Cara Membuat Quote Pict Keren



Sebenarnya ini bukan ngobras karena artikel yang saya tulis ini lebih mirip tutorial. Dan, sebenarnya lagi, saya bingung mau buat judul apa yang menarik tentang topik yang mau saya obrolin kali ini. Jadi, kalau judulnya kepanjangan, atau tidak menarik, maafkan saya ya teman-teman.

Jadi, berhubung saya suka utak-atik Photoshop (bukan untuk ngedit foto sendiri lho ya, hihihi) dan saya juga suka mencatat kutipan-kutipan menarik di buku yang saya baca, maka terkadang kalau sedang iseng, saya jadi senang untuk membuat kutipan cantik yang akan saya share (entah di twitter, instagram, atau di review-an buku tersebut).

Ada beberapa hal yang perlu kalian siapkan untuk membuat gambar kutipan ini. Yang pertama, tentu kalian harus punya kalimat kutipan yang menarik. Kedua, kalian juga pastinya harus punya aplikasi untuk membuat kutipan. Hmmm, yang ini banyak jenisnya, tapi yang paling saya rekomendasikan adalah Adobe Photoshop (punya saya CS6 Portable, tapi kalau seri di bawahnya juga masih oke oke). Lalu, cari juga gambar yang akan menjadi latar tulisan kutipan, atau gambar-gambar penunjang lainnya seperti kover buku atau yang lain-lain. Satu lagi, yang tak kalah penting adalah kalian juga harus kenal sama berbagai jenis font.

Nah, kita bahas satu per satu ya.

1. Kutipan

Saya kebetulan sedang membaca San Francisco-nya Ziggy Z. (saya lupa kepanjangan namanya Ziggy apa jadi, disingkat saja ya hehe). Di sini, banyak sekali kutipan-kutipan yang menarik dan keren. Saya ambil beberapa sebagai contoh ya.

"A place where you are away from hard--self inflicted, or by someone or something else."
"If you ever go to San Francisco, be sure to wear some flower in your head."
 "I Just love to make people fall in love. Not with me, but with something I love." 
"But I think you shouldn't go about dancing with Death, when there's still so many incredible songs to dance to."

Kalau sudah punya kutipan yang akan dibuat quote pict-nya, siapkan alat tempurnya yakni aplikasi Photoshop, serta gambar-gambar yang mau dipadu-padankan.

2. Gambar background


Sebenarnya, untuk gambar background sendiri, ada beberapa opsi yang bisa dipilih. Pertama, gambar random. Kedua, kover buku yang akan kita jadikan latar belakang. Ketiga, gambar yang sesuai dengan tema buku. Keempat, gambar yang berhubungan dengan isi kutipan. Kalau saya, saya lebih suka opsi ketiga. Jadinya, saya bisa menggali kreativitas tapi tetap bersesuaian dengan tema buku terutama bagian kovernya.

Di novel San Francisco, kover bukunya sendiri berwarna jingga kemerah-merahan (atau terracotta? Kalau salah maafkan ya, karena saya tidak bisa mengenali nama warna hehehe). Di kover buku aslinya pun ada ikon kota yang merupakan judul buku, yakni Golden Gate Bridge. Jadi saya putuskan untuk mengambil tema kutipan di novel ini pakai jembatan terkenal yang ada di San Francisco itu, dan juga nuansai warna terracotta dan putih. Untuk gambar sendiri, saya searching di google (tapi hati-hati ya, gambar bisa mempunyai hak cipta lho). Hasilnya? Ini gambar aslinya:


Sebagai gambaran, ini penampakan kover novel San Francisco:



3. Utak-Atik Photoshop

Saat gambar sudah tersedia, saatnya mainkan PS-mu. Setelah dibuka PS-nya, silakan buka gambar yang mau dijadikan latar tadi. Lalu buat file baru di "new", pilih ukurannya, dan background berwarna putih. Gambar yang asli tadi, di-copy dulu (pakai ctrl+j) lalu dipindah ke tempat yang baru tadi. Eh tapi, di sini saya pakai ilmu kira-kira ya, nggak ada patokan pas harus width sekian height sekian. Yang penting, pas di hati saja. Kalau kebesaran gambarnya, ukuran dikecilkan. Kalau kekecilan, ukuran dibesarkan. Tidak ada nilai mutlak untuk sebuah kreatifitas ;)

