Showing posts with label bintang lima. Show all posts
Showing posts with label bintang lima. Show all posts

Falling into Places

Judul : Falling into Places
Penulis : Amy Zhang 
Penerbit : POP
Tebal Buku : 327 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2016
(versi bahasa asli, terbit perdana September 2014)
ISBN : 9786024241995
Rating : 5 dari 5




Blurb:

Di hari ketika Liz Emerson mencoba bunuh diri, Hukum Gerak Newton dibahas di kelas Fisika. Kelembaman, gaya, massa, gravitasi, kecepatan, percepatan... semua itu belum masuk benar ke kepalanya, tetapi seusai sekolah Liz mempraktikkan hukum-hukum itu dengan melajukan mobilnya ke luar jalan raya.

Kini Liz terbaring sekarat di rumah sakit, dan dia bisa meninggal kapan saja. Seperti halnya Liz tidak memahami Hukum Gerak Newton, orang-orang juga tidak memahami kenapa kejadian nahas ini menimpa Liz Emerson, gadis paling populer dan paling tangguh di Meridian. Tetapi aku paham. Aku bersamanya sewaktu mobil menabrak pagar pembatas jalan dan berakhir di dasar bukit. Aku paham kenapa kami jatuh bebas di tempat itu di minggu ketiga bulan Januari. Aku tahu alasan Liz mengakhiri hidupnya. Aku paham kesedihan yang dialami Liz, alangkah kesepiannya dia dan betapa hancur hatinya.

Setiap aksi menghasilkan reaksi. Namun Liz Emerson tidak perlu lenyap dari dunia ini, bukan? 

***

Amy Zhang benar-benar menerapkan konsep Hukum III Newton saat menuliskan buku ini; hukum sebab-akibat. "Setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah."

Sewaktu membaca paragraf awal buku ini, saya sudah disuguhkan dengan pembukaan spektakuler seperti ini:

Di hari ketika Liz Emerson mencoba bunuh diri, Hukum Gerak Newton dibahas di kelas Fisika. Kemudian, seusai sekolah, Liz mempraktikkan hukum-hukum itu dengan melajukan Mercedes-nya ke luar jalan raya.

Setelahnya, upaya evakuasi dan penyelamatan Liz disampaikan dengan teknik show yang memikat, meninggalkan kesan nyata beserta kepanikan, ketakutan, kecemasan, yang mengikutinya. Bagaimana nasib Liz? Apakah upayanya mengakhiri hidup bakal berhasil? Atau justru dia masih akan hidup lebih lama lagi? Yang jelas, sebuah panggilan telepon ke kantor polisi berhasil mencegah keadaan menjadi semakin fatal. Meskipun, berada di antara hidup dan mati dengan keyakinan untuk bertahan yang setipis kulit ari, rasanya menyedihkan.

Alur cerita bergerak maju dan mundur dengan penceritaan yang menarik, menguak sisi kehidupan Liz seolah seperti mengupas bawang. Pembaca dibawa mengenal Liz Emerson, seorang pelajar populer di Meridian, sosok yang dinilai sempurna oleh kawan-kawannya. Pembangkang, penguasa, dan segala hal sematan lainnya yang membuat Liz dan kedua temannya, Julia, dan Kennie, menjadi dikenal seantero sekolah. Apa yang membuat Liz memutuskan bunuh diri? Kesepian. Bagaimana Liz bisa merasa kesepian jika dia dikelilingi oleh sahabat yang menyayanginya, dan Liz sering berpindah dari satu keramaian ke keramaian lain? Satu pesta ke pesta lainnya? Mengapa Liz bisa memutuskan mengakhiri hidupnya hanya karena perkara se-"cemen" kesepian? Barangkali itulah yang ingin disampaikan penulis kepada karakternya. Bahwa pembaca seolah dibawa untuk "menghakimi" karakter Liz yang seperti itu. 

Namun, ketika pembaca dibawa untuk mengenal Liz lebih dalam, tentang peristiwa-peristiwa yang mengguncang kehidupannya, Liz yang semena-mena berubah menjadi Liz yang lain, sosok yang selama ini ditutupinya, yang tidak ingin diketahui orang lain. Hukum sebab-akibat membentuk Liz menjadi dirinya sekarang. Cerita tentang mendiang ayahnya, seorang teman masa kecil korban perisakan yang turut membentuk karakternya, apa yang terjadi dengan orang-orang dekatnya, pada kedua sahabatnya, dan banyak kisah-kisah lainnya. Seorang yang terlihat cerita, bahagia, tapi jiwanya kosong. Dia kesepian, dan malangnya, pembaca dapat turut merasakan bagaimana Liz menjalani kehidupannya dalam sepi. Bahkan dalam setiap keputusan-keputusan yang dipikirkannya, ada gejolak yang bisa dirasakan pembaca saat menyelami kisah Liz.

Sampai pada akhirnya, Liz merasa bahwa dirinya tidak pantas berada di atas bumi dengan milyaran manusia baik lainnya. Semua perilakunya seolah menggema di dalam isi kepalanya. Segala yang terjadi atas campur tangannya muncul dalam kesepian-kesepian yang mencekamnya itu. 

Liz tidak menyadari bahwa reaksi yang sama besar dan berlawanan arah adalah ini: setiap perbuatan kejam, jahat, dan dengki yang pernah Liz lakukan terpental kembali kepadanya.

Padahal, hidup tidak sesederhana itu. Bahwa banyak hal yang terjadi, bahkan lebih rumit ketimbang penjelasan tentang hubungan sebab-akibat yang muncul di sana.

Saya acungkan jempol dengan kepiawaian penulis dalam menceritakan kisahnya. Saya bahkan enggan membaca buku ini sepintas lalu. Karena setiap paragrafnya benar-benar berisi, hingga sayang untuk melewatkannya begitu saja. Cara penulisannya mengajarkan saya bagaimana mengolah cerita dengan teknik show yang baik. Semuanya bermakna. Apalagi, menjelaskan sebuah cerita remaja (yang bahkan nggak suka-suka amat sama Fisika) dengan bumbu teori Fisika tentang Hukum Gerak Newton. Penulis bahkan membagi bukunya (secara tidak langsung) dalam tiga tahapan. Yang pertama, tentang Hukum I Newton:

Benda yang diam akan tetap diam, dan benda yang bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan, kecuali ada gaya luar yang bekerja padanya.

