[#BBIHUT6] Mengapa Bukunya Diberi Rating Rendah?

Saya memulai petualangan membaca di tahun ini dengan pengalaman yang menyenangkan. Pada bulan Januari, saya membaca buku-buku berbintang tiga dan empat. Barangkali, itu merupakan pertanda baik bahwa saya akan menemukan banyak buku bagus yang saya baca di tahun ini. Namun rasanya petualangan itu tidak asyik kalau tidak menemukan tantangan, benar begitu? 

Dari petualangan membaca buku tersebut, saya mendapatkan buku-buku yang berbintang rendah. Bukan berarti buku itu tidak bagus, hanya saja, tidak memenuhi ekspektasi dan standar saya. Karena, bagus atau tidaknya sebuah buku itu relatif. Dan saya percaya, sebuah buku pasti akan menemukan pembacanya. Jadi, jika bagi saya buku-buku itu berbintang satu atau dua, belum tentu ketika dibaca oleh orang lain akan bernasib sama.

Source pict, edited by me


Saya mau mengemukakan alasan pribadi dulu kenapa buku-buku itu bisa mendapat sambutan kurang menyenangkan oleh saya. Alasan tersebut di antaranya adalah:


1. Kelogisan

Sebagai seorang pembaca kritis (atau anggap saja begitu, hahaha), kelogisan cerita sangat memegang peranan penting bagi saya. Bukan berarti mutlak sih, sebenarnya. Saya memiliki batas toleransi tentang kelogisan sebuah cerita. Kalau ada yang cacat logika sedikit saja, barangkali masih belum menjadi masalah. Tapi, jika yang di luar logika itu terlalu banyak, aduh... ampun, deh, biasanya saya langsung berapi-api untuk memberikan ulasan tentang kecacatlogisannya. Meskipun saat apinya membara saya sudah sediakan tabung pemadam kebakaran supaya nggak kebakar duluan, hahaha.

Kita selama ini sudah terlalu sering dibodohi oleh sinetron-sinetron maupun FTV. Cewek miskin tapi wajahnya seperti habis dari salon kecantikan rutin setiap minggu. Pekerjaan pemulung tapi bajunya bagus, dan lain sebagainya. Itulah mengapa, saya kesal kalau harus mendapatkan hal-hal yang cacat logika seperti ini di buku.

Contohnya bagaimana sih yang menurut saya cacat logika itu?

Misalnya begini, sebuah karakter yang tidak digambarkan latar belakang kehidupannya dari kaum berada dan tidak mengesankan bahwa dirinya seorang dari kalangan jetset atau kaya raya, tapi bisa dengan mudah berkeliling dunia. Mungkin saat orang lain susah mencari rezeki, bagi karakter tersebut rezeki bisa dengan mudah datang seperti memetik daun. Mungkin.

Atau, seorang tokoh yang digambarkan sehari-harinya bekerja di tempat tertentu (atau sedang sekolah/kuliah), tapi malamnya dia memiliki pekerjaan cukup berat lainnya hingga mengambil waktu yang terlalu banyak baginya. Tapi dia baik-baik saja, tidak pernah sakit. Nah, coba bayangkan kalau itu terjadi pada diri kita sendiri. Sanggupkah kita menjalani hal-hal seperti itu? Kalau saya sih, no. Kerja biasa saja sering sakit, apalagi kerja lebih dari enam belas jam sehari. Barangkali memang ada yang demikian, dan banyak orang yang mengalaminya. Tapi, harus ada alasan yang logis untuk bisa menerima yang seperti itu. Contohnya, si tokoh punya stamina yang baik, si tokoh punya alasan yang sangat kuat dia menjalani kehidupan yang seperti itu hingga pekerjaan berat tersebut menjadi tidak terlalu berat karena alasan tersebut. Jika hubungan sebab-akibatnya bisa masuk ke logika, saya rasa tidak masalah. Tapi, yang kita bahas di sini kan yang tidak masuk di akal sehat ya, jadi, yaaa... begitulah.


