Rule of Thirds

Judul : Rule of Thirds
Penulis : Suarcani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 288 Halaman
Cetakan pertama, Desember 2016
ISBN : 9786020334752
Rating : 3 dari 5




Blurb:

Apalagi yang paling menyakitkan dalam pengkhianatan selain menjadi yang tidak terpilih?

Demi mengejar cinta Esa, Ladys meninggalkan karier sebagai fotografer fashion di Seoul dan pulang ke Bali. Pulau yang menyimpan kenangan buruk akan harum melati di masa lalu dan pada akhirnya menjadi tempat ia menangis. 

Dias memendam banyak hal di balik sifat pendiamnya. Bakat terkekang dalam pekerjaannya sebagai asisten fotografer, luka dan kerinduan dari kebiasaannya memakan apel Fuji setiap hari, juga kemarahan atas cerita kelam tentang orang-orang yang meninggalkannya di masa lalu. Hingga dia bertemu Ladys dan berusaha percaya bahwa cinta akan selalu memaafkan. 

Ini kisah tentang para juru foto yang mengejar mimpi dan cinta. Tentang pertemuan tak terduga yang bisa mengubah cara mereka memandang dunia. Tentang pengkhianatan yang akhirnya memaksa mereka percaya bahwa hidup kadang tidak seindah foto yang terekam setelah mereka menekan tombol shutter.

***

Ladys pergi ke Bali untuk mengejar cintanya pada Esa yang berbuah ujung pahit. Esa berselingkuh, bahkan akan menikah sebentar lagi. Di Bali, selain om yang memiliki studio foto dan sering berkelana ke luar negeri, Ladys tidak punya siapa-siapa lagi. Untung saja dia yang pekerjaannya di Korea dulu sebagai fotografer fashion, sekarang bekerja pada studio foto milik omnya itu. Namun, kali ini dia harus beralih menjadi fotografer pre-wedding

Di sana dia bertemu dengan Dias, seorang pekerja di studio foto itu, seorang pria yang mempunyai bakat fotografi tapi harus berpuas diri hanya menjadi asisten saja. Dias adalah sosok pria yang menyebalkan, karena terus-terusan mengkritik teknik pengambilan gambar Ladys. Sementara, Ladys yang merasa harga dirinya tersentil karena ulah Dias itu, tidak mau terima kalau dia dikritik oleh seseorang yang tidak profesional. Karena, Dias bahkan tidak punya kamera dan kalau dia bisa memotret, tentu dia tidak hanya sekadar diberikan pekerjaan sebagai asisten fotografer yang tugasnya mengangkat-angkat barang.

Namun, ternyata kehidupan keduanya yang beririsan dengan kisah masa lalu yang sama, membuat kedekatan demi kedekatan terjalin. Hanya saja, banyak hal yang harus dilakukan untuk membuktikan cinta, atau tentang berdamai dengan masa lalu.

***

Rule of Thirds adalah novel kedua penulis yang saya baca setelah sebelumnya saya cukup menikmati The Stardust Catcher. Jika The Stardust Catcher mengambil genre fantasy young adult, Rule of Thirds adalah cerita roman kontemporer berlabel Metropop. (Saya pernah membahas tentang label Metropop di sini, dan sedikit mengulas Rule of Thirds sebagai novel rekomendasi di postingan itu.)

Satu kesamaan antara novel ini dengan novel lain karya penulis adalah pengambilan setting pulau Bali sebagai tempat jalannya cerita. Bedanya, di Rule of Thirds, setting tempat lebih menonjol, dengan menjelaskan detail lokasi-lokasi menarik di sana. Sebagai orang yang tidak pernah menginjakkan kaki di Bali, tentu informasi ini menarik karena sedikit banyak jadi menambahkan wishlist tempat yang harus dikunjungi saat ke Bali. Dan setting tempat ini, menyatu dengan jalinan cerita. Konsep pekerjaan sebagai fotografer pre-wedding memang memberikan ruang yang besar untuk penulis gali, baik tentang lokasi pengambilan gambar, teknik-teknik seputar fotografi, bahkan dinamika dunia kerjanya. Banyak hal yang menonjol dan berhasil digali serta dieksekusi dengan baik oleh penulis di dalam novelnya.

