Metafora Padma

Judul : Metafora Padma
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 168 Halaman
ISBN : 9786020332970
Rating : 4 dari 5




"SEJAUH yang aku lihat dan hitung, dua puluh enam tubuh manusia tergeletak di jalan raya. Sepuluh telentang, enam belas telungkup. Beberapa di antaranya terbaring di sebelah benda-benda-patahan kursi, parang berlumuran darah, pecahan botol kaca, mungkin botol minuman keras. Semuanya rebah di atas darah mereka sendiri. Kau bisa yakin mereka semua sudah menjemput ajal. tapi bisa juga kalau kau bilang mereka cuma tidur di atas kehidupan, karena darah itu adalah yang sebelumnya membuat mereka hidup." ---Metafora Padma, halaman 103
***

Ketika membuka halaman awal buku ini dan melihat Bara menuliskan bahwa buku ini dipersembahkan untuk masa kecilnya, saya semacam dejavu pernah membaca kicauan Bara di twitter tentang ia yang akan membuat kisah seputar masa kecilnya. Mungkinkah buku ini yang dimaksud itu? Well kalau begitu, mungkin saya harus banting setir mengubah persepsi tentang buku ini. Ya benar, ini bukan kisah romansa biasa, bukan novel melainkan kumpulan cerita berbeda, yang mungkin beberapa di antaranya diilhami oleh masa kecil Bara.

Metafora Padma adalah sebuah kumpulan cerita, tediri atas empat belas kisah yang memiliki kekuatan serta pesonanya masing-masing. Bercerita tentang konflik sosial yang tengah ramai diperbincangkan kembali di masyarakat, kisah perseteruan antarsuku yang selalu saja bisa memantik kekisruhan lebih besar seolah menyimpan bara yang bisa dimuntahkan hanya dengan satu jentikan api. Satu hal yang menjadi benang merah pada keseluruhan cerita ini adalah: friksi.

Saya mengutip penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang friksi:

friksi/frik·si/ n 1. pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat; 2. perpecahan

Mengapa saya mendapatkan hubungan antarcerita di buku ini melalui kata "friksi" alih-alih "Padma" seperti judul buku ini? Karena di sini, penulis dengan berani mengangkat tema yang "berat", namun disajikan dalam bentuk kumpulan cerita yang dengan mudah dapat dilahap dalam hitungan jam namun memberikan bekas berupa kesan yang mendalam. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah membaca buku ini.

Secara umum, saya membagi pembahasan tentang kumpulan cerita di buku ini menjadi tiga bagian: pertama, tentang cinta yang tidak semestinya; kedua, tentang agama; dan ketiga, masalah konflik antarsuku. Percayalah, saya ingin mengulas ketiga-tiganya, namun khawatir tulisan saya akan melebar sampai ribuan kata, rasanya saya akan meringkas-ringkas saja dan berupaya menarikan apa yang hadir dalam benak dan apa yang ingin saya rangkaikan di sini dalam bentuk kata-kata.

Dibuka dengan manis dan tajam dengan cerpen berjudul Perkenalan.

"Kamu harus tahu, Harumi Sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas." ---Perkenalan, halaman 9
Identitas adalah nama. Identitas juga bisa berarti latar belakang, suku, agama, atau apa pun yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan diri seseorang. Di dalam kisah ini, dan mayoritas kisah dalam cerita ini (Demarkasi, Rumah, Alasan, Metafora Padma) menceritakan tentang konflik antarsuku yang terjadi di tanah kelahiran kami. Saya menggunakan kata "kami" di sini, karena sebagai seorang kelahiran Kalimantan, rasanya tidak mungkin saya tidak mendengar tentang konflik horizontal yang terjadi di tanah ini beberapa tahun silam. Dan tahukah kamu? Bahwa api yang padam itu dapat kembali menyala hanya dengan sedikit percikan api kecil, yang tidak mustahil akan berkobar dengan cepat. Saya jadi ingat, beberapa waktu belakangan pernah terjadi hal yang demikian. Perkara yang melibatkan dua orang menjadi perang antarsuku, menjadi bencana antarkampung, hanya karena pelakunya adalah dua orang dengan identitas tertentu. Dua individu menjadi dua kelompok besar. Mereka yang membawa "identitas" dan "nama" seolah lupa akar permasalahannya berasal dari mana.