2. Keluar dari batas koridor SARA

Ups, bukan berarti saya menyatakan diri bebas dari bacaan berbau SARA. Saya tipikal yang senang mengeksplor dan mengembangkan genre bacaan. Termasuk buku-buku berating dewasa dengan adanya adegan kipas-kipas di dalamnya, saya sesekali membacanya. Namun, saya punya batasan atau koridornya di mana kalau sudah lepas dari koridor itu, maaf saya kalau buku tersebut jadi saya kategorikan sebagai buku low rated. Novel dewasa yang adegan seksnya tidak sesuai dengan plot atau justru menjual hanya adegan itu pada novelnya semata--dalam artian bukan menjual plot secara keseluruhan, siap-siap saya berikan bintang rendah untuknya.

Dan tentang SARA, bukan melulu membahas tentang seks semata. Banyak hal yang berada dalam koridor ini. Buku-buku penuai kebencian yang menurut saya terindikasi memberikan ruang untuk menyalurkan kebenciannya itu, sudah pasti langsung saya nobatkan sebagai buku-buku berating rendah.

Untuk itu, biasanya saya coba menghindari buku-buku jenis ini. Bukan berarti saya mengurung pemikiran dan pemahaman saya, hanya saja, saya memang perlu memiliki batasan terhadap buku-buku yang saya baca. Misalnya, saya menghindari buku-buku berbau LGBT apalagi kalau ada adegan seksual di dalamnya. Tidak, terima kasih.


3. Genre berbalik arah

Saya tidak suka dengan buku yang di tengah-tengah, genrenya berubah. Misalnya, kisah persahabatan remaja yang mendadak berubah menjadi thriller. Atau, novel roman yang berubah haluan menjadi misteri tanpa ada petunjuk apa pun tentang perubahan genre itu. Sudah cukup lah ya di dunia nyata ditipu oleh banyak hal, apalagi cinta (eaaa...) jangan juga ditipu dengan genre buku yang berubah-ubah begini. Kalau tipuannya berhasil, mungkin bisa mengobati kekecewaan. Tapi kalau tidak...?


4. Ceritanya terlalu drama

Sebenarnya ini relatif. Ada buku-buku dengan kadar drama yang overdosis tapi saya masih bisa menikmati dan senang membacanya (contohnya, Kereta Api Terakhir karya Mira W). Namun, di luar kasus khusus tersebut, biasanya saya tidak terlalu menikmati novel-novel dengan drama yang kebanyakan. Barangkali, memiliki banyak plot maupun sub-plot dalam novel itu perlu agar setiap lembaran demi lembarannya pembaca tidak dibuat kebosanan. Hanya saja, jika plot-plot itu didramatisir, rasanya jadi tidak seru lagi. 


5. Karakternya Gary Tsu atau Mary Sue

Silakan googling kata ini kalau belum tahu artinya, ya. Intinya, adalah membuat karakter teramat sempurna. Misalnya karakter fantasi di mana tokohnya bisa terbang, membaca pikiran orang, bisa menyihir, bisa menghilang, cantik, kaya, modis, terkenal, pintar, semuanya ada dalam satu tokoh. Kalau sudah menemukan buku berkarakter begini, rasanya malas sekali. Kesempurnaan kan hanya milik Allah swt.

Karakter Gary Tsu atau Mary Sue membuatnya susah untuk mendapat simpati. Apa lagi yang harus disimpatiin kalau hidupnya sudah terlalu sempurna: kaya, cantik, punya suami tampan dan mapan, punya anak lucu-lucu, liburan selalu ke tempat yang eksotis di sepenjuru dunia? Barangkali kembali lagi, bahwa karakter dalam novel adalah refleksi dari kehidupan nyata. Mungkin ada karakter-karakter demikian di kehidupan nyata. Namun, kembali lagi, apabila karakter tersebut tidak bisa merebut simpati pembacanya, saya rasa tidak banyak yang bisa dilakukan lagi untuk menikmati kisahnya.

