Judul : The Missing History
Penulis : Peer Holm Jørgensen
Penerbit : Noura Books
Tebal Buku : 468 Halaman
ISBN : 9786020989877
Rating : 3 dari 5
"Saya percaya setiap orang memiliki kewajiban untuk memperjuangkan apa yang dia yakini." ---halaman 64
"Kalian tahu, hidup adalah sebuah pilihan. Kalian bisa membuat pilihan kalian sendiri seperti sekarang kalian telah memilih untuk melecehkan piihan yang saya buat. Kalian semua bebas melakukannya. Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang membuat pilihan, kemudian mengindar dari tanggung jawab ketika harus menghadapinya."
"Jika boleh, berilah kesempatan kepada saya untuk memberikan satu nasihat kepada kalian semua: Ketika memutuskan membuat pilihan sendiri, kalian harus yakin untuk bisa tetap berpegang teguh pada pilihan itu. Ingatlah, kalian harus hidup dengan konsekuensi pilhan yang kalian buat seumur hidup." ---halaman 447
***
Blurb:
Masa awal Orde Baru, 1970-an
Para mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno ke negara-negara kiri sedang terombang-ambing. Gerak-gerik mereka diawasi oleh mata-mata pemerintah Orde Baru. Satu langkah keliru bisa mengakhiri hidup mereka.
Di tengah kegelisahan itu, Djani, salah seorang mantan mahasiswa Indonesia yang telah lama menetap dan berkeluarga di Slovenia, mendapat sebuah undangan misterius. Dia ragu untuk datang. Namun, rasa penasaran dan kerinduannya akan kabar terbaru dari tanah kelahiran mengalahkan ketakutan dan kecurigaannya.
Ketika tiba di tempat konferensi di Wina, dia pun merasa dijebak. Konferensi lima hari itu bersifat rahasia, dipimpin oleh Soemitro dan sejumlah pembesar Orde Baru, serta beraroma revolusi. Apa sebenarnya tujuan di balik konferensi tersebut?
Episode singkat dalam hidup Djani ini merupakan sejarah yang hilang dari dekade pertama Orde Baru dan jawaban dari misteri Dokumen Ramadi.
***
Djani adalah nama panggilan Dewa Soeradjana, seorang pemuda Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan jenjang studi di sebuah negara berideologi komunis, Yugoslavia. Pada mulanya, kehidupan para mahasiswa ini berjalan sebagaimana semestinya. Namun, peristiwa di tahun 1965 di mana Soekarno dilengserkan oleh Soeharto mengubah kehidupan bangsa Indonesia, tidak terkecuali mereka yang tengah menimba ilmu di luar negeri. Semua pengikut Soekarno ditangkap, dilenyapkan, begitu pula keluarga mereka yang bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Keadaan ini yang menyebabkan Djani tidak segera pulang ke Indonesia, namun mengambil alasan untuk mengambil program master dan bertahan di sana. Ah ya, Djani adalah seorang pendukung Soekarno.
Waktu berlalu, keadaan Indonesia bisa dibilang belum stabil. Bahkan, ketika Djani selesai dengan kuliahnya, ia masih menahan diri untuk tidak kembali ke Indonesia. Ia masih mengambil alasan untuk melanjutkan kuliah mengambil program doktoral dan tinggal di sana. Namun, rencana ini tidak semulus yang ia bayangkan. Meskipun Djani memilih untuk mencari program beasiswa jalur mandiri (tidak dibayarkan negara karena ia tidak ingin terikat dengan syarat pengabdian, dll), dan ada beberapa pihak yang berminat membantunya, namun kendala dihadapinya karena tidak berhasil mendapatkan surat pengantar dari kedutaan RI.
Sejak kejadian lengsernya Soekarno dan peristiwa September 1965, pihak kedutaan RI melakukan upaya untuk mengendalikan para mahasiswa yang ada di luar negeri. Pada mulanya, mereka berniat untuk menarik kembali para mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan untuk mengabdi pada tanah air dan kembali pulang. Namun, setelah menempuh proses dialog, akhirnya mereka diperbolehkan tetap berada di luar negeri namun harus melakukan perpanjangan izin tinggal setiap tahunnya. Djani pun harus melakukan itu dengan pergi ke kedutaan untuk melakukan perpanjangan itu. Prosesnya cukup menguras perasaan pula karena ia akan "diinterogasi" dan ditanyai macam-macam sebagai bahan pertimbangan apakah ia masih diizinkan untuk tinggal atau dideportasi.