Setelah gambar masuk dan ukuran dipaskan, buat blending di gambar background tadi, turunkan opacity-nya sampai 35% (atau kira-kira saja). Tujuannya di sini adalah, karena kita kan mau menonjolkan tulisannya. Sementara, background di sini hanyalah penunjang, atau pelengkap. Meskipun begitu, harus tetap terlihat juga gambarnya, agar bisa melengkapi dengan padu. Cara melakukannya, klik kanan di layer, pilih opsi "blending options", lalu turunkan opacity hingga 35%. Gambarnya jadi terlihat seperti ini:


Setelah ini, karena saya mau menonjolkan warna terracotta-nya, maka yang saya lakukan adalah membuat bingkai dengan warna yang serupa dengan kovernya. Hasilnya? 


Lalu, baru memikirkan di bagian mana kutipan itu akan dibuat. Yang paling ideal sih di tengah. Nah, berhubung kalau menulis di tengah akan tabrakan warnanya dengan background (meskipun sudah diturunkan opacity-nya, tetap saja masih tidak enak dipandang), maka saya buat kotak di tengah. Kotak ini juga musti diturunkan opacity-nya. Kenapa? Supaya gambar di background tetap bisa kelihatan, dan tulisan yang akan dibuat nantinya juga kelihatan. Fair enough kan?


Nah, sekarang kita punya space untuk menuliskan kutipannya. Langkah selanjutnya bagaimana? Selanjutnya meletakkan tulisan, memilih warna, mengatur letak. Ini murni kreatifitas saja ya, dan estetiknya tentu. Di sini, yang saya tekankan adalah pertama pemenggalan kalimat. Kedua, jarak antarhuruf. Ketiga, jenis huruf.


Kutipan "A place where you are away from hard--self inflicted, or by someone or something else." saya bagi menjadi empat baris. Pemenggalannya sesuaikan saja ya dengan pemenggalan kalimatnya. Secara umum, yang saya gunakan adalah font "Georgia" ukuran "36 pt", warna terracotta (#f45617). Di baris pertama, saya pakai jarak antarkatanya 0 (untuk mengubahnya, klik saja yang saya bundarin di atas yang ada tulisan VA-nya). Baris kedua, saya meletakkan pas di bawahnya, tapi jarak antarkata saya ubah jadi -50 (terlihat sedikit lebih rapat). Baris ketiga, saya renggangkan, karena katanya juga pendek. Supaya terlihat pas, saya ganti ukuran jarak antarkata menjadi 200. Baris keempat, dirapatkan lagi dengan jarak -100. Hasil akhirnya adalah seperti gambar di bawah ini:


Oh ya, jangan lupa identitas bukunya. Minimal judul buku dan nama pengarangnya harus ada. Kalian juga bisa buat watermark dari gambar tersebut dengan menuliskan nama kalian atau nama blognya. Tapi ingat, itu hanya sebagai penanda. Jangan sampai nama kalian itu jadi yang paling mencolok. No. Akan terlihat jelek. Percayalah sama saya.

4. Bermain-main dengan Font

Nah, setelah jadi, kalau kalian mau ambil kutipan yang sama dari buku tersebut, kalian tidak perlu memulai lagi dari awal, cukup menghapus kutipan yang lama dan menggantinya dengan kutipan yang baru. Tapi, sebagai unsur pembeda, kalian bisa ganti font-nya, atau jarak antarspasi dan antarkata. Seperti contoh yang di bawah ini, saya pakai huruf yang sama Georgia, tapi diganti dengan yang italic. Saya juga bermain sama ukuran font. Baris terakhir terlihat lebih besar bukan? Ini bisa digunakan untuk menunjukkan kata mana yang menjadi fokusnya.


Atau bisa juga, saya memadukan dua jenis font yang berbeda. Seperti misalnya kutipan di bawah ini:


Kalau bosan dengan background yang ada, bisa lho diganti gambarnya, juga warna hurufnya, border-nya, dll. Tergantung dari kreatifitas saja ya.