Ini merujuk pada keadaan konstan dalam hidup Liz, yang berkaitan dengan hukum kelembaman, atau keadaan menolak perubahan. Lalu beranjak pada Hukum II Newton:

Gaya sama dengan laju perubahan momentum dibagi perubahan waktu. Untuk massa tetap, gaya sama dengan massa dikali percepatan.

Menjelaskan keadaan Liz, di mana dia berupaya untuk melakukan "sesuatu" sebagai upaya menghilangkan dirinya, dan kejahatan atas tangannya. Sayangnya Liz melakukan sesuatu yang salah. Dan yang terakhir, Hukum III Newton:

Setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah.

Bahwa secara kasatmata, sesuatu erat kaitannya dengan hukum sebab-akibat. Meskipun begitu, Mr. Eliezer memberikan sebuah kalimat penutup dalam sesi mengajarnya: 

"Hidup ini lebih dari sekadar sebab dan akibat."

Liz perlu tahu itu.

Terlepas dari erat kaitannya novel ini dengan Fisika, sesuatu yang menjalin love hate relationship dengan saya, buku ini SANGAT bagus! Disajikan dengan sudut pandang tak biasa (yang mengingatkanku pada film Inside Out), alur maju-mundur yang apik dan mengesankan, serta berhasil membawa pembaca merasa dekat dengan perasaan para tokohnya. (Apalagi ada fisika-fisikanya kan ya, jadi makin jatuh hati dengan buku ini! Dan yah, kapan lagi saya bikin ulasan sambil nyerempet-nyerempet bahas Hukum Newton kan yaaa XD) Bintang lima untuk bukunya! Kalau perlu, pinjam bintang tetangga buat nambahin lagi bintangnya =))

Saya jadi kepingin balik ke masa SMA kalau guru Fisikanya seperti Mr. Eliezer ini :D Dan juga kepingin dengar cerita tentang Liam lebih banyak lagi! (Siapa itu Liam? Baca saja buku ini untuk menemukan jawabannya ;) 

Meniti Bianglala

Judul : Meniti Bianglala---The Five People You Meet in Heaven
Penulis : Mitch Albom
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 208 Halaman
ISBN : 9786020333397
Cetakan kedelapan, September 2016
Rating : 5 dari 5






"Tidak ada kehidupan yang sia-sia. Satu-satunya yang kita sia-siakan adalah waktu yang kita habiskan dengan mengira kita hanya sendirian." ---halaman 55


Blurb:

Eddie bekerja di taman hiburan hampir sepanjang hidupnya, memperbaiki dan merawat berbagai wahana. Tahun-tahun berlalu, dan Eddie merasa terperangkap dalam pekerjaan yang dirasanya tak berarti. Hari-harinya hanya berupa rutinitas kerja, kesepian, dan penyesalan.

Pada ulang tahunnya yang ke-83, Eddie tewas dalam kecelakaan tragis ketika mencoba menyelamatkan seorang gadis kecil dari wahana yang rusak. Saat menghembuskan napas terakhir, terasa olehnya sepasang tangan kecil menggenggam tangannya. Ketika terjaga, dia mendapati dirinya di alam baka. Dan ternyata Surga bukanlah Taman Eden yang indah, melainkan tempat kehidupan manusia di dunia dijelaskan lima orang yang telah menunggu. Lima orang yang mungkin orang-orang yang kita kasihi, atau bahkan orang-orang yang tidak kita kenal, namun telah mengubah jalan hidup kita selamanya, tanpa kita sadari.

***

Eddie meninggal dunia saat sedang menjalankan tugasnya sebagai kepala maintenance di Ruby Pier. Saat itu sama seperti hari-hari lainnya. Eddie sudah melaksanakan rutinitasnya dengan baik. Namun sesuatu terjadi, sehingga membuat salah satu wahana di tempat itu rusak dan kecelakaan terjadi. Saat dia mencoba untuk menyelamatkan seorang gadis cilik itulah dia kehilangan nyawanya.

Penyebab kematian Eddie tidak disampaikan secara langsung, melainkan dalam bentuk potongan-potongan cerita yang menemani kita membaca kisah ini. Juga ditemani dengan penggalan-penggalan kisah berkesan yang terjadi di ulang tahun Eddie.


Setelah meninggal dunia, bayangan tentang surga berubah seketika karena yang ditemui Eddie adalah bianglala, tempatnya bekerja selama puluhan tahun itu. Di sana, ia bertemu dengan Lelaki Biru, dengan ceritanya yang memilukan. Si Lelaki Biru juga menceritakan sesuatu kepada Eddie. Bahwa sebelum ia bisa melanjutkan perjalanan, ia akan bertemu dengan lima orang yang berpengaruh dalam hidupnya, yang akan mengubah pandangannya terhadap arti kehidupan yang sudah dilaluinya.


Lalu, siapakah Orang Biru yang adalah orang pertama dari lima orang yang akan ditemuinya dan apa hubungannya pria aneh itu dalam kehidupan Eddie?


Pertemuan keduanya adalah dengan sang Kapten, di mana pada masa muda Eddie, dia menjadi seorang tentara dan diutus ke Filipina oleh negara. Di sana ia bertemu dengan Kapten. Kehidupan sebagai seorang tentara di daerah konflik benar-benar tidak menyenangkan. Eddie merasakan penderitaan mental yang dialaminya selama menjalani tugas tersebut. Dan Kapten, adalah salah satu orang yang membuat perubahan besar dalam hidupnya. 


Orang ketiga yang Eddie temui adalah seorang wanita di mana akan diungkapkan sebuah rahasia tentang ayahnya. Menurutnya, ia hidup jauh dari rasa kasih sayang ayahnya. Eddie yang menjalani puluhan tahun sebagai mekanik di Ruby Pier, merasa benci karena dirinya harus terkait dengan ayahnya, karena ia harus menjalani hidup yang dijalani ayahnya sebelum ia tiada. Dan kejutan lainnya menanti Eddie di sana.


Sebelum bertemu dengan orang keempat, Eddie dibawa untuk menyaksikan banyak pernikahan. Bahwa semasa hidupnya ia tidak suka dengan yang namanya pernikahan. Ia juga tidak percaya dengan cinta. Sampai suatu ketika, Eddie bertemu dengan Marguerite. Kehidupannya dengan Marguerite yang sederhana, namun penuh cinta. Hingga ia harus merasakan kehilangan saat sesuatu yang dimilikinya pergi. Pada orang keempat, Eddie belajar tentang bagaimana cinta dan betapa besar pengaruhnya dalam hidup seseorang.


