Judul : Karnak Cafee
Pengarang : Najib Mahfudz
Penerjemah : Happy Susanto
Penerbit : Alvabet Sastra
ISBN : 9789793064550
Tebal Buku : 180 Halaman
Rating : 3 dari 5
Tokoh utama dalam novel ini, si "aku" bisa dibilang sebagai orang yang baru saja bergabung dengan komunitas Karnah Cafee, dalam satu kunjungan tidak sengajanya ke pasar saat sedang memperbaiki jam. Cafee di sana tidak hanya sekadar tempat minum kopi, tapi lebih dari itu, ada "keluarga" yang terbentuk di mana anggotanya saling mengakrabkan diri dan menceritakan kehidupan yang tengah berlangsung di antara mereka. "Aku" mulai terlibat di sini meskipun dia menikmati perannya sebagai seorang pengamat dan pendengar.
"Aku" cukup terkejut karena pemilik cafee ini adalah seorang wanita yang masih cantik setelah melewati masa keemasannya sebagai seorang penari terkenal pada zamannya, Qurunfula. Meskipun sudah tua, nampaknya kharisma Qurunfula bisa dikatakan belum padam. Pengagumnya masih ada, bahkan ada yang ia rekrut sebagai pelayan di cafeenya. Ada pula yang bahkan masih mengejar-ngejar dirinya hingga sekarang, seorang direktur humas bernama Zainal Abidin.
Qurunfula menyukai seorang pemuda, Hilmi Hamada yang merupakan anak revolusi. Hilmi Hamada bersama teman-temannya sering mengunjungi tempat ini tidak hanya sekadar untuk minum kopi, melainkan membagi semangat revolusi kepada penghuni lainnya. Tidak hanya Hilmi Hamada, temannya Ismail al-Syekh dan juga Zainab Diyab.
Suatu hari, mereka menghilang dalam waktu yang lama dari Karnak Cafee membuat pelanggan tetap lainnya bertanya-tanya tentang keberadaan mereka. Terutama Qurunfula, yang merasa begitu menderita. Lalu tak lama mereka kembali, akan tetapi mereka tidak pernah menjadi seperti sebelumnya. Peristiwa itu tidak hanya berlangsung sekali saja. Mereka kembali hilang dan muncul untuk beberapa masa, dan suatu saat, Hilmi Hamada tidak ikut kembali kepada mereka karena dikabarkan tewas di dalam penjara karena dituduh komunis.
Tokoh "aku" terlibat pembicaraan dengan Ismail di mana dia menceritakan tentang bagaimana kondisinya selama di penjara. Seseorang bernama Khalid Sofwan yang memimpin pergerakan itu dan menuduh mereka sebagai bagian dari komunis atau Ikhwanul Muslimin. Hilmi Hamada berkhianat kepada mereka, sementara dia bisa memastikan kalau Zainab tidak termasuk bagian dari pengkhianat itu. Pada awalnya, mereka (Ismail dan Zainab) memiliki hubungan lebih dari sekadar pertemanan yang berlangsung sejak kecil. Namun kondisi ini yang membuat mereka menjadi anak-anak Revolusi membuat hubungan itu menjadi rumit. Akhirnya dia pun dipaksa untuk menjadi mata-mata dan memata-matai satu sama lain, termasuk Zainab juga. Tawaran tersebut memang menggiurkan secara materi, namun Zainab dan Ismail merasa bersalah terhadap nurani mereka sendiri.
Dalam kesempatan yang lain, "aku" juga berbicara dan mendengar penuturan Zainab. Zainab menuturkan bagaimana keadaannya saat di penjara apalagi saat mendapatkan pelecehan seksual. Inilah yang membuatnya merasa tidak pantas dan harus berpisah dari Ismail.
Ada kutipan pada dialog antara "aku" dan "Ismail" yang memilukan berikut ini:
"Jadi sudah bubar?""Aku kira tidak...""Benarkah?""Kami berdua sakit. Paling tidak itu terjadi padaku, dan aku tahu alasannya mengapa. Ia juga sakit. Suatu hari cinta kami bakal tumbuh kembali; atau sebaliknya mati untuk kebaikan. Atas dasar itulah, kami masih saling menunggu, dan itu tidak membosankan bagi kami berdua."
Jadi kemudian mereka berdua saling menunggu. Tapi kemudian, siapa yang ditunggu?
***
Saya benar-benar menikmati membaca novel ini, tidak seperti saat membaca novel-novel berlatar sejarah sebelumnya. Penulis benar-benar membuat pembaca merasa nyaman dengan setting dan sudut pandang "orang luar" dalam menyajikan ceritanya. Dan ini sebenarnya bukan buku Naguib Mahfouz, dulu banget sempat baca salah satu karyanya tapi saya lupa.
Karnak Cafee bercerita tentang pergolakan di Mesir pada tahun 60-an di mana pihak komunis dan ikhwanul muslimin (kalau saya nggak salah nangkap isi buku ini). Sudut pandang penceritaan sendiri adalah dari seorang yang tanpa disengaja masuk ke dalam cafee dan berkenalan dengan pemilik dan pelanggan tetap tempat ini. Dari sinilah, sebuah tempat minum kopi, revolusi dibicarakan. Si orang pertama bukanlah lakon utama yang bergerak dalam ranah revolusi, dia hanya seorang pengamat dan pendengar yang baik. Dari hasil mendengarkannya itulah, beragam kisah seputar pemberontakan, situasi dalam penjara, dan beberapa kejadian diceritakan. Meskipun ada beberapa bagian yang saya nggak mudeng (apalagi saya buta sejarah pergolakan Mesir), tapi buku ini nggak terlalu membingungkan. Dan meskipun sebenarnya saya juga buta banget soal ikhwanul muslimin (padahal saya punya bukunya Hasan al Bana lho tapi lupa ditaroh di mana), tapi masih oke kok baca buku ini. Mungkin karena sudut pandang orang luar yang dipakai itu kali yah.
Jadi, novelnya cukup bagus. Ada kemungkinan saya untuk baca kembali di lain waktu.
recommended ga sih?
ReplyDeleteWooclip movie