Untuk jalan cerita sendiri, saya cukup klik dengan kisah yang disuguhkan oleh Dias dan Ladys. Meskipun, banyaknya kesamaan dari kedua karakter itu (tentang cerita di balik ketergantungan mereka, masing-masing dengan apel Fuji dan bunga melati), garis besar cerita percintaan mereka dengan orang lain, dan ada beberapa poin lagi, membuat kebetulan demi kebetulan itu terlalu banyak. Namun, beberapa bagian menyuguhkan kisah yang rasional, kok. Dalam artian, kisah itu yang paling mungkin dilakukan oleh orang-orang yang mengalami kejadian seperti yang dialami tokohnya (walau sebenarnya itu tidak rasional). Contohnya, masih mengharapkan orang yang sama meskipun sudah jelas kalau dia berkali-kali dikhanati. Ha... itu bagian yang menyebalkan karena menyentil sekali.

Novel ini disajikan dalam dua sudut pandang, yakni dari Ladys dan Dias. Ada beberapa pilihan yang dilakukan seorang penulis untuk menandai perpindahan sudut pandang, yang paling sering adalah menggunakan pembeda kata ganti orang. Ada pula yang menggunakan perbedaan font style. Ada yang cukup percaya diri dengan menggunakan nama si tokoh di depan bagiannya, tanpa memberikan pembeda lainnya dan hanya mengandalkan rasa yang membedakan antara tokoh-tokohnya. Di sini, Ladys menggunakan "saya" sementara Dias dengan "aku"-nya. Secara umum, bagi saya penanda ini cukup berhasil karena hanya dengan menemukan kata ganti orangnya saja, sudah bisa mengetahui siapa yang sedang berbicara. Namun, penggunaan kata "saya" sebagai narasi yang berbicara, bagi saya justru memberikan jarak antara karakter dan tokohnya. Karena, bahasa narasi kan merupakan jembatan antara karakter dan pembaca, dan biasanya disajikan dalam bahasa yang nonformal. Beda misalnya dengan resensi yang saya buat ini, yang memang sengaja saya buat dengan sudut pandang "saya" demi menjaga kesopanan dengan para pembaca. (Kalau saya menuliskan pakai "aku" agak gimanaaa gitu. Atau pakai "gue", ntar dikira sok asik, hehe.) Nah, saya jadi teringat dengan salah satu murid les saya, yang juga menggunakan "saya" sebagai kata sapa, ke teman--lho ya bukan ke guru--sebayanya yang semuanya ber-"aku-kamu". Saya yang mendengarkannya jadi aneh, hehehe. Mungkin, selain karakter Ladys yang agak menyebalkan, penggunaan kata sapa di sisi Ladys itu juga yang menyebabkan Ladys dan saya berjarak.

Ada beberapa kesalahan penulisan di dalam novel ini. (Saya masih menandainya, kalau mau boleh saya beritahu di bagian mana saja kesalahannya.) Yang paling fatal menurut saya adalah salah menuliskan nama. Tertulis di sini tentang seorang fotografer pre-wedding terkenal itu Deira Bachir, padahal namanya Diera Bachir. Saya menyukai karyanya, sehingga sudah kenal dari lama dan tahu sepak terjang fotografer ini dalam menangani berbagai macam konsep pre-wedding.

Meskipun begitu, secara keseluruhan saya suka dengan novel ini. Ada beberapa hal yang berkesan. Pertama, saya membaca adegan di buku ini, saat—mudah-mudahan ini tidak spoiler—salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Rasanya seperti terkoneksi begitu saja. Dan saya merasakan feeling yang sama meskipun tidak sekuat yang diceritakan di sini tentang salah satu kisah tokohnya. Kalau dikatakan tentang budaya Bali yang menjadi bumbu cerita ini, saya cukup mendapatkan kesannya di bagian yang ini. Saya bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Ladys yang wajahnya kekoreaan mengenakan kebaya, jarik ikat, dan bunga di telinga. Wah, cantik sekali.

Kedua, kisahnya hanya tentang percintaan, tidak hanya tentang kisah cinta karakter metropolitan, karena ternyata genre Metropop tidak melulu menyorot tentang itu. Lagi pula, senang rasanya karena dari novel ini, saya jadi tahu dan paham bahwa label Metropop tidak hanya berfokus setting pada kota Jakarta semata. Kisah ini tidak hanya bercerita tentang kehidupan dan cinta, melainkan banyak unsur fotografi yang termuat di sana.

Ketiga, alurnya tidak mudah tertebak, banyak kisah tak terduga yang manis untuk disimak.

Secara keseluruhan, novel ini bagus dan menarik. Banyak hal yang bisa didapatkan pembaca saat menikmatinya.

Pada akhirnya, aku percaya bahwa hidup bukan hanya mengenai memiliki sesuatu, tetapi lebih pada menghargai sesuatu. ---halaman 241

0 komentar:

Post a Comment

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)