untuk melanjutkan studi, Cakra pindah ke Denver untuk mengobati penyakit yang ia derita. Menjelang kelulusan, ia mengikuti penelitian di Kyoto dan bertemu Luna. Tak disangka pertemuan itu membuat mereka akrab hingga memutuskan pacaran—meski harus menjalani LDR.

Tapi menjaga hubungan jarak jauh tidak semudah itu. Makin lama Luna merasa perhatian Cakra kepadanya jauh berkurang. Belum lagi tampaknya Cakra menyembunyikan sesuatu darinya. Apalagi Steve, teman masa kecilnya, semakin gigih dan bersedia nyentana demi dirinya.

Luna mulai berpikir untuk mengetes keseriusan Cakra dengan permainan yang dia buat. Dan permainan itulah yang membuat mereka menjejakkan kaki mulai dari Denver, Kyoto, Bali, Lombok, sampai Praha.

***

Cakra adalah mahasiswa yang berkuliah di Denver. Suatu hari, bersama Junot sahabatnya, mereka berdua mengikuti kunjungan dosen mereka ke Kyoto, Jepang. Di sana, mereka bertemu dengan seorang gadis Asia yang ternyata dari Indonesia. Lebih tepatnya, berasal dari Bali, bernama Luna. Melalui perkenalan supersingkat tersebut, keduanya memutuskan pacaran. Otomatis, mereka melalui proses LDR.

Luna memiliki teman bernama Steve, teman dari kecil yang bahkan sekarang berada satu kampus dengannya di Kyoto. Kehadiran Steve yang terang-terangan menyatakan diri suka dengan Luna, membuat Cakra terusik. Apalagi, Steve yang agresif selalu berusaha memancing Luna untuk menjauhi Cakra. Termasuk mengompori saat Cakra tidak hadir dalam peristiwa-peristiwa penting yang dialami Luna (ya nurut ngana, kayak jarak Kyoto-Denver atau Bali-Denver itu dekat aja #upsbelummasukpembahasan).

Sementara itu, pilihan berkuliah di Denver bagi Cakra selain untuk melanjutkan studi adalah dalam rangka pengobatan penyakit yang ia derita. Beruntung bagi Cakra, ia bersahabat dengan Junot, pemuda yang teramat perhatian padanya. Junot bisa dipastikan hadir dalam momen-momen penting kehidupan Cakra; mereka berdua diutus sebagai asisten dosen saat kunjungan ke Universitas Kyoto, Junot yang rela balik meninggalkan kehidupannya untuk menemani Cakra pulang ke Indonesia, Junot pun ada saat Cakra mengejar Luna sebagai pembuktian cintanya.

Ya, singkat cerita, saat pembuktian cinta pada Luna pun terjadi. Karena takut Steve akan mengambil Luna darinya, Cakra memutuskan untuk resign dari pekerjaannya di Denver dan kembali ke Bali (Junot juga ikut, sudah saya ceritakan duluan, kan?). Rupanya, setelah di Bali, ada momen di mana kakak Luna menentang hubungan mereka. Luna melakukan permainan find me yang membuat Cakra rela mengikuti ke mana Luna pergi (dan Junot juga ngintilin Cakra pergi). Perjalanan itu berlangsung dari Bali, ke Lombok, bahkan hingga Praha.

Apakah itu cukup untuk membuktikan cinta Cakra pada Luna?


***

Sebelumnya, saya meminta maaf terlebih dahulu kalau sekiranya ulasan saya kurang menyenangkan. Saya berusaha membuat tulisan ini seobjektif mungkin dan dengan bahasa sebaik mungkin. Kalau sekiranya ada salah kata, harap dimaklumi dan dimaakan.

Mari menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan sebelum saya melanjutkan menulis ulasan ini.

Sudah. 

Hehe.

Karena penulis menggunakan beberapa istilah fisika di awal novelnya, saya pun akan melakukan yang sama sebagai permulaan tulisan ini. Saya pernah menjelaskan tentang prinsip LDR yang dikaitkan dengan Hukum Coulomb: "Besarnya gaya tarik-menarik atau tolak-menolak antara dua benda bermuatan listrik berbanding lurus dengan muatan masing-masing benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut." Gaya ikatan cinta di antara dua orang yang LDR itu berbanding lurus dengan kedua muatannya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Jadi, kalau mau membuat ikatan cinta antardua pelaku LDR, masing-masing harus memperbesar muatan, karena terbentang jarak (yang dikuadratkan) di antara mereka. (Iya, saya mah guru galau, emang #plak)

Sudah hukum alam bagi pelaku LDR bahwa besarnya jarak yang terentang di antara mereka harus diimbangi dengan besarnya muatan yang diberikan. Muatan itu yang bagaimana? Tentu saja rasa saling percaya, saling menghargai, tidak mengkhianati, dan lain sebagainya. Nah terus, kaitannya dengan novel ini apa? Sabar, hehe. Sebentar lagi akan saya jelaskan.

