Judul : The Puppeteer
Penulis : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Tebal Buku : 352 Halaman
Cetakan Pertama, September 2017
(versi bahasa asli, terbit perdana Maret 2016)
ISBN : 9786024410247
Rating : 4 dari 5
Blurb:
Jakop Jacobsen namanya. Pria biasa dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Teman terdekatnya adalah Pelle Skrindo, bajak laut yang suka datang dan pergi sesukanya. Hobinya adalah menghadiri pemakaman, dan sahabat pena tersayangnya adalah Agnes. Kepada Agnes, dia mengisahkan berbagai pemakaman yang dia ikuti, juga kesan-kesan tentang keluarga para almarhum.
Jakop hidup sendiri. Dia senang berbagi kisah. Sayang, dia hanya punya Pelle sebagai teman berbagi. Tetapi, Pelle lebih sering membantahnya daripada mendengarkannya. Karena itu, Jakop suka menghadiri pemakaman, berbagi emosi sesaat dengan keluarga yang berduka, meski dia harus mengarang kebohongan tentang bagaimana dia mengenal para almarhum. Tapi akhirnya, dia ketemu batunya. Keberadaan Agnes pada saat dia menghadiri suatu pemakaman membuatnya tak lagi bisa mengarang kisah dusta. Demi mempertahankan koneksi dengan Agnes, Jakop harus menguak siapa dirinya sebenarnya. Sanggupkah Jakop?
The Puppeteer, karya terbaru Jostein Gaarder, mengajak pembacanya merenung tentang kesendirian, pertemanan, serta tentang mencari tempat dan tujuan dalam kehidupan di dunia ini. Mengharukan dan menggugah empati.
***
Catatan: Mungkin akan spoiler, karena saya tidak tahu harus menuliskan apa selain kesedihan Jakop yang menyayat hati itu (dan itu termasuk bagian yang mungkin bakal spoiler dalam kisah ini).
Jakop adalah seorang pria yang bisa dikatakan kesepian. Dalam sepinya, dia memiliki teman bernama Pelle. Dia juga memiliki kebiasaan unik mengikuti prosesi pemakaman. Kebiasaan itu bermula dari kegiatan isengnya untuk menghadiri pemakaman yang diumumkan di surat kabar. Betapa dia menikmati atmosfer berkumpulnya keluarga besar saat adanya kematian. Orang yang akan mengenang mendiang, banyak yang datang memberikan penghormatan. Semua itu tidaklah didapatkan Jakop dalam hidupnya. Dia lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu, dengan ayah yang hanya datang sesekali. Pergunjingan orang-orang di desanya berlangsung lama. Tidak hanya seputar ayahnya dan status perkawinan ibunya yang tidak jelas itu. Saat kecil, Jakop suka bermonolog dengan Pelle, yang adalah sebuah boneka tangan. Dengan Pelle, Jakob bisa mengeluarkan isi hatinya yang tak bisa dilisankan olehnya sendiri. Saat remaja, dua orang gadis menangkap basah dirinya yang sedang ngomong dengan boneka, dan berita itu tersebar luas hingga Jakop harus menahan diri dari upaya pembullyan terhadapnya.
Namun, Jakop hidup dengan pembuktian bahwa dirinya akan sukses. Dia menjadi seorang guru dengan minat yang besar terhadap hubungan kekerabatan antara suatu kata dari berbagai bahasa. Minatnya berkembang sejalan dengan risetnya terhadap orang-orang yang ditakziyahinya. Jakop perlu mengaitkan dirinya dengan mendiang, makanya dia perlu memiliki hubungan yang bisa dikarangnya terhadap orang tersebut. Dia juga membuat dokumentasi atau semacam arsip pribadi tentang orang-orang yang dikunjunginya, yang dia dapatkan dari iklan koran. Jakop meletakkan potongan koran itu di dalam kotak cerutu yang disimpannya di lemari kamar.