Sekarang, ia sudah sampai pada orang kelima. Seseorang yang tidak terduga hadir dalam kehidupannya, memorakporandakan perasaannya. Terlebih lagi, orang terakhir yang ditemuinya mengajarkan pada Eddie bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia, akan berkaitan dengan kehidupan orang lain juga. Bahwa tidak ada satu pun yang hidup di dunia ini tanpa memberikan arti pada kehidupan orang lain. Eddie belajar pada orang terakhir bahwa kehidupannya yang selama ini ia kira biasa saja, justru mempunyai maksud dan tujuan yang besar. Tidak hanya pada diri kita sendiri, melainkan untuk orang lain yang bahkan tidak pernah kita kenal sebelumnya.



***


Novel ini memiliki kesan spiritual yang kuat, berbicara tentang kehidupan setelah kematian. Bagaimana dari sebuah karya fiksi kita bisa memaknai kehidupan yang belum akan kita jalani itu. Membaca Meniti Bianglala, membuat kita mengalami perjalanan spiritual yang indah, tentang makna kehidupan yang sering tidak kita sadari selama ini. Tentang betapa berharganya waktu, kehidupan manusia yang saling berkaitan satu sama lain, tentang cinta, memaafkan, dan banyak lagi makna lain yang luput dari pemahaman kita sehari-hari.

Melalui Eddie, Mitch Albom mengajak pembaca melakukan perjalanan kehidupan, bertemu dengan lima orang tidak terduga, mengambil banyak pelajaran di sana. Perjalanan pertama mengajarkan manusia bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang berkesinambungan. Ketika kehidupan seseorang harus berakhir, sesungguhnya makna keberadaannya diteruskan oleh orang lain, disadari atau tidak.


"Itu karena jiwa manusia tahu, jauh di lubuk hati mereka, bahwa semua kehidupan saling berkaitan. Kematian bukan hanya mengambil seseorang, tapi juga luput dari orang lain, dan di celah kecil antara kena dan nyaris, kehidupan berubah." ---halaman 53

Perjalanan kedua membawa Eddie bertemu dengan sang Kapten, di mana ia mengajarkan tentang makna pengorbanan yang barangkali sering luput dari kacamata pengamatan manusia. Tentang hubungan sebab-akibat yang akan mengikat manusia dalam takdir kehidupannya. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Bahkan sekecil apa pun keputusan yang dibuat dalam sebuah fase kehidupan, adalah sebuah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk memahami makna kehidupan, makna pengorbanan, dan agar manusia dapat menggali hikmah kehidupan darinya.

Lalu Eddie melanjutkan ke perjalanan ketiga, di mana ia bertemu dengan orang yang sama sekali asing, namun memiliki hubungan kedekatan yang tidak terkira dalam kehidupannya. Tentang sebab-musabab pertalian mereka, dan juga sebagai orang yang akan memahamkannya dengan sebuah pemahaman terbaru tentang kata "memaafkan". Betapa ketika kita memiliki kebencian terhadap seseorang yang menurut kita berkontribusi menghancurkan kehidupan kita, adalah seseungguhnya sebagai tempat pembelajaran bagi kita untuk belajar memberikan maaf.


"Menyimpan rasa marah adalah racun. Menggerogotimu dari dalam. Kita mengira kebencian merupakan senjata untuk menyerang orang yang menyakiti kita. Tapi kebencian adalah pedang bermata dua. Dan luka yang kita buat dengan pedang itu, kita lakukan terhadap diri kita sendiri." ---halaman 145

Perjalanan keempat menyadarikan Eddie tentang makna cinta. Bahwa cinta tak akan pernah pudar dalam kehidupan manusia, meskipun orang tersebut telah tiada. Tentang betapa sebuah makna pernikahan yang semakin lama usia semakin memudar. Menyadarkan tentang cinta akan tetap ada dan mengokohkan, bahkan ketika kehidupan menghantamnya dengan menciptakan gersang yang menyerang.


Cinta, seperti hujan, bisa menyuburkan dari atas, menghujani pasangan dengan keceriaan. Tapi kadang-kadang, dalam panasnya kehidupan, cinta seolah kering di permukaan dan harus tergantung pada akarnya yang tertanam dalam untuk membuatnya tetap hidup. ---halaman 169

Perjalanan terakhir adalah perjalanan tentang kesadaran, bahwa kehidupan adalah tentang memberi makna, tentang kehidupan yang sesungguhnya. Eddie boleh merasa bahwa hidup baginya terasa stagnan. Ia menghabiskan masa tua dengan memperbaiki dan memastikan bianglala agar tetap berjalan sebagaimana mestinya. Ia tidak menyadari, bahwa upaya sekecil itu adalah untuk kebaikan yang jauh lebih besar, yang tidak pernah disadarinya. Pertemuan dengan orang kelima adalah reuni jiwa dengan jiwa lain yang bahkan tak pernah ditemuinya, yang berhasil memberikan kesadaran bahwa hidup adalah jalinan takdir yang di dalamnya berkaitan dengan pemberian makna.

Sesungguhnya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan bahwa tak ada sehelai pun daun yang berguguran tanpa izin dari Tuhan. 

Terima kasih atas makna indah tentang kehidupan yang telah disajikan Mitch Albom dalam novel ini.



Purple Eyes

Judul : Purple Eyes
Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Inari
Tebal Buku : 76 Halaman
ISBN : 9786027432208
Rating : 5 dari 5





Blurb:



"Karena terkadang, tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi."

Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.

Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.


Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

***




Sekarang dia dipanggil Lyre, 24 tahun, asisten Hades. Setelah 120 tahun kematiannya, Hades mempunyai tugas baru untuk dirinya, yakni menemani Hades ke dunia manusia untuk menuntaskan misi pembunuhan yang meresahkan di Trondheim, Norwegia. Orang-orang mati dibunuh secara sadis, lalu diambil levernya.