Alasan lain--selain karena ideologi--yang menahan Djani untuk tidak pulang ke Indonesia adalah karena dirinya sudah menikah dengan seorang gadis Slovenia bernama Marija Ana. Ia juga memiliki dua orang anak bernama Robert dan Suzana. Sama halnya dengan Djani, Marija Ana mengalami kekhawatiran yang sama setiap kali Djani harus pergi ke kedutaan atau menghadiri kegiatan yang berhubungan dengan orang-orang kedutaan.
Saat ia mengurus izin tinggal, rupanya ia bertemu dengan seorang teman lama yang menghubungkannya dengan Jendral Soepardjo, sang Duta Besar. Pertemuan ini kemudian berlanjut dengan sebuah tawaran untuk mampir ke rumah Djani di Slovenia, yang diterima dengan senang hati oleh duta besar itu. Suatu hari, kediaman Djani didatangi oleh dua orang penting dalam satu hari. Pak Roestandi, atase militer di kedutaan, dan Duta Besar Soepardjo beberapa jam kemudian. Hal ini, tentu saja membuat Marija Ana bertanya-tanya, apakah ini memang sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja. Wanita itu mengalami semacam kecemasan berlebihan, apakah kunjungan ini ada hubungannya dengan pemaksaan agar suaminya kembali ke Indonesia dan meninggalkannya di Slovenia sendirian.
"Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Segala sesuatu ada tujuannya." ---halaman 97
Tak lama kemudian, sebuah undangan konferensi datang pada Djani. Undangan ini mencurigakan, karena ketika Djani sampai di lokasi, ternyata bukan atas nama pihak kedutaan melainkan dirancang oleh beberapa orang yang menghadirkan pemuda-pemuda yang tengah menimba ilmu di daratan Eropa yang sama sekali tak dikenali oleh Djani. Ternyata, pertemuan ini dilakukan dengan maksud membuat blueprint rancangan tentang tatanan Indonesia baru. Dua kelompok dibentuk yakni yang membahas tentang bidang militer dan ekonomi-kebudayaan. Djani masuk ke kelompok kedua.
Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah orang-orang dalam kelompok itu bermaksud untuk meloloskan sebuah paham baru, atau barangkali itu adalah upaya untuk menggalang dukungan terhadap pemerintahan yang baru dari pemuda-pemuda Indonesia terdidik di luar negeri, atau justru malah sebaliknya?
Kekhawatiran tentang pertemuan selama seminggu itu tidak hanya hinggap pada Marija Ana, melainkan pada Djani juga yang menjalani pertemuan tersebut.
***
Sebelum saya membahas tentang novel ini, ada baiknya saya memberikan rekomendasi agar kalian pembaca, menonton film "Surat dari Praha" terlebih dahulu. Atau, bisa juga membaca review yang saya buat tentang film itu di sini. Mengapa demikian? Ternyata keduanya mengambil tema yang sama, yakni tentang nasib pemuda Indonesia pengikut Soekarno pasca kejadian pengkudetaan pemerintahan Soekarno oleh Soeharto.
Mahdi Jayasri (Surat dari Praha) dan Dewa Soeradjana (The Missing History) adalah potret dua orang pemuda Indonesia yang direnggut ideologinya hanya karena mereka mendukung Soekarno dan menentang apa yang dilakukan oleh Soeharto. Bedanya, Djani tetap mendapatkan haknya sebagai seorang WNI sementara Jaya mendapatkan pengasingan dan pencekalan seumur hidupnya, ia hidup sekadarnya di Praha. Yang dapat saya simpulkan dari dua tokoh di atas adalah..., ternyata, kita memang harus membuka mata tentang sejarah Indonesia yang belum tersingkap, yang selama ini disembunyikan keberadaannya. Dua kisah ini memancing saya untuk mengetahui lebih jauh lagi apa yang sebenarnya terjadi dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia selama ini.
Oke, sekarang saya akan melanjutkan pembahasan tentang Djani alih-alih Jaya (kalian bisa lihat pembahasan tentang kelanjutan cerita Jaya di movie review Surat dari Praha). Kisah Djani--yang merupakan cerita nyata--disajikan dengan bahasa novel yang cukup mengalir, membuat pembaca menikmati kisah nyata dalam balutan fiksi. Bagaimana kehidupannya berubah sejak peristiwa bersejarah itu terjadi, juga kerisauan-kerisauan seputar kehidupan percintaannya yang mau tidak mau terkena dampak dari kejadian tersebut.
