Judul : Love in Rainy Days
Pengarang : Ifa Avianty
Penerbit : Lingkar Pena Publishing
ISBN: 9786028851121
Tebal : 372 Halaman
Rating : 2,5 dari 5
Blurb:
“Ceraikan dia. Biarkan dia menikahi perempuan lain yang sepadan dan bisa memberikan keluarga ini keturunan!”
Puncak kekagetanku sudah terjadi. Kutahan air mataku.
“Kami tidak ingin bercerai, Ma. Tidak akan pernah. Selamanya. Kami saling mencintai…”
“Cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ini. Lagipula, kamu sudah kuanggap gagal sejak lama menjadi menantu yang kuinginkan untuk Indra.”
CINTA sejati kadang tak hanya butuh keyakinan, tapi juga ketangguhan hati. Meski sudah sepuluh tahun menikah tanpa dikaruniai anak, biduk rumah tangga Zita dan Indra berjalan dengan bahagia. Namun kehadiran Mama Asti, ibu tiri Indra, membuat kehidupan pernikahan mereka menjelma bara. Berbagai cara dilakukannya untuk merusak pernikahan Zita dan Indra.
Apa sebenarnya tujuan Mama Asti? Mampukah Zita mempertahankan ikatan suci pernikahannya dengan Indra? Ataukah ia akan menyerah begitu saja dengan segala rekayasa yang dilakukan Mama Asti?
Sebuah kisah yang akan membuat kita merenung tentang kesejatian hidup serta kemurnian cinta. Dituturkan dengan renyah, khas Ifa Avianty yang telah banyak melahirkan novel-novel yang disukai para perempuan.
***
Zita dan Indra adalah sepasang sahabat yang telah menjalin pertemanan sejak di bangku TK. Keduanya pencinta hujan. Indra kecil suka meminta bekal makanan yang dibawa oleh Zita sehingga membuat ibunya Zita memberikan bekal yang banyak untuk mereka nikmati berdua. Sebenarnya, Indra adalah seorang sulung dari kalangan berada, keluarga besar Syahrazard yang mempunyai kerajaan bisnis ternama. Sementara Zita, bukan dari kalangan jetset meskipun dirinya termasuk keluarga yang berkecukupan dan berada. Sejak saat itu mereka bersahabat. Indra yang pendiam, introvert dan dingin, merasa nyaman dan menjadi sedikit terbuka dan ceria akibat berteman dengan Zita. Ini juga membuat seolah-olah dirinya ketergantungan dengan gadis tersebut.
Keluarga Indra termasuk keluarga besar karena dia mempunyai empat orang adik. Ibunya meninggal saat dia masih kecil sementara selang beberapa waktu kemudian ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita muda yang terpaut enam belas tahun dengan ayahnya. Namanya Mama Asti. Tidak seperti Mama Inge ibu kandung Indra, Mama Asti lebih cenderung menjadi seorang wanita sosialita yang suka berkumpul dengan teman-temannya untuk sekadar arisan, pesta, ataupun ngopi-ngopi bersama. Mama Inge juga memiliki hobi berbelanja dan menghambur-hamburkan uang. Dengan Mama Asti, Indra memiliki dua orang saudari tiri yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Adik-adiknya, terutama yang perempuan, justru lebih akrab dengan Zita ketimbang mamanya. Zita mengajarkan piano serta membantu pekerjaan rumah adiknya jika sedang berada di rumah Indra. Namun, kedekatan keduanya justru ditampik jika ada yang menganggap bahwa mereka berpacaran. Meskipun, kemesraan hubungan Zita dan Indra bisa dibilang melebihi hubungan sepasang kekasih.
Setelah beranjak dewasa, benih-benih cinta itu tidak dapat lagi dielakkan hingga akhirnya, setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Indra--ayahnya tidak setuju anaknya menikah dengan Zita karena perbedaan status sosial mereka sementara ibu tirinya, rupanya mempunyai maksud tersendiri sehingga dirinya merestui dan bahkan berupaya membujuk suaminya untuk akhirnya memberikan restu--akhirnya mereka berdua menikah. Namun, rumah tangga Indra dan Zita tidak sepi dari ujian. Setelah sepuluh tahun menikah, mereka belum juga diberikan momongan, karena kandungan Zita yang lemah. Sementara itu, pihak ketiga pun mewarnai hubungan mereka. Orang ketiga itu bukan berasal dari luar, namun justru datang dari ibu tirinya sendiri, yang ternyata jatuh cinta kepada anak tirinya. Kehadiran pihak ketiga dari rumah tangga almarhum papanya juga turut membumbui kisah ini, juga tentang perbedaan agama di antara Indra dan Zita. Namun yang terakhir itu justru tidak terlalu menonjol dan bukan bagian utama dari konflik yang terjadi.