Kau lihat, ini masalah pribadi. Tidak ada sangkut pautnya dengan identitas seseorang. Jadi masalahnya cuma satu: pembunuhan karena motivasi persoalan pribadi. Tapi kau tahulah, manusia tak bisa menerima penjelasan yang terlampau sederhana. Lantaran mereka tak bisa melihat pembunuhan sebagai pembunuhan, mereka merumitkannya. ---Obat Generik, halaman 64

Sewaktu membaca Alasan, saya jadi ikut bersolilokui dengan si tokoh. Di sana, penulis memberikan potret, bahwa orang bisa melakukan kejahatan apa pun hanya dengan sebuah "alasan". Namun di sana, saya tertarik dengan sebuah frasa "kampung halaman". Konflik antarsuku di Kalimantan pun, konon katanya disebabkan oleh klaim atas "orang asli" dan "pendatang". Saya mau tidak mau jadi teringat dengan pelajaran Sejarah sewaktu di bangku sekolah tentang asal usul nenek moyang bangsa Indonesia dengan teori "Proto Melayu" dan "Deutro Melayu"-nya. Kesimpulannya, bahwa penduduk asli bangsa Indonesia pun, adalah sebuah imigran yang berasal dari Cina bagian selatan yang kemudian tersebar mendiami pulau-pulau di Indonesia. Meskipun, kita juga tidak dapat menutup mata dengan kehadiran nenek moyang dari proses migrasi awal ini dan bagaimana peran mereka di tanah yang mereka duduki, beratus-ratus tahun, beranak-pinak, hingga menghasilkan keturunan yang membentuk sebuah akar budaya dan suku di tempat-tempat tersebut. Tapi, sebagai kesimpulan, saya justru lebih menyenangi kalimat yang pernah diucapkan oleh Pidi Baiq bahwa kita, manusia, adalah para imigran dari surga.

Nah, lantas, bagaimana kita menyikapi permasalahan konflik tersebut? Rasanya, pertanyaan itu tidak cocok kalau dijawab oleh saya. Sewaktu konflik besar-besaran pertama terjadi, saya masih kecil dan tidak mengerti apa yang sedang diributkan oleh orang-orang. Beruntung pula, tempat tinggal saya jauh dari sumber pertikaian dan identitas yang saya miliki tidak berasal dari kedua kubu yang berseteru. Kegusaran yang saya hadapi mungkin berbeda dengan yang penulis pernah hadapi atau saksikan sendiri. Namun, tentu saja, ini tidak mengurangi rasa empati yang kemudian muncul belakangan ketika mendengar penuturan tentang kisah ini ketika diwartakan kembali. Sama sekali tidak. Membaca beberapa cerita yang mengangkat tentang kisah itu lagi, membuat siapa pun akan merasa pilu. Percayalah. Bahkan tidak perlu kau berada di tanah yang sama dengan mereka untuk merasakan dampak yang terjadi di sana.

Saya sebagai orang lokal, senang apabila ada penulis yang mengangkat tema kedaerahan di dalam cerita mereka. Namun, menyadari bahwa tema yang diambil kini merupakan sisi kelam yang pernah terjadi, rasanya nano-nano juga. Tapi saya bisa memahami dan tahu persis isu apa yang tengah diangkat di sini, seolah saya bisa tahu bagaimana keresahan yang dirasakan oleh penulis tentang tema itu. Dan mengambil sudut pandang kisah pilu percintaan di antara dua kubu yang berseteru, adalah jalan tengah untuk dapat memahami posisi pembaca untuk menempatkan diri supaya bisa merasakan apa yang tengah terjadi dalam paparan cerita itu. Kisah Rumah, menurut saya, adalah cerpen yang cerdas karena mengambil sudut pandang bukan manusia, melainkan sebuah rumah yang menjadi saksi bisu salah satu cerita pilu itu.

