Burung-Burung Rantau

Judul : Burung-Burung Rantau
Pengarang : YB Mangunwijaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020307732
Tebal : 406 halaman
Rating : 5 dari 5


Novel ini berkisah tentang keluarga Purnawirawan Letnan Jendral Wiranto. Istrinya Ibu Yuniati yang tidak peka dengan humor, dan kelima anaknya dengan karakteristik dan jalan hidup mereka masing-masing. Anak pertama, Anggraini atau Anggi, seorang janda sukses yang mengembangkan bisnisnya melalui wirausaha dan sukses, kaya raya. Anak kedua mereka, Bowo, adalah seorang ilmuwan fisika yang bekerja pada Laboratorium CERN di Swiss. Anak ketiga, Letkol Penerbang Candra, berkarir sebagai seorang tentara, meneruskan jejak ayahnya, dan menggeluti dunia penerbangan. Sementara Marineti Dianwidhi atau Neti (di mana Neti inilah penggerak dalam cerita ini), adalah seorang sarjana Antropologi yang bergulat dalam dunia sosial, menganggap dirinya seorang sosiowati, hidup bebas menurut versinya, dan senang berkumpul dengan masyarakat kelas bawah. Adiknya, Edi, meninggal dunia akibat kecanduan narkoba. 

Neti yang begitu akrab dengan sang adik adalah orang yang paling terpukul akan kepergiannya. Neti mencurahkan hidupnya bergelut dengan kemiskinan ibukota, sebagai pelampiasan atas ketidakmampuannya menyelamatkan sang adik. 

Marineti berkawan dengan anak-anak kolong jembatan, mendedikasikan hidupnya sebagai guru bagi anak-anak kampung miskin kumuh di sana. Mengajar baca dan menulis, serta berharap akan memberikan warna dan mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik lagi.

Suatu hari, Bowo kakaknya pulang ke Jakarta dengan membawa seorang calon istri. Namanya Agatha, dari Yunani. Kehadiran Agatha dengan mudah dapat diterima oleh keluarga Letjen Wiranto. Begitu pula dengan Neti. Bahkan, Agatha dengan senang hati menerima ajakan Neti untuk mengajar anak-anak di kolong jembatan. Suatu hari ketika keluarga mereka mengantarkan Agatha dan Bowo untuk berlibur ke Pulau Banda, Neti bertemu dengan seorang ibu yang baru saja mengantar kepergian suaminya untuk pergi ke Arab mencari adiknya yang menjadi TKW dan memaksanya untuk pulang. Jiwa Neti yang lembut begitu saja terenyuh dengan cerita tersebut dan menggerakkan hatinya untuk mengantarkan ibu itu kembali ke rumahnya yang berada di Banten.

Begitulah Neti, dengan kehidupan serta jiwanya yang bebas. Neti pun mengabaikan nasehat ibunya yang terus-menerus menganjurkannya untuk menikah. Bagi Neti, hidupnya sudah menyenangkan, dan dia termasuk gadis yang tidak memikirkan hal-hal tersebut. Cinta dan pernikahan adalah kosakata yang begitu jauh dari kehidupan Neti.

Agatha dan Bowo memutuskan untuk menikah di Yunani. Keluarga ini menyikapinya dengan karakteristik mereka masing-masing. Anggi, merasa keberatan karena menurutnya, harus dilaksanakan juga upacara pernikahan di Jakarta atau istilahnya 'memetik pengantin'. Karena baginya, keluarga Letjen Wiranto yang terpandang (bahkan lebih terpandang dari keluarga mempelai wanita) harus dihormati. Namun Bowo adiknya menolak. Bowo adalah tipikal seorang pemuda yang merasa kecewa dengan bangsanya, tidak menganggap Jakarta sebagai tempat tinggalnya. Bowo bersikeras, kalaupun ada pesta pernikahan di Indonesia, tempatnya adalah di Pulau Banda, bukan di Jakarta. Seorang ahli fisika yang berkutat dengan kehidupan akademis serta menghabiskan hidupnya di laboratorium itu memiliki pandangan hidupnya sendiri. Sementara Letkol Candra, kehidupannya adalah 'terbang'. Dia bebas dengan aranya sendiri pula namun tetap patuh pada atasan. Dan Neti sendiri, dia sih santai saja, justru dengan merayakan pesta pernikahan di Yunani bisa membuat dirinya ikut berlibur di tanah para filsuf tersebut. Akhirnya toh pernikahan mereka dilaksanakan di Yunani juga. Dan Anggi pun harus mengalah karena dia juga dibumbui kepentingan politisnya untuk melebarkan sayap dagang di negeri kepulauan nun jauh di sana.