Sewaktu Djani mengikuti konferensi rahasia selama beberapa hari itu, saya mempunyai pandangan yang sama dengan apa yang dihadapi Djani. Mereka dikumpulkan dalam sebuah forum dengan maksud menggagas ide tentang negara Indonesia, namun nyatanya yang terjadi adalah mereka--para peserta konferensi--hanyalah "diarahkan" untuk menyetujui ide yang sudah digagas oleh pemrakarsa agenda tersebut. Lalu di kemudian hari, nantinya akan ada kodifikasi yang dimaksudkan sebagai "hasil pembahasan oleh pemuda terpelajar Indonesia" yang namanya terpampang di sana, yang bisa diklaim sebagai orang-orang yang bertanggung jawab terhadap isinya. Padahal yang terjadi adalah, mereka hanya peserta yang hasil pembahasan di dalamnya sudah ditentukan oleh orang-orang tertentu.
Sebenarnya gaya penulisan novel ini cukup oke menurut saya. Adegan di gerbong kereta, dialog antara Djani dan pasangan suami-istri Max dan Karina, saya suka. Ini seperti kau bertemu dengan orang asing namun obrolan kalian jauh dari sekadar basa-basi "Kamu tinggal di mana? Pekerjaannya apa?". Di akhir pembicaraan mereka, ada percakapan yang menarik sekali:
Tapi, ketika sampai pada Djani yang mengikuti konferensi diam-diam itu, saya merasa sedikit bosan. Pemaparan Trinugroho selaku moderator, mengingatkan saya tentang peran guru sebelum era KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), di mana guru adalah tokoh sentral dalam pembelajaran di kelas. Alih-alih sebagai seorang fasilitator dan moderator, Trinugroho berperan sebagai tokoh sentral di mana ia adalah pengendali forum. Bukankah sebaiknya dalam forum diskusi pembahasan dilakukan dalam banyak arah untuk benar-benar mendapatkan suatu kesimpulan dari semua kepala yang ada di dalam ruangan? Karena adegan dalam bagian ini monoton dan cenderung membosankan, yang saya rasakan sebagai pembaca pun sama. Padahal, bisa saja adegan monoton dan membosankan dikisahkan dalam bentuk yang menyenangkan. Meskipun begitu, apa yang mereka bahas benar-benar masalah kekinian di zaman itu yang ternyata orang-orang di era sekarang merasakan dampak kebijakan yang telah dilakukan pada zaman itu terlepas apakah pembahasan yang ada di dalam konferensi tersebut berhubungan dengan kebijakannya atau tidak. Misalnya, pembahasan etnis Tionghoa, pembatasan keturunan (program Keluarga Berencana) yang mana zaman nenek atau ibu kita, mereka terbiasa dengan banyaknya anak sementara di era sekarang, punya anak lima saja sudah merupakan kejadian yang cukup langka, lalu ada pula tentang transmigrasi, dan masih banyak informasi penting lainnya yang menarik untuk dicerna dan dibaca, terlepas dari cara penulisannya yang menurut saya kurang luwes.
Pada akhirnya, saya mendapatkan kesimpulan yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Dewa Soeradjana saat itu:
Saya jadi teringat tentang pidato terakhir Bung Karno: Jas Merah.
Terlepas dari kekurangan saya yang belum mengetahui bagaimana ideologi Soekarno yang sebenarnya, atau apa yang terjadi dengan Indonesia kala baru saja membangun negara setelah merdeka, tapi saya harus sepakat dengan kata-kata Djani pada pemuda-pemuda Indonesia saat ia menuturkan kisahnya pada suatu hari di kampung halaman:
Oke, sekarang saya akan melanjutkan pembahasan tentang Djani alih-alih Jaya (kalian bisa lihat pembahasan tentang kelanjutan cerita Jaya di movie review Surat dari Praha). Kisah Djani--yang merupakan cerita nyata--disajikan dengan bahasa novel yang cukup mengalir, membuat pembaca menikmati kisah nyata dalam balutan fiksi. Bagaimana kehidupannya berubah sejak peristiwa bersejarah itu terjadi, juga kerisauan-kerisauan seputar kehidupan percintaannya yang mau tidak mau terkena dampak dari kejadian tersebut.
Sewaktu Djani mengikuti konferensi rahasia selama beberapa hari itu, saya mempunyai pandangan yang sama dengan apa yang dihadapi Djani. Mereka dikumpulkan dalam sebuah forum dengan maksud menggagas ide tentang negara Indonesia, namun nyatanya yang terjadi adalah mereka--para peserta konferensi--hanyalah "diarahkan" untuk menyetujui ide yang sudah digagas oleh pemrakarsa agenda tersebut. Lalu di kemudian hari, nantinya akan ada kodifikasi yang dimaksudkan sebagai "hasil pembahasan oleh pemuda terpelajar Indonesia" yang namanya terpampang di sana, yang bisa diklaim sebagai orang-orang yang bertanggung jawab terhadap isinya. Padahal yang terjadi adalah, mereka hanya peserta yang hasil pembahasan di dalamnya sudah ditentukan oleh orang-orang tertentu.
