Judul : Di Tanah Lada
Pengarang : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020318967
Tebal : 244 Halaman
Rating : 4 dari 5
"Aku tidak mengerti. Kalau seseorang mencintai seseorang, seharusnya seseorang itu tahu kalau seseorang mencintai mereka. Karena, seseorang yang mencintai seseorang itu, harus menunjukkan kalau seseorang mencintai seseorang. Itu kata Mama."
Ava adalah seorang anak kecil berusia enam tahun. Ava tergolong anak yang memiliki kecerdasan linguistik. Di ulangtahunnya yang ketiga, Kakek Kia memberinya hadiah berupa kamus Bahasa Indonesia. Sejak ia mulai bisa membaca, Ava kerap membaca kamus untuk mencari tahu istilah-istilah yang tidak dipahami oleh anak seusianya. Ava tinggal dalam keluarga broken home. Ayahnya kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tak jarang Ava dan ibunya dipukul oleh sang ayah.
Cerita bermula ketika Ava dan orangtuanya pindah rumah ke Rusun Nero, rusun di mana tidak jauh dari tempatnya berada, terdapat tempat perjudian. Ayahnya gemar berjudi. Saat Kakek Kia meninggal, rumah dan harta dijual untuk keperluan berjudi ayahnya. Di rusun yang sederhana ini, hanya ada satu kamar yang diisi oleh ayah dan ibunya. Lalu Ava tidur di mana?
Saat orangtuanya kembali bertengkar, Ava diberi uang untuk mencari makan. Maka ia pergi ke sebuah warung makan dan bertemu dengan lelaki pengamen bernama P, berusia sepuluh tahun, dan gemar membawa gitar kecil ke manapun dia berjalan. Dari sanalah pertemanan kedua anak kecil ini bermula. Ternyata, P pun memiliki kisah yang sama dengan Ava, bahkan bisa dibilang lebih parah. Ayahnya gemar memukuli P, dan tidak segan memukulnya dengan setrika panas.
Hari pertama tinggal di Rusun Nero, Ava terpaksa harus tidur di dalam kamar mandi. Hari kedua, ia tidur di dalam koper. Saat itulah muncul kemarahan sang ayah yang membuatnya mengusir Ava dan ibunya. Mereka berdua melarikan diri ke hotel.
Di Rusun Nero, P sering bertemu dengan Kak Suri, yang tinggal di lantai empat. Ava dikenalkan juga ke Kak Suri yang sering mengajarkan Bahasa Inggris pada P. Selain itu, P mengenal seorang pemuda yang memberinya gitar dan sering membayarkan makan, yaitu Kak Alri. Ava juga punya om dan tante yang baik meskipun ayahnya jahat.
Konflik mulai meruncing saat Ava diajak masuk ke rumah P yang ternyata ada di depan rumahnya. Di sana, ternyata Ava tahu bahwa kehidupan P jauh lebih parah ketimbang apa yang menimpa Ava. P tinggal di kamar kardus, yaitu di satu sudut dapur di bawah meja besar yang tertutup kardus. Saat sedang berada di sana, rupanya sang ayah mengetahuinya dan murka. P disiksa dengan menggunakan setrika.
P dilarikan ke rumah sakit oleh Kak Suri. Setelah keluar dari rumah sakit, kedua anak ini memutuskan untuk melarikan diri, dan tempat pelarian diri yang dituju oleh Ava dan P adalah rumah Nenek Isma, nenek Ava yang berada di Bandar Lampung. Mereka menjual handphonenya untuk membiayai perjalanan ke sana. Di malam harinya, keduanya bertemu dengan bapak tukang sate yang berbaik hati mau menampung mereka di rumahnya, dan tetangganya yang juga berbaik hati mau memberikan sepeda bekas keponakannya. Pagi hari, mereka memutuskan melarikan diri karena mendengar kalau mereka akan dilaporkan ke kantor polisi. P dan Ava tidak mau dipenjara, oleh karenanya mereka membuat surat ucapan terima kasih kepada bapak dan ibu tukang sate yang baik hati.
Saat di terminal, ternyata mereka ketemu dengan Kak Alri. Kak Alri sudah menduga kalau akan menemukan P dan Ava di terminal. Dengan berbaik hati, Kak Alri menawarkan untuk mengantar mereka ke rumah Nenek Isma. Mereka pergi ke Bandar Lampung dengan menggunakan mobil Kak Alri.
Apakah cerita ini akan berakhir dengan bahagia? Saya rasa, bahagia pun memiliki sudut pandangnya masing-masing. Dan alangkah lebih menyenangkan kalau dibaca sendiri bukunya. Kita akan terhanyut oleh pemikiran anak kecil dan bagaimana serunya isi kepala mereka, yang mengajarkan banyak hal pada orang-orang dewasa. Sebuah pelajaran berharga tentang cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan.
***
Sangat menarik membaca cerita dengan sudut pandang anak kecil berusia enam tahun. Ini mengingatkan saya bahwa betapa berisiknya isi kepala anak kecil yang dipenuhi oleh rasa keingintahuan mereka terhadap segala sesuatu. Anak kecil yang benar-benar polos, memahami permasalahan pelik yang menimpanya dengan cara mereka sendiri. Saya jadi pengin kembali ke masa itu di mana kekhawatiran dan ketakutan yang membebani hidup tidak dimiliki oleh anak-anak tesebut. Bagaimana mereka memandang segala permasalahan orang dewasa dalam sudut pandang mereka sendiri.
Saya berkali-kali terenyuh oleh kisah ini. Ternyata memang benar, bahwa anak kecil mengajarkan kepada orang dewasa banyak sekali pelajaran yang terlupa. Entah itu karena banyaknya permasalahan yang melingkupi kehidupan orang dewasa, maupun banyaknya beban hidup yang harus orang dewasa tanggung. Padahal, anak kecil hanyalah membutuhkan ribuan kasih sayang setiap saatnya, dan di usia keemasan otaknya itu perlu diisi dengan hal-hal baik lainnya. Yang membuat saya sedih membaca novel ini adalah... apakah saya akan sanggup menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak saya kelak nantinya? Sanggup memberikan rumah yang nyaman untuk mereka, keluarga yang hangat dan harmonis, sehingga tidak perlu merasakan bagaimana peliknya kehidupan Ava dan P. Yah memang, pada akhirnya, segala yang terjadi pada kehidupan anak kecil memang kembali berasal dari perlakuan orang dewasa kepada mereka.
0 komentar:
Post a Comment