Lyre berubah nama menjadi Solveig, asisten Tuan Halstein yang tak lain adalah Hades sendiri. Halstein menarget Ivarr Amundsen sebagai bagian dari misinya, maka mereka datang ke rumah pria itu sebagai orang yang ingin memesan boneka troll untuk suvenir acara pagelaran teater. Ivarr Amundsen adalah saudara dari salah satu korban kekejian pembunuh itu. Adiknya Nikolai Amundsen meninggal dunia dan pemberitaan tentangnya diliput oleh media.


Pemuda di depan Solveig ini, sebaliknya, mirip sekali dengan patung lilin. Dipahat dengan sangat indah, halus di setiap inci tubuhnya. Namun tanpa rasa. ---halaman 38

Semenjak adiknya meninggal, hidup Ivarr tidak lagi sama. Pemuda itu hidup tanpa hati, seperti kehilangan emosi apa pun dalam dirinya. Ia tidak menangis, tidak pula bersedih atas kematian tragis adiknya. Ia seperti patung lilin yang hidup tanpa nyawa. Hades memiliki rencana yang melibatkan Ivarr. Namun, demi keberhasilan rencana itu, ia tidak memberitahukannya pada Solveig. Gadis itu hanya diminta oleh Hades untuk terus mendekat dan menemui sang pria. Singkat cerita, Hades ingin agar Ivarr jatuh cinta pada Solveig.


Dan yang terjadi adalah... Solveig yang justru jatuh hati pada Ivarr.

"Kau kesal padanya. Kenapa membuat puisi tentangnya?" ---halaman 42

Lalu ketika mereka diam-diam saling menyimpan rasa, Hades menjalankan skenarionya yang cukup kejam, tanpa melupakan jati dirinya yang sebenarnya bahwa dia adalah sang Dewa Kematian.

***

Membenci itu sangat melelahkan, bahkan lebih menguras emosi daripada merasa sedih. ---halaman  117

Quick review:


Fantasi, mitologi, Norwegia, ada "Harry Potter" dan "Jostein Gaarder" disinggung dikit di sana, Inggris era Victoria, surat yang ditulis dengan segel lilin, plot twist yang menawan, cerita yang indah, nyaris bersih dari typo dan kesalahan penulisan, ditulis oleh penulis lokal yang rasanya seperti membaca novel terjemahan.... Apa yang bisa menghalangiku untuk tidak memberikan bintang lima?

Setelah tertunda sekian lamanya (karena ternyata bukunya nyelip di dalam lemari pakaian), akhirnya saya berhasil membuat review yang lebih panjang.

Purple Eyes adalah novel fantasi yang dingin, sedingin atmosfer kota Trondheim yang menjadi setting cerita ini. Memadukan antara fantasi—dunia mitologi yang benar-benar kental, apalagi Nowegia adalah tuan rumahnya mitologi Nodik—berbalut roman, dan juga sedikit thriller menjadi bumbu yang pas. Tentang Hades yang menjalankan peran di sebuah tempat antara kehidupan dan kematian, dengan asistennya Lyre—atau yang di dunia manusia memilih nama Solveig—yang meninggal di era Victoria, menjalani sebuah misi menyelesaikan pembunuhan mengerikan di sebuah tempat yang biasanya tenang. Skenario dibuat, tapi ternyata romansa menjadi sedikit kendala dalam menjalankan rencana. 

Setting tempat ini begitu kuat, saya bisa merasakan aura musim dingin dan juga beberapa latar yang diambil dalam kisah ini, menambah kesan kuat romantisme yang ingin dibangun. Karakter yang kuat: sosok Ivarr yang dingin bagai mayat hidup tanpa ekspresi yang indra perasanya mati suri, Solveig yang polos dan kuno (aduh, kenapa dia mau ke bumi nggak riset dulu sih, ngaku dari Inggris tapi nggak kenal Harry Potter? Siapa yang nggak curiga coba =))), dan Hades yang unik tapi sayang sekali, bagi saya Hades-nya kurang kejam. Plot twist-nya, benar-benar tak diduga, namun cukup masuk akal dan pas.

Tentang pesan tersiratnya mengenai kematian... dalam banget. Terima kasih karena sudah diingatkan tanpa kerasa digurui.

“Umur 22 tahun atau 200 tahun tidak ada bedanya. Kalau kau sudah meraih semua yang kau inginkan, yang tersisa bagimu hanyalah beristirahat dengan tenang. Dan menjalani kehidupan yang lebih baik setelah kematian.” ---halaman 124

Salut banget sama Kak Prisca yang bisa membuat mitologi semanis novel-novel romantis tanpa melupakan kesan fantasinya. :)

Rumah Kertas

Judul : Rumah Kertas
Penulis : Carlos María Domínguez
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal Buku : 76 Halaman
ISBN : 9789791260626
Rating : 5 dari 5





Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka. ---halaman 26

Blurb:

Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi serpihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pencinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!

***

Novel tipis 76 halaman ini dibuka dengan sebuah paragraf yang mengesankan:

Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas Poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal. ---halaman 1

Begitulah cerita dimulai, dengan meninggalnya bu dosen Bluma yang begitu tragis. Ia adalah seorang dosen sastra di Universitas Cambridge yang mendedikasikan hidupnya dalam penelitian-penelitian seputar sastra. Bluma membaktikan hidupnya pada sastra, tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang akan merenggutnya dari dunia ini--begitu kata salah satu koleganya saat memberikan pidato perpisahan dalam misa kematiannya.

Tokoh pencerita dalam buku ini, seorang pria yang juga rekan sesama dosen Bluma, didaulat untuk menggantikan posisi Bluma di kampus, dan juga menggantikan jadwalnya mengajar. Suatu hari ia dikejutkan dengan kedatangan paket buku misterius dari pengirim berperangko Uruguay tanpa alamat penerima. Isi paketnya pun tak kalah misteriusnya, berisi buku dengan serpihan semen dan kerikil halus. Saat buku itu dibuka, terdapat sebuah nama yang tidak dikenalinya--padahal pria itu bisa dibilang mengenal Bluma luar-dalam.

Buat Carlos, novel ini telah menemaniku dari bandara ke bandara, demi mengenang hari-hari sinting di Monterrey itu. Sori kalau aku bertingkah sedikit mirip penyihir buatmu dan seperti sudah kubilang sedari awal: kau takkan pernah melakukan apa pun yang bisa mengejutkanku. 8 Juli 1996. ---halaman 5

Dari buku dan nama misterius itulah dimulai perjalanan si tokoh utama untuk mencari tahu rahasia apa yang terjadi di dalamnya.

