Karena buku ini spesial (bukan berarti buku lainnya tidak spesial lho ya), saya mendedikasikan waktu yang saya punya untuk mengumpulkan berbagai macam kutipan dari novel A Man Called Ove karya Fredrick Backman. Selamat membaca dan mengutip :D Dan kalau mengambil kutipan, jangan lupa disertakan sumbernya ya ;)
Warning: Mungkin akan ada spoiler minor di sini. So, be careful :)
Orang mengatakan Ove melihat dunia dalam warna hitam putih. Namun, perempuan itu berwarna-warni. Seluruh warna yang dimiiki Ove. ---halaman 62
Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. ---halaman 76
Istri Ove memercayai takdir. Dia percaya bahwa semua jalan yang kau tempuh dalam hidupmu, dengan satu atau lain cara, akan "menuntun pada apa yang telah ditakdirkan untukmu". Tentu saja, Ove hanya menggumam pelan dan sibuk mengutak-atik sekrup atau sesuatu setiap kali istrinya mulai berkata begitu. Namun dia tidak pernah tidak menyetujui istrinya. Barangkali yang disebut sebagai takdir oleh istrinya adalah "sesuatu", itu bukan urusan Ove. Namun bagi Ove, takdir adalah "seseorang". ---halaman 96
Orang dinilai dari yang mereka lakukan. Bukan dari yang mereka katakan. ---halaman 105
Istrinya sering berkata bahwa "semua jalanan menuju pada sesuatu yang sudah ditakdirkan untukmu". Dan, bagi perempuan itu, mungkin takdir adalah sesuatu. Namun bagi Ove, takdir adalah seseorang. ---halaman 107
Konon otak berfungsi lebih cepat ketika sedang mengalami kemerosotan. Seakan ledakan mendadak energi kinetik itu akan memaksa segenap kemampuan mental untuk melakukan percepatan, hingga persepsi mengenai dunia luar menjadi gerak lambat. ---halaman 108
Orang-orang selalu berkata Ove dan istrinya bagaikan malam dan siang. Tentu saja Ove sadar sepenuhnya bahwa dialah yang disebut malam. Itu tak masalah baginya. Sebaliknya, istrinya selalu merasa geli ketika seseorang berkata begitu. Sebab kemudian, dia bisa menjelaskan sambil terkikik bahwa mereka menganggap Ove sebagai malam karena dia terlalu pelit untuk menyalakan matahari. ---halaman 145
Ove tidak pernah mengerti alasan istrinya memilih dirinya. Istrinya hanya menyukai benda-benda abstrak seperti musik, buku, dan kata-kata aneh. Ove adalah lelaki yag dipenuhi seluruhnya dengan benda-benda nyata. Dia menyukai obeng dan filter bensin. Dia menjalani hidup dengan tangan dimasukkan mantap ke saku. Istrinya menjalani hidup sambil menari. ---halaman 145
"Kau menari-nari di dalam hati, Ove, ketika tak seorang pun memperhatikan. Dan, aku akan selalu mencintaimu karenanya. Tak peduli kau suka atau tidak." ---halaman 146
Sebab, akan tiba saatnya dalam kehidupan semua lelaki, ketika mereka harus memutuskan hendak menjadi jenis lelaki macam apa: jenis yang membiarkan orang lain menguasai mereka atau tidak. ---halaman 146
"Jika kau tidak bisa mengandalkan seseorang agar tepat waktu, kau juga tidak bisa memercayakan sesuatu yang lebih penting kepadanya," gumamnya dulu, ketika orang datang membawa kartu absen dengan masih meneteskan keringat. ---halaman 175
Baginya, Ove adalah buket bunga merah jambu yang sedikit acak-acakan pada saat makan malam pertama mereka. Ove adalah setelan cokelat milik ayahnya yang terlalu ketat di bahu bidang muramnya. ---halaman 199
Sonja tahu, tidak banyak lagi jenis lelaki yang seperti ini. Mungkin Ove tdak mengiriminya puisi, merayunya dengan lagu, atau pulang dengan membawa hadiah mahal. Namun tidak pernah ada bocah laki-laki yang menaiki kereta api dengan tujuan keliru selama berjam-jam setiap hari, hanya karena dia suka duduk di samping Sonja dan mendengarkannya bicara. ---halaman 199
Konon, lelaki terbaik lahir dari kesalahan mereka sendiri, dan mereka seringkali menjadi lebih baik setelahnya, melebihi apa yang mereka capai seandainya tidak pernah melakukan kesalahan. ---halaman 200
Setiap manusia harus tahu apa yang diperjuangkannya. Itulah kata mereka. Dan Sonja memperjuangkan apa yang baik. Demi anak-anak yang tidak pernah dimilikinya. Dan Ove berjuang untuk Sonja.