Saya mengganti gambar, komposisi warna, dan juga hurufnya. Terlihat berbeda bukan? Tapi masih bersesuaian dengan temanya juga.

Kalau ditanya font mana yang oke, saya suka Georgia, Book Antiqua. Tapi, kalian juga bisa cari font yang lain yang oke. Referensi tempat download yang saya suka ada di http://www.dafont.com/ Pilih saya di sana, banyak font-font keren lho. 


Nah, itu dia tips dari saya. Kalau mau lihat kutipan yang lain, saya juga buat untuk beberapa contoh yang background-nya saya sesuaikan dengan warna kover dari novel aslinya. Yang di bawah ini dari novel Malam-Malam Terang yang bernuansa biru:



Yang ini, dari Dunia Maya. Ada kover bukunya saya sertakan di sini:


Saya juga pernah membuat yang beda sama kovernya, tapi karena yang saya buat adalah dari kutipan novel AADC, jadi saya pakai gambar dari film tersebut. Karena mau menonjolkan Nicholas Saputra saja, yang lain saya blur hihihi.



Semoga artikel ini bisa membantu ya teman-teman.



Teka-Teki Terakhir

Judul : Teka-Teki Terakhir
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 256 Halaman
ISBN : 9786020302980
Rating : 4 dari 5




"Kalau aku boleh memberimu satu nasihat, Laura, janganlah terlalu fokus pada satu hal hingga lupa menghargai apa yang ada di sekelilingmu." ---halaman 93


Blurb:


Gosipnya, suami-istri Maxwell penyihir. Ada juga yang bilang pasangan itu ilmuwan gila. Tidak sedikit yang mengatakan mereka keluarga ningrat yang melarikan diri ke Littlewood. Hanya itu yang Laura tahu tentang tetangganya tersebut.

Dia tidak pernah menyangka kenyataan tentang mereka lebih misterius daripada yang digosipkan. Di balik pintu rumah putih di Jalan Eddington, ada sekumpulan teka-teki logika, paradoks membingungkan tentang tukang cukur, dan obsesi terhadap pernyataan matematika yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga abad. Terlebih lagi, Laura tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari semua itu.

Tahun 1992, Laura berusia dua belas tahun, dan teka-teki terakhir mengubah hidupnya selamanya...

***

Laura merasa sedih karena ia mendapatkan nilai nol dalam ujian matematikanya. Saat ia berusaha membuang "barang bukti" berupa kertas ujian bernilai nol tersebut, rupanya kertas itu diambil oleh tetangganya yang aneh. Pasangan suami-istri tua Maxwell memang aneh. Banyak rumor berkembang seputar kehidupan mereka yang antisosial, serta desas-desus tentang pekerjaan mereka: ada yang bilang mereka penyihir, ilmuwan gila, dan rumah mereka pun dikatakan sebagai rumah angker. Saking takutnya, Laura bahkan harus menempuh jarak memutar untuk berangkat ke sekolah agar tidak melewati rumah tersebut.

Nah, jadi, bagaimana reaksi Laura ketika mengetahui bahwa kertas ulangannya itu dikembalikan oleh Tuan Maxwell disertai dengan sebuah buku tentang sejarah penemuan angka nol? Apalagi sewaktu ia mendapat komentar dari Tuan Maxwell:


"Mendapat nol tidak terlalu buruk, terutama setelah begitu lama pencariannya." ---halaman 21

Menuruti nasihat Jack, Laura datang ke rumah keluarga Maxwell untuk mengembalikan buku dan menemukan bahwa mereka sama seperti orang-orang normal lainnya. Dan ternyata, mereka mempunyai perpustakaan yang besar sekali. Laura bahkan mendapatkan izin untuk membaca dan membawa pulang buku-buku tersebut.


Sejak saat itu, Laura jadi menyenangi kunjungannya ke rumah Maxwell. Ia membacakan buku untuk Nyonya Maxwell saat sedang sakit, ia juga mendengarkan penjelasan dari Tuan Maxwell tentang matematika. Ya, ternyata Profesor Maxwell bukan penyihir atau ilmuwan gila, melainkan seorang profesor di bidang matematika. Pekerjaannya saat ini adalah ia sedang membuktikan Teorema Terakhir Fermat yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga ratus tahun lamanya.