Sorry to say saya nggak bisa kasih bintang lebih dari 2,5. Dan karena saya masih penasaran dengan karyanya Mbak Ifa (di rak ada My Avilla yang belum dibaca jadi semoga rating dari saya bisa lebih baik lagi dari yang ini, which is, saya bisa lebih menikmati ceritanya lebih dari yang baru saja saya selesaikan ini).
Anyway, sejujurnya saya cukup menikmati novel ini. Jalan ceritanya cukup sederhana dan menarik (kalau nggak menarik saya nggak bakal pengen cepet-cepet kelarin bukunya). Tentang hubungan suami istri yang mendapatkan pihak ketiga justru dari orang terdekat sendiri yakni si ibu tiri. Saya sempat ikut terbawa suasana saat kesal dengan sifat ibunya. Tapi, memang ada beberapa poin yang di saya agak kurang sreg. Pertama karena sudut pandangnya berubah-ubah dan nggak berpola, membuat saya kurang begitu menikmatinya. Alur maju-mundur juga agak sedikit membingungkan. Lalu karakter Zita yang... terlalu perfect. Saya cukup terganggu dengan karakter maupun latar belakang karakter yang terlalu jauh dengan kebanyakan kehidupan normal, jadi ya.... Lalu, cara pengemasan novel ini yang terkesan teenlit juga agak gimana. Padahal dibuat biasa saja dengan bahasa baku menurut saya sih nggak masalah karena segmentasi pembacanya kan dewasa yah. Nah ini lagi. Saya merasa nggak sregnya ... ketika menempatkan "pesan" di dalam buku ini. Saya terus terang, di awal cukup menikmati karakter Indra yang religius. Agak surprised juga karena tokoh Zita yang ternyata berbeda agama awalnya dengan Indra. Di situ saya menikmati kesan toleransinya, indah sekali, dan juga tentu saja saya penasaran bagaimana akhirnya Zita bisa sampai mengubah keyakinan. Tapi sayang di sayang, saya justru kurang mendapat kesan di bagian itunya. Menurut saya, eksekusinya kurang cantik. Bagian di mana Ifa Avianty mencoba menyampaikan "pesan" itu justru yang kurang mengena di hati. (Saya bahkan sudah memosisikan diri saya dengan sudut pandang seorang pembaca awam.) Memang, hubungan kita dengan Tuhan itu adalah sebuah hubungan yang intim, pribadi. Tapi bisa kok sesuatu yang personal itu disampaikan dengan lebih "romantis" tanpa ada kesan menggurui. Dan tentu saja di sini, saya beri bintang lima untuk niat baik Mbak Ifa untuk itu. Dan saya juga paham kok kalau dalam membuat tulisan kita harus menyelipkan makna dan pesan yang dapat diterima oleh pembacanya. Mungkin di sini saya saja yang kurang bisa menerima pesan atau maksud itu dengan baik. Bukan tidak baik sih hanya saja hmmm apa ya? Kurang cantik. Balik lagi mungkin ini hanya masalah selera. Atau memang hubungan spiritual yang dimaksudkan memberi kesan dan membekas itu, dengan jalan yang ditempuh Mbak Ifa melalui novel ini, bukan jalan yang sesuai buat saya. Saya malah mendapatkan momen spiritual dan menambah kedekatan dengan Tuhan justru di novel-novel filsafat seperti karyanya Jostein Gaarder atau Paulo Coelho.
Lho kok jadi panjang bahas ini ya? :)) padahal ini kan ceritanya Zita dan perjuangan dia untuk bisa masuk ke dalam keluarga suaminya yang kaya raya pebisnis itu (nah ini juga sih, pengambilan latar belakang karakternya yang menurut saya terlalu... sering dipakai di novel-novel sejenis ini), dengan segala kelebihan dan kekurangannya, terlebih bagaimana menghadapi seorang ibu tiri yang rupanya suka sama anaknya yang notabene itu adalah suami Zita sendiri. Hmmm, jadi, apakah rumah tangga mereka dapat terselamatkan?