Kesendirian bisa terasa sepi bagi orang yang menjalaninya. Namun menurutku, itu lebih baik daripada hidup dalam keberduaan. Kalau orang hidup sendiri, setidaknya dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Aku membayangkan bahwa kebebasan lebih mudah hidup dalam keluarga besar ketimbang dalam perkawinan yang sempit. ---halaman 188
Jakop pernah menikah, hanya saja pernikahannya tidak berlangsung lama. Sang istri tidak dapat menerima perilaku Jakop yang tidak biasa. Pada akhirnya, Jakop kembali sendiri dan menjalani kebiasaannya berdialog dengan Pelle dan menghadiri pemakaman. Jakop sudah menyiapkan argumentasi andai saja ada yang bertanya tentang hubungannya dengan sang mendiang. Hanya saja, epandai-pandainya tupai melompat, ada kalanya tergelincir juga. Jakop terpaksa menelan pil pahit kebohongannya saat Agnes, adik bungsu salah satu orang meninggal yang ditakiziyahinya membongkar kebohongan itu. Ada satu fakta yang luput dari perhatian Jakop yang tak dapat dielakkan dari kisah fiktifnya itu.
Kepada Agnes, Jakop menuliskan surat panjang tentang kisah hidupnya, rahasia kelamnya, dan kebiasaan unik Jakop saat menghadiri pemakaman demi pemakaman dalam hidupnya.
"Sekarang aku mengerti. Aku tidak sanggup lagi membayangkan menjadi tamu tak diundang dalam kehidupan orang lain." ---halaman 316
***
Seperti halnya ciri khas tulisan Gaarder, di sini saya menemukan konsep surat seperti yang muncul pada beberapa judul novel sebelumnya, seperti pada Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken atau Gadis Jeruk. Saya juga masih merasakan keprihatinan mendalam Gaarder pada kerusakan lingkungan, yang masih muncul meskipun sekilas di buku ini. (Tema itu menjadi perhatian Gaarder pada novelnya yang berjudul Dunia Anna yang menceritakan tentang pemanasan global, juga pada Maya.)
Menyenangkan rasanya, mengikuti tulisan Gaarder lintas waktu, dari mulai membaca novelnya yang ber-setting 1998 (era sebelum milenium), hingga masa sekarang di mana tokohnya menggunakan Instagram. Menyimak dongeng filsafatnya yang indah sejak Gadis Jeruk hingga The Puppeteer. Saya senang dengan bukunya, merangkai banyak sekali makna dan pengetahuan baru. Menggugah naluri, tak jarang mengubah cara pandang dan persepsi. Apalagi, dalam buku ini, mengangkat tema tentang seorang "dalang", atau "penggerak" cerita. Sebuah tema yang sangat dekat dengan saya pribadi. Beberapa tahun terakhir, saya adalah seorang Puppet Master, alias penggerak suatu karakter dalam dunia role-playing.
Aku tidak pernah meragukan bahwa Pelle sendirilah yang berbicara saat kami bercakap-cakap. Dia cuma harus meminjam suaraku. ---halaman 153
Meskipun berbeda dengan permainan yang dilakoni Jakop dan Pelle Skrindo, tapi esensi dunia role-playing tetap sama. Seseorang (di dunia nyata) memberikan jiwa, pikiran, dan hatinya pada sebentuk benda mati. Tak jarang, tokoh fiksi itu menggerogoti bahkan merusak kehidupan nyata si dalang atau si penggerak. Hanya saja, dalam kesendiriannya yang memilukan, Jakop terjerumus dalam dunia yang dikarangnya terlalu dalam, hingga ia bahkan mengorbankan kehidupan nyatanya. Dalam sekali buku ini berpengaruh bagi saya.
Kenapa tidak bintang lima seperti kebanyakan buku Gaarder lainnya? Ada sedikit kebingungan memahami permainan Jakop dan kegemarannya dalam mengaitkan "keluarga" makna sebuah kata, di mana, barangkali, akan sangat menyenangkan jika saya bisa memahaminya dalam bahasa ibu Gaarder. Saya angkat topi dengan kemampuan penerjemah dalam menerjemahkan naskah ini. Pasti sulit, mengingat kontennya menurut saya kurang "bersahabat" dengan bahasa lokal atau bahasa yang menjadi terjemahannya. Namun, meskipun kesulitan dan kebingungan, saya masih dapat menangkap makna dan maksud dari apa yang disampaikan Gaarder pada tokohnya.
Sehat-sehat terus, Opa, supaya bisa terus berkarya. Saya menantikan buku-buku Gaarder selanjutnya.