Karena sering bertemu dengan keluarga Maxwell itulah kini Laura lebih mencintai matematika dan berdampak dengan nilai-nilai ujiannya yang kian membaik. Namun, di lain sisi, hubungannya dengan Katie, teman akrab Laura menjadi renggang. Belum lagi gosip yang beredar di Littlewood yang mengatakan bahwa Laura menjadi sama anehnya dengan keluarga Maxwell. Hal ini membuat Laura cilik menjadi kesal. 


Dan ketika beberapa waktu berselang, kemunculan seseorang bernama Andrew Wiles mengubah banyak hal.



***

Novel ini keren sekali. Pertama, gaya bahasanya yang bercita-rasa novel terjemahan. Kedua, cerita yang lain dari novel-novel Teenlit kebanyakan yang hanya berputar soal cinta-cintaan saja. Teka-Teki Terakhir, bertemakan tentang apa? Matematika, bayangkan, momok besar bagi banyak pelajar di mana pun berada. Tolong.... Saya kira saya sedang membaca novelnya John Green, ternyata ini adalah debutnya Annisa Ihsani. 


Aura yang diberikan pada saat saya membaca ini memang mirip dengan novel John Green yang berjudul An Abundance of Katherines. Saya juga merasakan hawa-hawa yang saya dapat ketika Scout dan Jem-nya To Kill a Mockingbird mengintai rumah tua di kotanya. Lalu, kesan yang saya dapat ini diperkuat dengan plot yang meskipun cukup flat, namun kuat dan pas dengan usia si tokoh utama dan bayangan tentang setting tempatnya yang di antah-berantah (andai saja aura serupa bisa saya dapatkan di A untuk Amanda, huhuhu, karena "Burger Arif"-nya yang sedikit mengacaukan konsep setting di sana).






Saya suka dengan cerita bertokoh anak-anak, saya suka matematika, dan saya tahu sekali bagaimana rasanya mendapatkan pertanyaan seperti yang ditanyakan oleh Laura pada Tuan Maxwell ini:



"Lalu apa kegunaan teorema ini, Tuan? Maksudku di dunia nyata?" ---halaman 23

Sebagai seorang (yang saat menulis ini masih berstatus sebagai) guru fisika, mendapatkan pertanyaan tentang apa pentingnya belajar hitung-hitungan begini di dunia nyata itu menyebalkan sekali (yak, jadi curcol). Kau memang tidak akan secara langsung mendapat manfaat dari apa yang kau pelajari hari ini di dunia nyata. Kau hanya perlu menunggu momen yang tepat di mana kau akan memperoleh apa yang sudah kau tanam sebelumnya. Kalau kata Profesor Maxwell, matematika itu indah. Kalau kata saya, semua itu butuh proses, ada yang namanya perjuangan. Mengapa Teorema Terakhir Fermat belum mendapatkan jawaban setelah lebih dari tiga ratus tahun? Karena pada akhirnya nanti, akan ada seseorang yang memberikan jawaban tentangnya, menemukan solusinya. Butuh waktu yang lama untuk menemukan angka nol (tapi, di sini muncul pertanyaan dari saya tentang siapakah penemu angka nol. Saya mengenal Alkhawarizmi sebegai penemunya, namun di buku ini katanya yang menemukan adalah seorang matematikawan India). Bahkan, pembuktian 1+1=2 saja memerlukan penjelasan lebih dari 362 halaman.


Saya jadi ingat pengalaman pertama kali tentang mendapatkan angka nol pas pelajaran matematika. Waktu itu saya masih kelas 4 SD, dan saya menangis sampai rumah, hahaha. Jadi saya tahu rasanya menjadi Laura saat menemukan kejadian serupa. Selanjutnya, karena merasa bisa-nggak-bisa sama matematika, jadi saya tidak sepenuhnya tidak suka dengan pelajaran ini, nggak cinta-cinta amat juga. Tapi, karena memang selama ini belajar tentang fisika, mau tidak mau harus memahami matematika dasar juga meskipun tidak sampai membahas tentang Teorema Terakhir Fermat segala. Paling mentok ya Teorema Pythagoras. Atau kalau berbicara tentang deret bilangan, pengetahuan saya hanya sampai rumus deret aritmatika Un = a + (n-1) b saja.