Sebab itulah satu-satunya hal di dunia ini yang benar-benar dipahaminya. ---halaman 270
Banyak orang mengalami kesulitan untuk hidup bersama seseorang yang suka menyendiri. Ini menjengkelkan bagi mereka yang tidak sanggup menghadapinya. Namun Sonja tidak mengeluh melebihi yang seharusnya. "Aku menerimamu apa adanya," katanya dulu. ---halaman 295
Kita selalu mengira masih ada cukup banyak waktu untuk melakukan segalanya bersama orang lain. Masih ada waktu untuk mengucapkan segalanya kepada mereka. Lalu terjadi sesuatu, dan kita berdiri di sana sambil menggelayuti kata-kata semacam "seandainya saja". ---halaman 369
Namun kita selalu optimis jika menyangkut waktu. Kita mengira masih akan ada cukup waktu untuk melakukan segalanya bersama orang lain. Dan waktu untuk mengucapkan segalanya kepada mereka. ---halaman 376
Sulit bagi seseorang untuk mengakui kekeliruannya sendiri. Terutama ketika orang itu telah keliru untuk waktu yang sangat lama. ---halaman 399
"Mencintai seseorang bisa disamakan dengan pindah ke sebuah rumah." Itulah yang dulu biasa dikatakan Sonja.
"Mulanya kau jatuh cinta dengan semua barang barunya, setiap pagi merasa takjub karena semuanya ini milikmu, seakan khawatir seseorang akan mendadak masuk untuk menjelaskan bahwa telah terkadi kesalahan mengerikan, seharusnya kau tidak tinggal di tempat seindah ini.
Lalu, bertahun-tahun kemudian, dinding rumahnya menjadi lapuk, kayunya pecah di sana sini, dan kau mulai mencintai rumah itu bukan karena semua kesempurnaannya, tapi lebih karena ketidaksempurnaannya. Kau mulai mengenal semua sudut dan celahnya. Bagaimana cara menghindari kunci tersangkut di lubangnya ketika udara di luar dingin.
Papan-papan lantai mana yang sedikit meletoy ketika diinjak, atau bagaimana cara membuka pintu lemari pakaian tanpa berderit. Semuanya ini adalah rahasia kecil yang menjadikan rumah itu sebagai rumahmu." --- halaman 399
Kematian adalah sesuatu yang ganjil. Orang menjalani seluruh hidup mereka seakan kematian itu tidak ada, tapi kemtian sering kali menjadi salah satu motivasi terbesar untuk hidup. Pada akhirnya, sebagian dari kita menjadi begitu menyadari kematian sehingga menjalani hidup dengan lebih keras, lebih tegar, dan dengan lebih banyak kemarahan. Sebagian lagi memerlukan kehadiran kematian secara terus-menerus untuk menyadari antitesisnya. Sisanya menjadi begitu terosesi dengan kematian sehingga mereka memasuki ruang tunggu, lama sebelum kematian itu mengumumkan kedatangannya. ---halaman 426
0 komentar:
Post a Comment