Ia terbang ke Uruguay, menemui seorang pemilik buku klasik di sana, dan mencari tahu tentang Carlos Brauer. Tidak susah menemukan informasi seputar pria misterius itu, karena para kolektor buku mudah terlacak dari kecintaan mereka terhadap buku. Dan dari cerita-cerita orang yang mengenalinya itulah, informasi menyedihkan dan mengerikan--terutama bagi para pencinta buku--tentang jejak keberadaan Carlos Brauer disampaikan.

Buku ini ditutup dengan paragraf yang tidak kalah menakjubkannya:

Kuucapkan selamat tinggal kepada Bluma. Seraya gambar kapal dan ikannya mulai luntur, kuhaturkan hormat kepada Joseph sang adiluhung dan pulang kembali ke rumah. ---halaman 76

***

Kalau boleh saya pinjam separuh kalimat Borges: perpustakaan adalah pintu memasuki waktu. ---halaman 31

Saya sering mendengar bahwa buku bisa "membunuh" seseorang. Dulu, saya juga sering mendapatkan nasihat agar tidak membaca buku ini buku itu buku blablabla karena bisa membuat sesat, bikin ini, jadi begitu. Yah, untuk kasus pertama, saya masih berpikir bahwa seseorang bisa terbunuh atau gila karena buku, mungkin disebabkan oleh kontennya. Pun juga pada kasus kedua. Ini membuat saya berpikir bahwa tulisan--yang dituangkan dalam isi buku--mempunyai kekuatan untuk mengubah persepsi seseorang akan sesuatu. Atau setidaknya, bisa menambahkan sebuah paradigma baru bagi para pembacanya. 

Membaca buku ini, membuat saya terpukau dengan konten yang diangkat oleh penulis, selipan isu-isu yang disampaikan dengan caranya yang menakjubkan hingga rasanya kena di hati pembacanya. Buku yang bercerita tentang para pencinta buku, sehingga sebagai seorang pembaca yang juga sama-sama mencintai buku dengan caranya masing-masing, menjadi sangat relate dengan isi yang ada di dalamnya.




Pada akhirnya, ukuran perpustakaan itu ternyata memang penting. Kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi sok merendah soal jumlah koleksi yang tak seberapa. ---halaman 10

Sebagai pembaca kita saling memata-matai perpustakaan kawan satu sama lain, sekalipun hanya di waktu senggang. ---halaman 10

To be honest, saya suka melakukan itu dengan mengintip profil goodreads orang-orang dan melihat buku apa saja yang sudah mereka baca =))


Para tokohnya berbicara seputar perpustakaan dan koleksi buku mereka yang menakjubkan. Ada yang memperlakukan buku dengan sangat hati-hati dalam rak-rak tinggi, ada pula yang rak-rak buku mereka menginvasi bagian-bagian rumah lainnya. Ada yang merelakan garasi untuk menjadi tempat buku--bahkan kamar mandinya pun juga! Dan ia rela untuk tidak menggunakan air panas bahkan dalam puncak musim dingin sekalipun! Whoa.

Saya pribadi, memang termasuk ke dalam golongan penimbun buku. Namun, saya tidak termasuk yang telaten untuk memperlakukan buku dengan baik. Kalau malam sehabis membaca, tidak jarang bukunya ikut tidur sampai bagian sampulnya terlipat, atau terjatuh di lantai, masuk ke dalam kolong tempat tidur--bahkan saya sering merasa kehilangan buku dan setelah diselisik, eh ternyata ada di kolong :D--tapi, saya begitu tercengang dengan satu cerita di dalam novela ini yang membuat saya bereaksi, "NO TIDAK! JANGAAAN!" Sedemikian sentimentilnya hanya karena sebuah buku. Ini lebih sentimentil ketimbang mengetahui Bluma, si tokoh (manusia) meninggal. Tolong katakan saya masih waras, huhuhu.

Buku ini indah, singkat, dan padat, sehingga kontennya bisa dengan cepat diserap oleh pembaca. Plot twist-nya edan. Benar-benar edan. Membuat saya hangover untuk waktu yang lama. Saya jadi bisa memahami bagaimana perasaan si tokoh yang tengah diceritakan, sewaktu mengetahui bahwa kenangannya--dan kehidupannya--seputar buku menjadi tercerai berai hingga membuatnya frustrasi.

Ini bukan perkara sepele.  Mohon Anda pahami. Bayangkan untuk sejenak saja bahwa sepanjang hidup ini Anda mengawetkan serangkaian kenangan dari masa kecil Anda: sensasi, bau-bauan, lampu yang menyinari rambut ibu, petualangan pertama Anda di jalan, kesan-kesan yang kurang lebih amburadul dari hal-hal tak terpahami yang ketika disatukan pada akhirnya membentuk kenangan akan masa kanak-kanak anda, dengan terornya, suka citanya, dan emosi-emosinya. Sesudah itu, Anda punya daftar sendiri soal pertumbuhan Anda menjadi dewasa. Sekolah menghadirkan keteraturan. Guru-guru, teman-teman sekelas, petualangan pertama, dan Anda terus menumpuk kenangan akan semua pengalaman Anda hingga saat ini.

Lantas suatu hari, tak dinyana, Anda kehilangan urutan-urutan kenangan ini. Kenangannya sendiri tidak hilang, tapi juga tidak bisa ditemukan. Anda mencari-cari gambar istri pertama Anda, yang Anda dapati malah sepatu yang dimamah-mamah anjing di tempat pembuangan nun jauh di masa kecil. Anda mencari muka ibu, yang muncul malah orang tak menyenangkan di kantor kotapraja yang muram. Lenyaplah sejarah diri pribadi Anda. ---halaman 50

Lima bintang sempurna. Dan buku ini saya rekomendasikan untuk siapa saja yang menyukai buku dan perpustakaan.



Almost 10 Years Ago

Judul : Almost 10 Years Ago
Penulis : Trini 
Penerbit : Ice Cube
Tebal Buku : 336 Halaman
ISBN : 9789799107251
Rating : 5 dari 5



Blurb:

“Mana mungkin aku tertarik padanya? Dia membuatku takut.”
“Itulah masalahmu. Kau jarang telihat bahagia. Karena saat kau menyesapnya, kau langsung menguburnya secepat perasaan itu datang.”
“Kau sepertinya sangat ahli tentangku,” kataku datar.
“Jika kau tidak mau terlihat mendung sepanjang waktu, mulailah dengan hal kecil seperti berterima kasih saat orang memujimu, bukan malah menatapnya curiga.”