Overall, saya cukup menikmati. Dan terus berkarya ya Mbak! :)
“Ceraikan dia. Biarkan dia menikahi perempuan lain yang sepadan dan bisa memberikan keluarga ini keturunan!”
Puncak kekagetanku sudah terjadi. Kutahan air mataku.
“Kami tidak ingin bercerai, Ma. Tidak akan pernah. Selamanya. Kami saling mencintai…”
“Cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ini. Lagipula, kamu sudah kuanggap gagal sejak lama menjadi menantu yang kuinginkan untuk Indra.”
CINTA sejati kadang tak hanya butuh keyakinan, tapi juga ketangguhan hati. Meski sudah sepuluh tahun menikah tanpa dikaruniai anak, biduk rumah tangga Zita dan Indra berjalan dengan bahagia. Namun kehadiran Mama Asti, ibu tiri Indra, membuat kehidupan pernikahan mereka menjelma bara. Berbagai cara dilakukannya untuk merusak pernikahan Zita dan Indra.
Apa sebenarnya tujuan Mama Asti? Mampukah Zita mempertahankan ikatan suci pernikahannya dengan Indra? Ataukah ia akan menyerah begitu saja dengan segala rekayasa yang dilakukan Mama Asti?
Sebuah kisah yang akan membuat kita merenung tentang kesejatian hidup serta kemurnian cinta. Dituturkan dengan renyah, khas Ifa Avianty yang telah banyak melahirkan novel-novel yang disukai para perempuan.
Zita dan Indra adalah sepasang sahabat yang telah menjalin pertemanan sejak di bangku TK. Keduanya pencinta hujan. Indra kecil suka meminta bekal makanan yang dibawa oleh Zita sehingga membuat ibunya Zita memberikan bekal yang banyak untuk mereka nikmati berdua. Sebenarnya, Indra adalah seorang sulung dari kalangan berada, keluarga besar Syahrazard yang mempunyai kerajaan bisnis ternama. Sementara Zita, bukan dari kalangan jetset meskipun dirinya termasuk keluarga yang berkecukupan dan berada. Sejak saat itu mereka bersahabat. Indra yang pendiam, introvert dan dingin, merasa nyaman dan menjadi sedikit terbuka dan ceria akibat berteman dengan Zita. Ini juga membuat seolah-olah dirinya ketergantungan dengan gadis tersebut.
Keluarga Indra termasuk keluarga besar karena dia mempunyai empat orang adik. Ibunya meninggal saat dia masih kecil sementara selang beberapa waktu kemudian ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita muda yang terpaut enam belas tahun dengan ayahnya. Namanya Mama Asti. Tidak seperti Mama Inge ibu kandung Indra, Mama Asti lebih cenderung menjadi seorang wanita sosialita yang suka berkumpul dengan teman-temannya untuk sekadar arisan, pesta, ataupun ngopi-ngopi bersama. Mama Inge juga memiliki hobi berbelanja dan menghambur-hamburkan uang. Dengan Mama Asti, Indra memiliki dua orang saudari tiri yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Adik-adiknya, terutama yang perempuan, justru lebih akrab dengan Zita ketimbang mamanya. Zita mengajarkan piano serta membantu pekerjaan rumah adiknya jika sedang berada di rumah Indra. Namun, kedekatan keduanya justru ditampik jika ada yang menganggap bahwa mereka berpacaran. Meskipun, kemesraan hubungan Zita dan Indra bisa dibilang melebihi hubungan sepasang kekasih.
Setelah beranjak dewasa, benih-benih cinta itu tidak dapat lagi dielakkan hingga akhirnya, setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Indra--ayahnya tidak setuju anaknya menikah dengan Zita karena perbedaan status sosial mereka sementara ibu tirinya, rupanya mempunyai maksud tersendiri sehingga dirinya merestui dan bahkan berupaya membujuk suaminya untuk akhirnya memberikan restu--akhirnya mereka berdua menikah. Namun, rumah tangga Indra dan Zita tidak sepi dari ujian. Setelah sepuluh tahun menikah, mereka belum juga diberikan momongan, karena kandungan Zita yang lemah. Sementara itu, pihak ketiga pun mewarnai hubungan mereka. Orang ketiga itu bukan berasal dari luar, namun justru datang dari ibu tirinya sendiri, yang ternyata jatuh cinta kepada anak tirinya. Kehadiran pihak ketiga dari rumah tangga almarhum papanya juga turut membumbui kisah ini, juga tentang perbedaan agama di antara Indra dan Zita. Namun yang terakhir itu justru tidak terlalu menonjol dan bukan bagian utama dari konflik yang terjadi.