Nah, kembali ke buku ini. Saya yakin, penulis pasti orang cerdas dan pandai. Saya katakan begini karena ia berhasil membuat sebuah tema yang tidak biasa, disajikan dengan gaya penulisan yang tidak biasa pula (rasanya jarang sekali saya membaca novel lokal dengan aura terjemahan yang kental seperti ini).


Ada kalimat yang bagus dari novel ini yang saya sukai, misalnya:

"Semua orang aneh dengan caranya sendiri. Terkadang keanehanmu tidak cocok dengan keanehan orang lain, jadi mereka menyebutmu aneh. Tetapi terkadang keanehanmu cocok dengan keanehan seseorang, dan kalian bisa beteman." ---halaman 147

Hmmm... (menunggu bertemu dengan "orang aneh" yang keanehannya cocok sama saya, hahaha.)


Dan satu nasihat terakhir sebelum saya menutup review ini:



"Menurutku penting untuk meninggalkan sesuatu selagi kita hidup. Bagi beberapa orang, mungkin ini berupa bukti teorema. Bagi orang lain, mungkin lukisan atau puisi. Tetapi, intinya, apa saja yang menunjukkan kau pernah hidup. Supaya orang tahu apa impianmu, apa yang membatmu sedih, apa kau lebih suka anjing atau kucing..." ---halaman 217


"Baiklah. Kalau begitu anggaplah alam semesta akan berakhir. Tetapi aku tidak tahu kapan itu akan terjadi. Jadi, apa yang harus kulakukan dengan hidupku sekarang? Tentu saja, aku bisa menghabiskan waktuku tanpa melakukan apa-apa, berpikir toh semua akan sia-sia saja. Tetapi bukankah lebih menyenangkan mengisinya dengan menanam tomat, membaca buku, dan membuktikan teorema?" ---halaman 219




The Missing History

Judul : The Missing History
Penulis : Peer Holm Jørgensen
Penerbit : Noura Books
Tebal Buku : 468 Halaman
ISBN : 9786020989877
Rating : 3 dari 5



"Saya percaya setiap orang memiliki kewajiban untuk memperjuangkan apa yang dia yakini." ---halaman 64

"Kalian tahu, hidup adalah sebuah pilihan. Kalian bisa membuat pilihan kalian sendiri seperti sekarang kalian telah memilih untuk melecehkan piihan yang saya buat. Kalian semua bebas melakukannya. Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang membuat pilihan, kemudian mengindar dari tanggung jawab ketika harus menghadapinya."
"Jika boleh, berilah kesempatan kepada saya untuk memberikan satu nasihat kepada kalian semua: Ketika memutuskan membuat pilihan sendiri, kalian harus yakin untuk bisa tetap berpegang teguh pada pilihan  itu. Ingatlah, kalian harus hidup dengan konsekuensi pilhan yang kalian buat seumur hidup." ---halaman 447

*** 

Blurb:

Masa awal Orde Baru, 1970-an

Para mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno ke negara-negara kiri sedang terombang-ambing. Gerak-gerik mereka diawasi oleh mata-mata pemerintah Orde Baru. Satu langkah keliru bisa mengakhiri hidup mereka.

Di tengah kegelisahan itu, Djani, salah seorang mantan mahasiswa Indonesia yang telah lama menetap dan berkeluarga di Slovenia, mendapat sebuah undangan misterius. Dia ragu untuk datang. Namun, rasa penasaran dan kerinduannya akan kabar terbaru dari tanah kelahiran mengalahkan ketakutan dan kecurigaannya.

Ketika tiba di tempat konferensi di Wina, dia pun merasa dijebak. Konferensi lima hari itu bersifat rahasia, dipimpin oleh Soemitro dan sejumlah pembesar Orde Baru, serta beraroma revolusi. Apa sebenarnya tujuan di balik konferensi tersebut?

Episode singkat dalam hidup Djani ini merupakan sejarah yang hilang dari dekade pertama Orde Baru dan jawaban dari misteri Dokumen Ramadi.