Jangan salahkan Anna Mollan yang selalu memandang sinis kehidupan. Sepuluh tahun lalu, umurnya baru sembilan. Di musim panas yang seharusnya menyenangkan, ibu dan kakaknya meninggal dalam kecelakaan. Ayahnya memang selamat, tapi mengalami gangguan kejiwaan. Itu sebabnya Anna tidak percaya lagi pada kebahagiaan, termasuk yang hadir dalam bentuk cinta. Tidak pada Joshua Madison—psikiater tampan yang menangani ayahnya, tidak juga pada Nolan Vervain—bassist keren yang tergila-gila padanya. Tidak pada siapa pun sampai pria misterius itu datang memberinya bunga setiap hari, lalu tiba-tiba menghilang saat Anna mulai membuka diri, dan kembali hanya untuk membuat hidup Anna terhempas sekali lagi. 


***

Setiap kali mengunjungi ayahnya di rumah sakit jiwa, Anna selalu mengubah gaya penampilannya. Sang ayah yang terkena gangguan jiwa setelah kecelakaan yang menewaskan istri dan anak lelakinya, merenggut kejiwaan pria itu. Ayanna, satu-satunya yang masih hidup dalam keluarga kecilnya, harus menghadapi semuanya sendirian. Terpaksa mendatangi sang ayah yang tidak sanggup untuk mengenali penampilannya yang selalu berubah-ubah. Pun begitu, Anna juga belum bisa mengenalkan dirinya sebagai Ayanna Mollan karena itu akan mengakibatkan ketidakstabilan jiwa sang ayah.

Joshua Madison, psikiater yang bertahun-tahun menangani ayahnya, hadir untuk membantu Anna. Ia adalah teman berbicara yang baik, dan juga seorang dokter yang profesional. Namun, meskipun kehadiran Joshua—dan juga Nolan—mewarnai kehidupan Anna, tidak lantas membuatnya percaya dengan yang namanya cinta. Kehidupannya yang berat dan rumit setelah kecelakaan itu, membentuk Anna menjadi sosok yang dingin dan tertutup.

"Jika aku membiarkanmu, entah apa yang mampu kau lakukan pada dirimu sendiri." Joshua meraih lenganku dan setengah menyeretku bersamanya. "Jadi, jangan harap kau bisa pergi begitu saja." ---halaman 8

Nolan Vervain, seorang bassis band bernama Underground. Ia mencintai Anna secara terang-terangan, selalu hadir di sisinya sejak lama. Bahkan, ia rela pindah tidak jauh dari tempat tinggal Anna. Nolan pula yang merekomendasikan Anna untuk bekerja di sebuah toko bunga bernama The Flo. Di flatnya, Anna tinggal berdua dengan Ellie. Bisa dibilang, Nolan dan Ellie-lah yang menemani hari-hari Anna yang datar, selain kesibukannya kuliah di bidang multimedia, bekerja di The Flo, dan mengunjungi ayahnya di rumah sakit jiwa.

Namun, perlakuan Anna yang tidak membalas perasaan cinta Nolan sebagaimana mestinya, membuat orang-orang di sekelilingnya resah. Tidak hanya Ellie saja yang berkali-kali menasihatinya, namun juga harus ibunya Nolan sendiri yang turun tangan.

"Aku tidak bisa memintamu untuk mencintai Nolan karena cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Itu sebabnya selama ini kuminta kau menjauhinya. Menyakitinya sekarang lebih baik daripada nanti. Tinggalkan dia sebelum dia menjadikanmu poros dalam hidupnya. Kurasa kau tau sendiri apa yang bisa terjadi pada seseorang jika poros hidupnya lenyap." ---halaman 86

Kehidupan Anna Molan pelan-pelan berubah dengan kehadiran seorang lelaki misterius yang mendatanginya di The Flo. Setiap hari pria bernama Danny itu memberinya bunga. Kehadirannya berhasil membuat pertahanan Anna dan kepercayaannya terhadap perasaan cinta berubah. Namun, seberapa jauh perasaannya pada Danny, pria itu seolah membentengi dirinya dengan tembok yang tinggi pada Anna. Meskipun begitu, kehadirannya dan perhatian yang ia berikan terus saja hadir, hingga membuat Anna bingung dengan perasaannya sendiri dan hubungan apa yang terjadi pada keduanya. 

Menyesuaikan diri dengan kekosongan yang pernah diisi seseorang bukan hal mudah. Bahkan bagiku rasanya butuh waktu seumur hidup. ---halaman 108

Dan ketika sebuah rahasia terkuak, kebahagiaan dalam kehidupan Anna kembali dipertaruhkan. Saya peringatkan agar kalian pembaca buku ini untuk bisa menyiapkan hati sekuat baja sebelum membacanya ._.)_

***

Ada yang pernah berkata padaku, "Saat masa-masa menyakitkan telah berlalu, suatu hari kita akan mengenangnya kembali dan menertawainya." ---halaman 102

(Penting sebelum masuk bahasan: Whoa nama tokohnya Joshua, whoa! Whoa, ada Ginny Weasley dan Luna Lovegood, whoa Potterhead! Sama dong kita!)



Saat awal-awal mencoba untuk menulis, saya meminta pendapat beberapa orang untuk merekomendasikan saya novel debut yang oke. Dan ternyata, tidak hanya satu orang saja yang merekomendasikan buku ini. Setelah berupaya mencari (cukup susah juga ternyata menemukan buku ini), akhirnya berjodoh juga. Namun saya sedikit menyesal karena menganggurkan buku ini cukup lama dan baru membacanya beberapa hari yang lalu.

Baru halaman empat belas, saya sudah menyukai novel ini, dan yakin kalau isinya akan keren. Dan selama membacanya, sampai titik terakhir, penilaian saya itu tidak salah. Novel ini bukan jenis novel yang bisa dibaca cepat. Plot utamanya tidak jauh dari seputar kejadian yang menimpa keluarga Mollan hampir sepuluh tahun yang lalu. Namun, banyak cerita-cerita lain yang sayang untuk dilewatkan. Itulah mengapa membaca buku ini tidak bisa cepat-cepat, harus dinikmati perlahan, karena ada banyak hal yang kudu dilahap pelan-pelan untuk bisa mendapatkan keindahannya.