Sebenarnya gaya penulisan novel ini cukup oke menurut saya. Adegan di gerbong kereta, dialog antara Djani dan pasangan suami-istri Max dan Karina, saya suka. Ini seperti kau bertemu dengan orang asing namun obrolan kalian jauh dari sekadar basa-basi "Kamu tinggal di mana? Pekerjaannya apa?". Di akhir pembicaraan mereka, ada percakapan yang menarik sekali:
"Mr Dewa, apakah menurut Anda akan tercipta perdamaian di hidup kita?"
"Menurut saya tidak ada satu orang pun di muka bumi ini yang ingin mengalami pahitnya petaka dari Perang Dunia yang lain."
"Perang Dunia berdampak lebih buruk pada Belgia dibandingkan Indonesia. Jika Belgia diserang pada Mei 1940, Indonesia, seperti kata Mr. Dewa, hanya dijajah mulai awal 1942 saja."
"Benar. Jika Anda tidak menghitung tiga ratus tahun lamanya kami dijajah oleh Belanda." ---halaman 89
Tapi, ketika sampai pada Djani yang mengikuti konferensi diam-diam itu, saya merasa sedikit bosan. Pemaparan Trinugroho selaku moderator, mengingatkan saya tentang peran guru sebelum era KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), di mana guru adalah tokoh sentral dalam pembelajaran di kelas. Alih-alih sebagai seorang fasilitator dan moderator, Trinugroho berperan sebagai tokoh sentral di mana ia adalah pengendali forum. Bukankah sebaiknya dalam forum diskusi pembahasan dilakukan dalam banyak arah untuk benar-benar mendapatkan suatu kesimpulan dari semua kepala yang ada di dalam ruangan? Karena adegan dalam bagian ini monoton dan cenderung membosankan, yang saya rasakan sebagai pembaca pun sama. Padahal, bisa saja adegan monoton dan membosankan dikisahkan dalam bentuk yang menyenangkan. Meskipun begitu, apa yang mereka bahas benar-benar masalah kekinian di zaman itu yang ternyata orang-orang di era sekarang merasakan dampak kebijakan yang telah dilakukan pada zaman itu terlepas apakah pembahasan yang ada di dalam konferensi tersebut berhubungan dengan kebijakannya atau tidak. Misalnya, pembahasan etnis Tionghoa, pembatasan keturunan (program Keluarga Berencana) yang mana zaman nenek atau ibu kita, mereka terbiasa dengan banyaknya anak sementara di era sekarang, punya anak lima saja sudah merupakan kejadian yang cukup langka, lalu ada pula tentang transmigrasi, dan masih banyak informasi penting lainnya yang menarik untuk dicerna dan dibaca, terlepas dari cara penulisannya yang menurut saya kurang luwes.
Pada akhirnya, saya mendapatkan kesimpulan yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Dewa Soeradjana saat itu:
"Apakah dengan cara seperti ini sejarah kita ditulis? Apakah siapa pun yang memiliki kedudukan tinggi bisa membeberkan kebenaran versi dirinya sendiri dan semua orang akan menelan mentah-mentah begitu saja?" ---halaman 118
Saya jadi teringat tentang pidato terakhir Bung Karno: Jas Merah.
Terlepas dari kekurangan saya yang belum mengetahui bagaimana ideologi Soekarno yang sebenarnya, atau apa yang terjadi dengan Indonesia kala baru saja membangun negara setelah merdeka, tapi saya harus sepakat dengan kata-kata Djani pada pemuda-pemuda Indonesia saat ia menuturkan kisahnya pada suatu hari di kampung halaman:
"Tanpa memusingkan apa yang menjadi akar penyebab tragedi 1965, Soekarno adalah bapak pendiri bangsa dan tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Tanpa usaha keras dan tekadnya untuk pertama menantang Belanda kemudian Inggris sejak masih berusia muda, termasuk di antaranya dijebloskan ke penjara selama dua tahun dan pengasingan di dalam negeri selama delapan tahun, kemungkinan besar kalian tidak akan bisa hidup di negara yang berdaulat. Kalian semua harus mengingat dan menghargai jasa beliau." ---halaman 448
0 komentar:
Post a Comment