Cakra dan Luna adalah pasangan yang jadian dengan singkat sekali tapi berhasil menjalani LDR dalam jangka waktu yang lama (hore! Saya saja beberapa kali LDR gagal #heh). Padahal, waktu perkenalan mereka saja hanya beberapa hari. Berhasil menjalani LDR bukan berarti membuat jalinan keduanya mulus. Akibat sahabat yang kompor, membuat hubungan mereka yang manis itu (diwarnai dengan kejutan-kejutan di momen penting di mana salah satunya datang ke salah lain yang berbeda benua itu) sedikit goyah. Cakra yang takut ditikung Steve memutuskan untuk balik ke Bali dan meninggalkan pekerjaannya (yang baru ditekuni dalam jangka waktu beberapa bulan! Wah, kontraknya gimana, tuh? Dia kerja dikontrak dulu nggak, ya?). Apalagi, Luna mengancam kalau Cakra nggak datang, dia bakal ditunangkan atau bahkan menikah dengan Steve.

Nah, Junot ikut ke Bali. Alasannya, dia kangen Mami. Tapi, yang ada malah di Bali-nya dia ngintilin Cakra ke mana dirinya pergi. Mami hanya jadi alasan. Sabar ya, Mi. Dan Junot, rela ngintilin Cakra (pakai uangnya sendiri) buat pergi mengikuti permainan find me-nya Luna yang jaraknya ribuan kilometer itu.

Ah, sudahlah. Saya nggak mau bahas hubungan Cakra-Junot berkepanjangan. Karena, masih banyak yang mau saya bahas selain mereka, hehehe.

Ada beberapa keluhan yang akan saya utarakan di sini, selain yang sudah saya tuliskan di atas, dan mungkin bakal ada Cakra-Junot lagi deh ya (lah, katanya nggak mau bahas lagi?). 

Pertama, saya merasa aneh dengan banyaknya kebetulan-kebetulan di kisah ini. Kebetulan ketemu Luna yang orang Indonesia. Kebetulan Luna orang Bali sama seperti Cakra. Kebetulan Cakra dan Junot yang diutus sebagai asisten dosen ke Kyoto. Kebetulan Cakra dan Junot satu kamar. Kebetulan ketemu orang Indonesia saat party di Denver. Kebetulan kakak Luna dan kakak Cakra ternyata saling kenal. Kebetulan pas dalam pencarian Luna ketemu sama teman lama yang kenal Steve. Kebetulan... apa lagi, ya? Sampai di sini saja deh, kebetulannya.

Kedua, saya juga mau mengomentari latar belakang Cakra dan Junot (yah, kebahas lagi deh mereka berdua). Saya dibingungkan dengan Cakra. Dia ini anak dari kalangan berada, kah? Tapi kok sepertinya hidupnya nelangsa di Denver. Meskipun nggak nelangsa-nelangsa banget, tapi dia seperti mahasiswa-mahasiswa beasiswaan begitu kesehariannya. Namun, Cakra bisa dengan mudah berpindah-pindah posisi di mana pun dia inginkan. Okelah perjalanan pertama ke Kyoto dibiayai kampus. Tapi, selanjutnya? Belum lagi Luna. Dikisahkan orangtuanya seniman. Tapi dia bisa dengan mudahnya mengunjungi Cakra di Denver. Bukan berarti saya meremehkan penghasilan seniman, sama sekali bukan. Namun, aneh saja. Teman saya yang berada saja, harus nabung berbulan-bulan dari penghasilannya untuk bepergian nonton konser idolanya. Itu dia sudah berpenghasilan, lho. Sementara Luna, statusnya waktu itu masih mahasiswa.

Ketiga, saya bingung dengan pengembangan karakter si pria-pria di tokoh ini. Ada dua jenis karakter menyebalkan (atau katakanlah, yang membuat pembacanya kurang simpatik dengan mereka pada awalnya). Yang pertama adalah dia yang menyebalkan karena tuntutan plot, sehingga setelah pembaca mengetahui alasan di balik sikapnya itu, membuat rasa simpati dan empati tercurah padanya. Contohnya, Severus Snape. Lalu, yang kedua, adalah karakter menyebalkan yang ketika pembaca sudah berpikiran positif tentangnya, tapi ternyata tidak menemukan alasan di balik sikap menyebalkannya itu. Untuk Cakra, saya memasukkannya pada golongan kedua. 

Saya tidak bisa merasakan simpati pada Cakra, entah bagaimana ceritanya. Meskipun dia didera penyakit, dan memiliki masa lalu kelam karena masa depannya disetir orangtuanya, tapi sikap Cakra sama sekali tidak menerbitkan rasa simpati. Terlebih, setelah dia memutuskan resign begitu saja dari pekerjaan karena mendapat ancaman dari Luna. Laki-laki itu dilihat dari kesungguhannya. Ketika dia memang cinta dengan Luna, kenapa tidak ditunjukkan dengan kesiapannya untuk menikahi Luna, misalnya, yang mana salah satu faktornya adalah kemapanan secara ekonomi? Dan darimana dia bisa mendapatkan itu kalau bukan dari pekerjaan? Eh dia malah resign dan melakukan pencarian bodoh itu yang notabene menghabiskan uang. (Dan tiket Denver-Bali itu nggak murah, hiks.) Oh ya, mungkin orangtuanya kaya raya, jadi urusan materi dan pekerjaan tidak perlu digubriskan. Tapi, bukankah karakter yang membuat simpatik itu kalau dia berhasil dengan tangannya sendiri ketimbang yang mendapat jaminan kemapanan dari orangtua, ya?