***

Djani adalah nama panggilan Dewa Soeradjana, seorang pemuda Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan jenjang studi di sebuah negara berideologi komunis, Yugoslavia. Pada mulanya, kehidupan para mahasiswa ini berjalan sebagaimana semestinya. Namun, peristiwa di tahun 1965 di mana Soekarno dilengserkan oleh Soeharto mengubah kehidupan bangsa Indonesia, tidak terkecuali mereka yang tengah menimba ilmu di luar negeri. Semua pengikut Soekarno ditangkap, dilenyapkan, begitu pula keluarga mereka yang bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Keadaan ini yang menyebabkan Djani tidak segera pulang ke Indonesia, namun mengambil alasan untuk mengambil program master dan bertahan di sana. Ah ya, Djani adalah seorang pendukung Soekarno.

Waktu berlalu, keadaan Indonesia bisa dibilang belum stabil. Bahkan, ketika Djani selesai dengan kuliahnya, ia masih menahan diri untuk tidak kembali ke Indonesia. Ia masih mengambil alasan untuk melanjutkan kuliah mengambil program doktoral dan tinggal di sana. Namun, rencana ini tidak semulus yang ia bayangkan. Meskipun Djani memilih untuk mencari program beasiswa jalur mandiri (tidak dibayarkan negara karena ia tidak ingin terikat dengan syarat pengabdian, dll), dan ada beberapa pihak yang berminat membantunya, namun kendala dihadapinya karena tidak berhasil mendapatkan surat pengantar dari kedutaan RI.

Sejak kejadian lengsernya Soekarno dan peristiwa September 1965, pihak kedutaan RI melakukan upaya untuk mengendalikan para mahasiswa yang ada di luar negeri. Pada mulanya, mereka berniat untuk menarik kembali para mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan untuk mengabdi pada tanah air dan kembali pulang. Namun, setelah menempuh proses dialog, akhirnya mereka diperbolehkan tetap berada di luar negeri namun harus melakukan perpanjangan izin tinggal setiap tahunnya. Djani pun harus melakukan itu dengan pergi ke kedutaan untuk melakukan perpanjangan itu. Prosesnya cukup menguras perasaan pula karena ia akan "diinterogasi" dan ditanyai macam-macam sebagai bahan pertimbangan apakah ia masih diizinkan untuk tinggal atau dideportasi.

Alasan lain--selain karena ideologi--yang menahan Djani untuk tidak pulang ke Indonesia adalah karena dirinya sudah menikah dengan seorang gadis Slovenia bernama Marija Ana. Ia juga memiliki dua orang anak bernama Robert dan Suzana. Sama halnya dengan Djani, Marija Ana mengalami kekhawatiran yang sama setiap kali Djani harus pergi ke kedutaan atau menghadiri kegiatan yang berhubungan dengan orang-orang kedutaan.

Saat ia mengurus izin tinggal, rupanya ia bertemu dengan seorang teman lama yang menghubungkannya dengan Jendral Soepardjo, sang Duta Besar. Pertemuan ini kemudian berlanjut dengan sebuah tawaran untuk mampir ke rumah Djani di Slovenia, yang diterima dengan senang hati oleh duta besar itu. Suatu hari, kediaman Djani didatangi oleh dua orang penting dalam satu hari. Pak Roestandi, atase militer di kedutaan, dan Duta Besar Soepardjo beberapa jam kemudian. Hal ini, tentu saja membuat Marija Ana bertanya-tanya, apakah ini memang sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja. Wanita itu mengalami semacam kecemasan berlebihan, apakah kunjungan ini ada hubungannya dengan pemaksaan agar suaminya kembali ke Indonesia dan meninggalkannya di Slovenia sendirian.


"Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Segala sesuatu ada tujuannya." ---halaman 97

Tak lama kemudian, sebuah undangan konferensi datang pada Djani. Undangan ini mencurigakan, karena ketika Djani sampai di lokasi, ternyata bukan atas nama pihak kedutaan melainkan dirancang oleh beberapa orang yang menghadirkan pemuda-pemuda yang tengah menimba ilmu di daratan Eropa yang sama sekali tak dikenali oleh Djani. Ternyata, pertemuan ini dilakukan dengan maksud membuat blueprint rancangan tentang tatanan Indonesia baru. Dua kelompok dibentuk yakni yang membahas tentang bidang militer dan ekonomi-kebudayaan. Djani masuk ke kelompok kedua.

Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah orang-orang dalam kelompok itu bermaksud untuk meloloskan sebuah paham baru, atau barangkali itu adalah upaya untuk menggalang dukungan terhadap pemerintahan yang baru dari pemuda-pemuda Indonesia terdidik di luar negeri, atau justru malah sebaliknya?

Kekhawatiran tentang pertemuan selama seminggu itu tidak hanya hinggap pada Marija Ana, melainkan pada Djani juga yang menjalani pertemuan tersebut.

***

Sebelum saya membahas tentang novel ini, ada baiknya saya memberikan rekomendasi agar kalian pembaca, menonton film "Surat dari Praha" terlebih dahulu. Atau, bisa juga membaca review yang saya buat tentang film itu di sini. Mengapa demikian? Ternyata keduanya mengambil tema yang sama, yakni tentang nasib pemuda Indonesia pengikut Soekarno pasca kejadian pengkudetaan pemerintahan Soekarno oleh Soeharto.

Mahdi Jayasri (Surat dari Praha) dan Dewa Soeradjana (The Missing History) adalah potret dua orang pemuda Indonesia yang direnggut ideologinya hanya karena mereka mendukung Soekarno dan menentang apa yang dilakukan oleh Soeharto. Bedanya, Djani tetap mendapatkan haknya sebagai seorang WNI sementara Jaya mendapatkan pengasingan dan pencekalan seumur hidupnya, ia hidup sekadarnya di Praha. Yang dapat saya simpulkan dari dua tokoh di atas adalah..., ternyata, kita memang harus membuka mata tentang sejarah Indonesia yang belum tersingkap, yang selama ini disembunyikan keberadaannya. Dua kisah ini memancing saya untuk mengetahui lebih jauh lagi apa yang sebenarnya terjadi dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia selama ini.

 Oke, sekarang saya akan melanjutkan pembahasan tentang Djani alih-alih Jaya (kalian bisa lihat pembahasan tentang kelanjutan cerita Jaya di movie review Surat dari Praha). Kisah Djani--yang merupakan cerita nyata--disajikan dengan bahasa novel yang cukup mengalir, membuat pembaca menikmati kisah nyata dalam balutan fiksi. Bagaimana kehidupannya berubah sejak peristiwa bersejarah itu terjadi, juga kerisauan-kerisauan seputar kehidupan percintaannya yang mau tidak mau terkena dampak dari kejadian tersebut.


Sewaktu Djani mengikuti konferensi rahasia selama beberapa hari itu, saya mempunyai pandangan yang sama dengan apa yang dihadapi Djani. Mereka dikumpulkan dalam sebuah forum dengan maksud menggagas ide tentang negara Indonesia, namun nyatanya yang terjadi adalah mereka--para peserta konferensi--hanyalah "diarahkan" untuk menyetujui ide yang sudah digagas oleh pemrakarsa agenda tersebut. Lalu di kemudian hari, nantinya akan ada kodifikasi yang dimaksudkan sebagai "hasil pembahasan oleh pemuda terpelajar Indonesia" yang namanya terpampang di sana, yang bisa diklaim sebagai orang-orang yang bertanggung jawab terhadap isinya. Padahal yang terjadi adalah, mereka hanya peserta yang hasil pembahasan di dalamnya sudah ditentukan oleh orang-orang tertentu. 


Sebenarnya gaya penulisan novel ini cukup oke menurut saya. Adegan di gerbong kereta, dialog antara Djani dan pasangan suami-istri Max dan Karina, saya suka. Ini seperti kau bertemu dengan orang asing namun obrolan kalian jauh dari sekadar basa-basi "Kamu tinggal di mana? Pekerjaannya apa?". Di akhir pembicaraan mereka, ada percakapan yang menarik sekali:


"Mr Dewa, apakah menurut Anda akan tercipta perdamaian di hidup kita?"
"Menurut saya tidak ada satu orang pun di muka bumi ini yang ingin mengalami pahitnya petaka dari Perang Dunia yang lain."
"Perang Dunia berdampak lebih buruk pada Belgia dibandingkan Indonesia. Jika Belgia diserang pada Mei 1940, Indonesia, seperti kata Mr. Dewa, hanya dijajah mulai awal 1942 saja."
"Benar. Jika Anda tidak menghitung tiga ratus tahun lamanya kami dijajah oleh Belanda." ---halaman 89