Ada satu lagi yang menurut saya kurang menyenangkan, meskipun agak melenceng dari alasan yang ini. Yaitu ketika penulis terlalu mengagung-agungkan karakternya. Terasa kok, saat membacanya. Misalnya, ada keberpihakan si penulis pada karakter tertentu dan mematikan peran karakter yang lain. (Ah ini sudah tidak nyambung dengan Gary Tsu dan Mary Sue, jadi pembahasannya tidak akan saya perpanjang lagi.)


6. Terlalu banyak typo

Typo alias kesalahan penulisan adalah momok bagi para penulis. Saya saja, bahkan saat menulis ini menemukan banyak kesalahan penulisan (sebelum diperbaiki). Buku yang memiliki banyak kesalahan penulisan tentu akan menurunkan semangat membaca. Meskipun, pada beberapa kasus, typo ini masih bisa ditoleransi. Apalagi kalau kisahnya menarik. Tapi, kalau sudah banyak minusnya ditambah dengan banyaknya kesalahan penulisan, saya rasa susah untuk memberikan bintang yang banyak untuk buku tersebut.

Kalau di bawah lima, masih wajar, karena manusia tidak luput dari yang namanya kesalahan. Kalau lebih dari sepuluh, sepertinya ini masalah serius.


Itu dia alasan yang bisa saya kemukakan mengapa ada buku-buku yang saya beri rating rendah. Meskipun, sebenarnya saya cukup ramah dalam memberikan penilaian terhadap buku. Padahal, standar saya cukup tinggi untuk menilai buku. Percayalah, di balik bintang yang rendah, bukan berarti si penulis tidak berhasil dalam menuliskan bukunya, hanya saja mungkin pesannya tidak sampai ke saya. Barangkali, akan sampai ke yang lainnya. 

Penilaian terhadap suatu buku memang subjektif, itulah mengapa di awal saya mengatakan bahwa buku pasti akan menemukan pembaca yang tepat baginya. Untuk itu, biasanya jika ada kriteria buku-buku yang tidak sesuai dengan standar pemberian bintang saya, saya memberikan ulasan dengan jujur disertai dengan alasan-alasannya. Agar di kemudian hari, alasan itu bisa menjadi pertimbangan dan saran membangun bagi karya-karya selanjutnya.

Bagaimana dengan kalian, apa alasan kalian memberi rating rendah terhadap suatu buku?



Postingan ini disertakan dalam #BBIHUT6 Blog Buku Indonesia dengan tema: Tips dan/atau Pengalaman Seorang Pembaca.

11 komentar:

  1. Nomor 1 dan 4 pertimbangan terbesarku. Kalau udh terbiasa berpikir logis, buku yang sekalipun fiksi juga mesti masuk akal :D haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setujuuuu. Kalau isinya nggak logis, aku merasa dianggap bodoh sama penulisnya :( Semoga nggak banyak ketemu buku yang begini, deh :)

      Delete
  2. Terlalu drama dan terkesan lama ngambil solusinya biasanya bikin novel berating rendah. Kalau buku non fiksi berating rendah biasanya karena ide yang pengen tersampaikan susah ditangkap. Bisa jadi karena bahasa yang digunakan, tidak bisa diterapkan, dan kurang alasan yang meyakinkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah aku setuju banget, nih. Kalau nonfiksi, aku nggak suka kalau bahasanya ribet, atau isinya nggak meyakinkan.

      Delete
  3. setuju bgt! kalo ceritanya ga logis ya malesin deh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, jadi senang kalau banyak yang sepemikiran dan sepemahaman :) Makasih sudah mampir, Kak! :)

      Delete
  4. Jadi inget dua buku yg dirating rendah oleh kak nisa gegara gak logis sama banyak dramanya. Xixixi...

    ReplyDelete
  5. Iyaaa kadang aku kasih bintang rendah kalo ngga logis atau too sinetron..

    ReplyDelete
  6. Saya, anehnya, sering ngasih rating 4 ke tipikal cerita melankolis dramatis sinetronis 😅
    Tapi kalo penulisnya buru-buru, main terabas (?), nggak detail dan nggak menggali emosi tokoh (apalagi novel romens tapi dua tokohnya blas nggak punya chemistry), bye.

    ReplyDelete

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)