Betapa pun banyak peristiwa tidak menyenangkan terjadi di rumah, ia tetap tempat kita tinggal dan pulang. Kamu tidak meninggalkan rumahmu hanya karena ia pernah menyimpan kenangan buruk. Kamu akan tetap bersamanya, berdamai dengan kenangan-kenangan buruk itu, dan memperbaikinya sampai jadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. ---Rumah, halaman 57


Lalu, saya ingin berbicara tentang keresahan yang lain. Berbicara tentang identitas agama, sebenarnya sangat sensitif, dan bagi saya lebih sensitif ketimbang fanatisme kesukuan. Tapi, saya bisa menyimpulkan satu hal di sini. Bahwa habluminallah itu erat kaitannya dengan hablumminannaas. Ketika kau memiliki hubungan yang intim kepada Tuhan, menghayati ajaran yang disampaikan oleh utusan Tuhan, mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, kau tidak perlu disindir dengan cerita Suatu Sore, atau merasa bimbang seperti Natalia di Solilokui Natalia

Dan jika kau meyakini Tuhan dalam hatimu, friksi seputar cinta (drama perselingkuhan atau apa pun yang berhubungan dengan penodaan cinta) bisa diminimalisir. Oke, ini self claimed. Yang lain bisa memiliki pendapat berbeda namun ini adalah murni pendapat saya. 

Akhir kata, saya setuju dengan apa yang disampaikan dalam cerita Kanibal (meskipun jujur, ini satu-satunya cerita yang saya skimming bacanya karena deskripsinya sukses bikin ngilu), bahwa penulis yang baik, meletakkan jiwanya pada setiap tulisan-tulisannya--sampai kadang-kadang merasa hilang sendiri habis menulis. Hhhhh. 

=))

5 komentar:

  1. Aku suka cerita di Kanibal Bu Niss, sukses buat aku 'wow' hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maso kamu Bin hehehe. Serem. Sebagai orang Visual, saya langsung kebayang-bayang :D

      Delete
  2. Sudah sejak lama penasaran dengan buku ini apalagi setelah melihat bahwa isu yang diangkat sangat erat kaitannya dalam kehidupan kita sehari-hari bahkan membentuk sejarah panjang perjalanan bangsa kita sendiri. Nggak dipungkiri bahwa sejak dulu Indonesia nggak hanya sering ditimpa musibah terkait bencana alam tapi juga pertikaian yang seolah nggak ada habisnya. Perbedaan agama, ras, suku seolah menjadi titik utama munculnya perepcahan dalam kehidupan sehari-hari. AKu mau banget bukunya, karena aku yakin aku nggak hanya akan mendapatkan cerita yang menakjubkan tapi juga pengalaman dan pelajran yang nggak akan terlupakan. Sebuah buku akan sangat bagus jika memiliki setidaknya satu pesan moral di dalamnya. Buku ini terdiri dari 14 cerita pendek, nggak akan rugi kan mendapat 14 pesan moral sekaligus? :D

    ReplyDelete
  3. Wow..aku lagi suka baca buku cerita realis, tapi puitis seperti ini. Masukin bucket list ah...

    ReplyDelete
  4. Lho aku pikir buku ini novel, ternyata kumpulan cerita pendek ya. Wah. Maklum meski penasaran, nggak terlalu penasaran banget. Habis tulisan Bernard Batubara banyak yang romance, dan jujur nggak terlalu sesuai. Namun, kayaknya yang ditawarkan di buku ini asyik semua ya. Tema-tema kekinian banget pula.

    ReplyDelete

Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)