***
Sorry to say saya nggak bisa kasih bintang lebih dari 2,5. Dan karena saya masih penasaran dengan karyanya Mbak Ifa (di rak ada My Avilla yang belum dibaca jadi semoga rating dari saya bisa lebih baik lagi dari yang ini, which is, saya bisa lebih menikmati ceritanya lebih dari yang baru saja saya selesaikan ini).
Anyway, sejujurnya saya cukup menikmati novel ini. Jalan ceritanya cukup sederhana dan menarik (kalau nggak menarik saya nggak bakal pengen cepet-cepet kelarin bukunya). Tentang hubungan suami istri yang mendapatkan pihak ketiga justru dari orang terdekat sendiri yakni si ibu tiri. Saya sempat ikut terbawa suasana saat kesal dengan sifat ibunya. Tapi, memang ada beberapa poin yang di saya agak kurang sreg. Pertama karena sudut pandangnya berubah-ubah dan nggak berpola, membuat saya kurang begitu menikmatinya. Alur maju-mundur juga agak sedikit membingungkan. Lalu karakter Zita yang... terlalu perfect. Saya cukup terganggu dengan karakter maupun latar belakang karakter yang terlalu jauh dengan kebanyakan kehidupan normal, jadi ya.... Lalu, cara pengemasan novel ini yang terkesan teenlit juga agak gimana. Padahal dibuat biasa saja dengan bahasa baku menurut saya sih nggak masalah karena segmentasi pembacanya kan dewasa yah. Nah ini lagi. Saya merasa nggak sregnya ... ketika menempatkan "pesan" di dalam buku ini. Saya terus terang, di awal cukup menikmati karakter Indra yang religius. Agak surprised juga karena tokoh Zita yang ternyata berbeda agama awalnya dengan Indra. Di situ saya menikmati kesan toleransinya, indah sekali, dan juga tentu saja saya penasaran bagaimana akhirnya Zita bisa sampai mengubah keyakinan. Tapi sayang di sayang, saya justru kurang mendapat kesan di bagian itunya. Menurut saya, eksekusinya kurang cantik. Bagian di mana Ifa Avianty mencoba menyampaikan "pesan" itu justru yang kurang mengena di hati. (Saya bahkan sudah memosisikan diri saya dengan sudut pandang seorang pembaca awam.) Memang, hubungan kita dengan Tuhan itu adalah sebuah hubungan yang intim, pribadi. Tapi bisa kok sesuatu yang personal itu disampaikan dengan lebih "romantis" tanpa ada kesan menggurui. Dan tentu saja di sini, saya beri bintang lima untuk niat baik Mbak Ifa untuk itu. Dan saya juga paham kok kalau dalam membuat tulisan kita harus menyelipkan makna dan pesan yang dapat diterima oleh pembacanya. Mungkin di sini saya saja yang kurang bisa menerima pesan atau maksud itu dengan baik. Bukan tidak baik sih hanya saja hmmm apa ya? Kurang cantik. Balik lagi mungkin ini hanya masalah selera. Atau memang hubungan spiritual yang dimaksudkan memberi kesan dan membekas itu, dengan jalan yang ditempuh Mbak Ifa melalui novel ini, bukan jalan yang sesuai buat saya. Saya malah mendapatkan momen spiritual dan menambah kedekatan dengan Tuhan justru di novel-novel filsafat seperti karyanya Jostein Gaarder atau Paulo Coelho.
Lho kok jadi panjang bahas ini ya? :)) padahal ini kan ceritanya Zita dan perjuangan dia untuk bisa masuk ke dalam keluarga suaminya yang kaya raya pebisnis itu (nah ini juga sih, pengambilan latar belakang karakternya yang menurut saya terlalu... sering dipakai di novel-novel sejenis ini), dengan segala kelebihan dan kekurangannya, terlebih bagaimana menghadapi seorang ibu tiri yang rupanya suka sama anaknya yang notabene itu adalah suami Zita sendiri. Hmmm, jadi, apakah rumah tangga mereka dapat terselamatkan?
Overall, saya cukup menikmati. Dan terus berkarya ya Mbak! :)
Keren nih novel udah baca tapi blom tamat hehe
ReplyDelete