Apalagi, usia karakternya yang termasuk usia dewasa muda, seharusnya sudah bisa berpikir dan berperilaku layaknya orang-orang yang menuju ke awal masa kedewasaan mereka. Teman-teman saya (dan saya juga, sepertinya) saat seumuran mereka, sudah banyak yang bisa mengambil tindakan yang lebih mencerminkan sikap kedewasaan ketimbang mereka.

Ah, sudahlah. Saya tidak berhak masuk terlalu dalam ke karakter orang lain.

Lalu, (lagi-lagi) Junot. Tidak, saya tidak akan membahas kekurangkerjaannya yang mengintilin Cakra ke mana pun dan melupakan masa depan serta kehidupannya sendiri. Namun, Junot ini tipe cowok rempong dan bermulut lemes... (apa ya bahasa Indonesianya?) Saking lemes-nya, bahkan dia sampai ditampar pakai sandal sama salah satu karakter cewek di sini. Kurang lemes apa lagi, coba. Cowok kok lemes. Cowok kok rempong.

Sementara Steve, another lemes guy. Tidak ada kelebihan cowok ini selain rela melakukan nyentana dan punya banyak uang untuk selalu nempel dengan Luna.

Saya rasanya tidak perlu menjelaskan tentang Luna karena rasanya dari penjelasan tentang karakter-karakter lain, si Luna sudah terjelaskan meskipun tidak dengan gamblang.

Sekarang alasan keempat. Banyaknya tempat yang dikunjungi di novel ini menurut saya tidak lebih dari sekadar tempelan. Tentang kehidupan di Denver, tidak ada feel yang kerasa tentang itu. Feel tentang setting itu sebenarnya tidak melulu harus digali dengan mengunjungi tempat-tempat keren dari suatu lokasi. Menurut saya, justru dengan membangun suasana keseharian, setting itu jauh lebih kerasa. Dan sementara itu, Denver maupun tempat-tempat lain tidak dieksplor dengan jelas di sini. (Saya merekomendasikan Almost 10 Years Ago atau New York after the Rain kalau mau mendapatkan deskripsi suasana luar negeri yang benar-benar mengena.)

Kelima (dan semoga ini yang terakhir), banyaknya percakapan yang terjadi di novel ini membuat saya merasa bahwa novelnya "berisik". Saya justru merindukan membaca narasi dan deskripsi. Meskipun, untuk membuat cerita yang "show", alangkah lebih baik mengurangi panjangnya narasi dan deskripsi. Namun, kalau porsi dan proporsinya kurang pas, rasanya kesan berisik itu terus menempel di kepala. Sayangnya, karena akhirnya banyak perasaan dan kesan yang kurang tergali dalam novel ini.

Ya, alhamdulillah, karena ternyata itu tadi beneran yang terakhir.

Namun, di balik kekurangan yang saya rasakan itu, saya merasa sedikit terhibur dengan gaya penulisan yang sebenarnya oke. Secara keseluruhan tulisan ini rapi dan rasanya nyaris bersih dari kesalahan penulisan (ternyata proofreader-nya teman saya, wakakaka, good job, Orin.) Oleh karenanya, kekurangan di atas sedikit bisa dimaafkan. Lalu, sampulnya cantik. Perpaduan merah muda, kuning, dan putih, serta ilustrasi yang seperti doodle, juga membuat novel ini memiliki nilai plus. 

Sekian ulasan dari saya. Semoga apa yang saya tuliskan bisa menjadi sebuah kritik yang membangun dan membuat ke depannya lebih bagus lagi. Semoga bisa dijadikan masukan. Dan bagi kamu yang ingin membaca novel ini, selamat membaca. Semoga tidak terpengaruh dengan ulasan saya, hehehe. Karena, bisa jadi sudut pandang saya berbeda dengan apa yang akan kamu dapatkan nantinya.



3 komentar:

  1. Mutlak sih logis atau tidak logis cerita mempengaruhi pembaca dalam menilai buku. Dan memang penulis harus mempertimbangkan itu. Saya setuju dengan Mbak Nisa, dalam membaca pun, pembaca jangan diberikan cerita yang seolah-olah hanya bikinan asal. Hehehe. Untuk penulisnya, jangan menyerah memperbaiki karyanya ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget. Padahal kalau soal kelogisan, saya nggak begitu saklek sih. Hanya saja, kalau banyak nggak logisnya deh baru cerewet, ahahaha.

      Delete

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)