Akhirnya mereka pergi juga ke Yunani. Secara mengejutkan, di sana Neti bertemu dengan seorang pemuda yang pernah ditemuinya pada pertemuan lembaga sosial se-Asia di India. Pria dari kasta Brahmana tersebut bernama Krish. Dan Neti yang semula apatis dengan hubungan percintaan pun luluh dan jatuh hati kepada pria tersebut. Mereka bertiga--dengan Candra turut bersama--menyusuri sejarah peradaban Yunani dengan mengunjungi beberapa tempat penting, sambil mendiskusikan berbagai macam hal. Krish yang tengah mendalami bioteknologi pun ikut menceritakan bagaimana visi yang diembannya dalam masalah kemanusiaan dan menuntaskan kemiskinan di negaranya dituangkan dalam ilmu yang tengah didalaminya tentang bioteknologi.

Nah, apakah pada akhirnya Neti akan bersama dengan pemuda India yang berhasil memesona dirinya dengan rasa kemanusiaan serta keintelektualannya? Apakah bisa disamakan hubungan Neti-Krish dengan Bowo kakaknya dan Agatha? Nggak mau spoiler saya, baca saja sendiri karena ini benar-benar menarik ;)


Kisah ini begitu menarik. Bagaimana tidak, cakupan bahasan yang diangkat oleh Romo Mangun cukup banyak dan mendetail. Mulai dari mengangkat latar belakang akademis Neti yang mendalami antropologi, tentang fisika nuklir yang digeluti Bowo, masalah bioteknologi, sejarah filsafat Yunani, dan masih banyak lagi. Belum lagi, gaya penulisan Romo Mangun yang tidak bisa tidak membuat decak kagum pembacanya, terutama saya. Oh ya kisahnya memang sarat konflik fisik, lebih banyak menguak konflik batin para tokoh-tokohnya. Bagaimana di sini digambarkan bahwa sosok Letjen Wiranto dan istrinya merupakan induk burung yang menelurkan jenis-jenis burung yang berbeda. Di mana anak-anaknya merupakan perlambangan burung-burung rantau yang pergi bermigrasi keliling dunia. Dan ada saatnya mereka akan kembali, sesuai dengan pengelanaan mereka masing-masing.

Saya suka deskripsi Romo Mangun yang tidak biasa. Seperti pada halaman pembuka:

"Letnan Jenderal Wiranto, sosok pohon nangka kekar kokoh yang rupa-rupanya asih emoh menerima tanda status mapan dengan perut gendut, namun membiarkan rambutnya abu-abu bjak meski bertubi-tubi didesak anak putrinya, Neti." (Halaman 1)

Atau di sini:

"Untunglah Letjen papinya tahu dan peka humor; humornya tidak berderai atau kocak, tetapi kering seperti biskuit marie atau kaasstengel yang tidak manis, tetapi justru asin, atau lebih tepatnya seperti kerupuk singkong; ya, Neti suka kaasstengel, entah yang asli asin keju maupun asin garam dan campuran misterius lain yang diakukan sebagai keju." (Halaman 7)

Jujur saya lemah sama deskripsi manis seperti itu *meleleh*

Nah balik lagi ke isinya, saya suka sekali karena banyak makna filosofis yang bisa digali dari novel ini. Seperti misalnya ketika berbicara tentang sejarah peradaban Yunani, tentang studi S2 Antropologi yang hendak ditempuh Neti, tentang kegiatannya sebagai sosiowati di kolong jembatan. Apalagi sewaktu Krish menceritakan tentang negerinya, di mana penggambaran kemiskinan di India mengingatkan saya pada film peraih Oscar, Slumdog Millionaire. Benar-benar mengagumkan sekaligus membuat miris. Apalagi saat mengaitkan tentang konsep ketuhanan dengan realita perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Novel ini, menyuguhkan kisah cinta tanah air, globalisasi, dengan caranya tersendiri. Bagi yang kurang suka deskripsi atau narasi tebal, mungkin akan bosan membaca novel ini. Tapi untuk yang suka menyelami kedalaman maknanya, saya yakin akan banyak menggali pemahaman serta banyak makna yang mendalam.

1 komentar:

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)