Karakter yang ada di novel ini benar-benar terbangun dengan apik. Saya bisa mendapatkan dingin dan kelamnya Anna, baik dalam perilakunya, maupun pemikirannya terhadap cinta. Dan juga, bagaimana sikap Anna ketika ada seseorang yang pada akhirnya ia cintai. Itu benar-benar pas dengan penyebab mengapa karakter Anna bisa sampai demikian. Joshua yang berwibawa, lalu Nolan dan cinta platoniknya kepada Anna, dan Danny dengan kemisteriusannya (meskipun dari kemunculannya pertama kali, saya bisa menebak siapa dia). Karakter pendukung yang lain pun menempati porsi mereka dengan pas.

Sosok Anna ini, kelam sekali. Saya tidak yakin apakah jika berada di posisinya akan sanggup menjalani kehidupan tanpa mengalami gangguan kejiwaan. Huufffft, Anna. Huuuffftttt, Danny.

Satu hal yang patut diacungi jempol adalah cara penulis menyajikan setting cerita. Maaf-maaf saja kalau saya harus membandingkannya dengan Spring in London karya Ilana Tan. Jujur, saya jauh lebih mengena dengan setting London yang disajikan Trini ketimbang novel legendaris itu. Sosok Anna benar-benar hidup di sini, dengan segala kesehariannya dan kebiasaan sebagai warga lokal. Saya turut merasakan kehidupan warga London dari keseharian Anna yang bersepeda, bekerja dengan bunga-bunga, berada di taman, saat ia dan Danny menyusuri Sungai Thames, dan... menikmati sunrise dari Lloyd's Building. Gilaaaaa, kereeeennn....

Dari segi plot, aduh, saya teriak-teriak sendiri di halaman 284. Rasanya sudah lama nggak merasakan sensasi seperti ini saat membaca novel. Untuk plot lain, memang kesannya agak lambat, karena banyak hal yang diceritakan di sini yang tidak secara langsung berhubungan dengan plot utama, namun menunjang dan membangun cerita. Itulah tadi saya bilang kalau novel ini kurang cocok untuk dibaca fast paced. Saya tidak keberatan membacanya perlahan, bahkan jadi teman setia di tas selama beberapa hari (dan di beberapa tempat makan hihihi).


Dan penilaian saya seputar buku ini, selalu berkisar di antara bintang empat dan lima. Saya bulatkan menjadi lima, sisanya untuk penyemangat penulis agar melahirkan karya baru lainnya yang pastinya akan saya beli dan baca! Congratulation and good luck, Trini!


Dunia Maya

Judul : Dunia Maya (Misteri Dunia dan Cinta)
Penulis : Jostein Gaarder 
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Tebal Buku : 420 Halaman
ISBN : 9789794339220
Rating : 5 dari 5






"Adakah langkah yang bisa kita ambil berdua untuk berdamai dengan singkatnya kehidupan?" ---halaman 24

***

Blurb:

Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.

Di Pulau Taveuni, Fiji, sejumlah orang tanpa sengaja berkumpul. Setiap dari mereka diam-diam menyimpan luka di hati. John Spooke, seorang penulis Inggris, masih berduka akan kematian istrinya. Frank Andersen, seorang ahli biologi evolusioner dari Norwegia, kehilangan seorang anak dalam sebuah kecelakaan tragis dan berpisah dari istrinya.

Di antara mereka, tidak ada yang lebih menarik perhatian daripada Ana dan José, pasangan penuh teka-teki dari Spanyol. Mengapa mereka kerap saling melontarkan kalimat-kalimat ganjil tentang alam semesta dan Joker? Mengapa Ana begitu mirip dengan model lukisan Maja karya Goya yang terkenal? Dan siapakah Joker itu? Apa hubungannya dengan Maya, “ilusi-dunia”?


Novel Jostein Gaarder ini menyoroti gagasan-gagasan yang besar: penciptaan alam semesta, evolusi kehidupan di atas bumi, munculnya manusia, dan tujuan dari keberadaan manusia.

***

Novel ini adalah sebuah surat yang teramat panjang yang dibuat oleh Frank Andersen, untuk mantan istrinya yang bernama Vera. Dalam isi suratnya, Frank menceritakan tentang perjalanannya di pulau Taveuni setelah melakukan sebuah penelitian yang berhubungan dengan akademiknya--Frank adalah seorang ahli dalam bidang biologi evolusioner.

Dalam perjalanan di pulau tersebut, Frank bertemu dengan beberapa orang yang unik. Pertama, John yang seorang novelis asal Inggris yang sedang mencari bahan untuk novelnya selanjutnya. Lalu ada seorang gadis menarik bernama Laura, yang mempunyai ambisi untuk menyelamatkan bumi dengan caranya yang unik. Ia seorang heterochromia, yang mempunyai warna mata berbeda di antara kedua matanya. Seorang milyuner kaya, pengusaha minyak, yang juga ternyata menyimpan cerita tersendiri tentang hidupnya. Namun, di antara mereka semua, yang paling menarik perhatian Frank adalah sepasang suami istri bernama Ana dan Jose.


Yang pertama, adalah karena Frank merasa familiar dengan wajah Ana. Kedua, karena aktivitas kedua pasangan itu yang membuat Frank merasa penasaran. Ana memenangi semua permainan kartu. Mereka juga sering sekali, dalam kesempatan-kesempatan yang tak terduga, mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Spanyol. Kalimat itu seperti sebuah pecahan teka-teki yang berisi tentang banyak hal: misteri, dunia, hal-hal absurd yang bahkan sulit dicerna meski Frank mampu berbahasa Spanyol dengan baik, dan tentang Joker. Contohnya ini:


"Kita melahirkan dan dilahirkan oleh sebuah jiwa yang tak kita kenal. Ketika teka-teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa dapat terpecahkan, itulah giliran kita. Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa terbangun, itulah kita. Karena kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun. Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri. Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian ...." ---halaman 69

Walau Frank bisa mengerti bahasa mereka, tapi ia lebih memilih untuk pura-pura tidak mengerti, agar ia bisa mendengar dan memahami lebih banyak. Setiap ucapan yang baru disampaikan mereka, dicatat oleh Frank agar suatu saat misteri dan teka-teki itu dapat terpecahkan.


Pulau Taveuni adalah tempat yang menarik untuk dikunjungi. Dan ketertarikan itu pula yang menjadi magnet bagi Ana dan Jose yang merupakan pembuat film dokumenter, serta Frank yang seorang penulis. Di pulau inilah garis bujur nol derajat berada. Dua tahun lagi adalah waktu dimulainya periode milenium baru tahun 2000. Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama, sehingga mereka membidik tempat ini, yang merupakan tempat pertama yang akan mengalami pergantian tahun. 



Selain hasrat mencari "yang terakhir" dan "yang hilang", kita semua memiliki keinginan tidak sehat untuk menjadi "yang pertama". ---halaman 63

Suatu malam, sebelum mereka berpisah ke tempat lain, mereka mengadakan "konferensi" dadakan di meja saat makan malam. Sebenarnya ini lebih kepada sebuah percakapan tentang banyak hal: kehidupan, evolusi, bahkan sampai pembahasan tentang Maya.

Ketika mereka pada akhirnya kembali ke kehidupan masing-masing, kisah tentang hal-hal yang belum terjawab sebelum mereka bertemu di Pulau Taveuni dan apa saja yang terjadi di sana menunggu untuk diselesaikan. Misalnya, tentang John Spooke yang masih belum bisa merelakan kepergian istrinya, Sonja, yang telah meninggal dunia. Lalu, tentang hubungan antara Frank dan Vera yang tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Dan juga, tentang eksistensi Ana dan Jose yang menimbulkan berbagai macam spekulasi dan tanda tanya.



***

Aku adalah mata rantai terakhir dalam sebuah rantai pembelahan sel yang tidak terputuskan, mata rantai terakhir dari proses-proses biokimia yang kurang lebih telah diketahui, dan—dalam analisis terakhir—mata rantai terakhir dari biologi molekuler. Aku tersadar bahwa pada dasarnya, aku tidaklah berbeda dari organisme-organisme sederhana bersel satu yang merupakan nenek moyangku yang paling pertama. Singkatnya, aku tidaklah lebih dari sebuah koloni sel—dengan satu perbedaan penting bahwa sel-sel milikku lebih saling menyatu dibandingkan sel-sel yang terdapat dalam kultur bakteri, sel-selku lebih berbeda dan karenanya mampu melakukan pembagian tanggung jawab yang lebih radikal. ---halaman 50


Ini adalah sebuah novel yang cerdas dan brilian. Seperti biasanya, Jostein Gaarder mengusung tema filsafat dalam karya-karyanya. Dalam Dunia Maya, konsep filsafat itu dipadukan dengan pengetahuan seputar dunia biologi terutama dalam bidang biologi evolusioner. Gaarder menyuguhkan perenungan-perenungan ini dalam sebuah cerita berbalut kisah romansa dari beberapa tokohnya. Ada pasangan Frank dan Vera yang berpisah karena sebuah tragedi yang menimpa anak mereka. John yang belum bisa melupakan Sonja istrinya yang telah tiada. Ana dan Jose, pasangan misterius yang menyimpan rahasia-rahasia kehidupan dalam interaksi mereka.

Novel ini disajikan dalam bentuk surat yang panjang, terdiri dari beberapa bagian; yakni satu episode pertemuan Frank dengan para tokoh lainnya di Pulau Taveuni, solilokui John dengan tokek yang membahas tentang banyak hal seputar evolusi, kesadaran manusia, dan tentang kehidupan, cerita-cerita pasca pertemuan di Pulau Taveuni. Dan juga, bagaimana penyelesaian permasalahannya dengan Vera serta bagaimana rahasia tentang Maya terungkap dan tersingkap—yang ternyata berkorelasi dengan Ana dan Joker. Kerinduan tentang sosok Joker yang ada di Misteri Soliter terbayar di sini. Juga dengan kelima puluh dua misteri kartunya.

Boleh saya katakan bahwa buku ini sebenarnya jauh lebih berat kontennya ketimbang Dunia Sophie. Ulasan filsafat dan makna kehidupan dibahas dengan lebih mendalam dan mengena. Banyak tamparan keras bagi manusia yang otaknya lebih banyak lipatan ketimbang makhluk hidup lainnya. Dan itu seharusnya membuahkan kesadaran agar manusia menjadi lebih peka terhadap sesamanya.


Manusia mungkin adalah satu-satunya makhluk hidup di seluruh alam semesta yang memiliki kesadaran akan alam semesta. Maka, melindungi lingkungan hidup di planet ini bukanlah hanya sebuah tanggung jawab global, tetapi merupakan tanggung jawab kosmos. ---halaman 101

Saya senang dengan sosok Laura, dan juga pekerjaannya. Gadis ini bekerja sebagai seorang aktivis lingkungan hidup yang memiliki misi khusus untuk menggugat para pelaku kerusakan lingkungan dengan caranya sendiri. Saya suka dengan pasangan Ana-Jose, di mana plot twist seputar keunikan mereka—dengan mengucapkan kutipan berbahsa Spanyol itu—benar-benar mengagumkan. Saya juga suka Frank, dan bagaimana caranya untuk meyakinkan Vera untuk kembali padanya. 

Di luar itu semua, saya jadi semakin suka dan mengagumi Jostein Gaarder dengan semua kecerdasan dan kemampuannya mengolah konten berat semacam filsafat menjadi sebuah karya sastra yang kaya dengan kedalaman makna, plot twist, serta disajikan dalam bahasa yang lebih sederhana. Meskipun, membaca Dunia Maya ini bisa dikatakan jauh dari kata "sederhana". Memusingkan? Ya. Bahkan saya sempat berhenti lama dari membaca novel ini, sampai pada akhirnya membeli buku cetak dengan kover terbarunya dari Mizan.

Oh ya, terlepas dari rasa terima kasih yang begitu mendalam kepada penerbit yang mau menerbitkan karya-karya Gaarder, saya masih mau "menggugat" keputusan mengganti judul pada novel ini, dengan menambahkan kata "dunia" di depannya. Hmmm, coba bayangkan apa yang terlihtas saat mendengarkan kata "Dunia Maya"? Pasti segala sesuatu yang berhubungan dengan "internet" dan sejenisnya. Padahal, novel ini jauh dari makna tersebut.

Secara terpisah, saya membuat postingan khusus untuk menuliskan kutipan novel Dunia Maya di sini.


Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)