Tapi, ketika sampai pada Djani yang mengikuti konferensi diam-diam itu, saya merasa sedikit bosan. Pemaparan Trinugroho selaku moderator, mengingatkan saya tentang peran guru sebelum era KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), di mana guru adalah tokoh sentral dalam pembelajaran di kelas. Alih-alih sebagai seorang fasilitator  dan moderator, Trinugroho berperan sebagai tokoh sentral di mana ia adalah pengendali forum. Bukankah sebaiknya dalam forum diskusi pembahasan dilakukan dalam banyak arah untuk benar-benar mendapatkan suatu kesimpulan dari semua kepala yang ada di dalam ruangan? Karena adegan dalam bagian ini monoton dan cenderung membosankan, yang saya rasakan sebagai pembaca pun sama. Padahal, bisa saja adegan monoton dan membosankan dikisahkan dalam bentuk yang menyenangkan. Meskipun begitu, apa yang mereka bahas benar-benar masalah kekinian di zaman itu yang ternyata orang-orang di era sekarang merasakan dampak kebijakan yang telah dilakukan pada zaman itu terlepas apakah pembahasan yang ada di dalam konferensi tersebut berhubungan dengan kebijakannya atau tidak. Misalnya, pembahasan etnis Tionghoa, pembatasan keturunan (program Keluarga Berencana) yang mana zaman nenek atau ibu kita, mereka terbiasa dengan banyaknya anak sementara di era sekarang, punya anak lima saja sudah merupakan kejadian yang cukup langka, lalu ada pula tentang transmigrasi, dan masih banyak informasi penting lainnya yang menarik untuk dicerna dan dibaca, terlepas dari cara penulisannya yang menurut saya kurang luwes.


Pada akhirnya, saya mendapatkan kesimpulan yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Dewa Soeradjana saat itu: 



"Apakah dengan cara seperti ini sejarah kita ditulis? Apakah siapa pun yang memiliki kedudukan tinggi bisa membeberkan kebenaran versi dirinya sendiri dan semua orang akan menelan mentah-mentah begitu saja?" ---halaman 118

Saya jadi teringat tentang pidato terakhir Bung Karno: Jas Merah.





Terlepas dari kekurangan saya yang belum mengetahui bagaimana ideologi Soekarno yang sebenarnya, atau apa yang terjadi dengan Indonesia kala baru saja membangun negara setelah merdeka, tapi saya harus sepakat dengan kata-kata Djani pada pemuda-pemuda Indonesia saat ia menuturkan kisahnya pada suatu hari di kampung halaman:


"Tanpa memusingkan apa yang menjadi akar penyebab tragedi 1965, Soekarno adalah bapak pendiri bangsa dan tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Tanpa usaha keras dan tekadnya untuk pertama menantang Belanda kemudian Inggris sejak masih berusia muda, termasuk di antaranya dijebloskan ke penjara selama dua tahun dan pengasingan di dalam negeri selama delapan tahun, kemungkinan besar kalian tidak akan bisa hidup di negara yang berdaulat. Kalian semua harus mengingat dan menghargai jasa beliau." ---halaman 448



Kutipan Novel Dunia Maya karya Jostein Gaarder





Halo, saya hadir kembali untuk memberikan kutipan-kutipan keren dari novel karya Jostein Gaarder yang judulnya Dunia Maya. Saking banyaknya kalimat-kalimat yang berkesan, yang saya tuliskan di sini banyak sekali, hehehe ....

Selamat menyimak ya.

Sekian ratus juta tahun telah berlalu sejak amfibi pertama mulai merangkak di daratan, sampai akhirnya muncul makhluk hidup di planet ini yang dapat menceritakan kejadian tersebut. Baru sekaranglah kita dapat menulis kata pengantar bagi sejarah manusia lama setelah sejarah itu terjadi. Ini seperti ular yang menggigit ekornya sendiri. Mungkin hal ini juga berlaku untuk semua proses kreatif. ---halaman 20

Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas milyar tahun setelah ledakan itu terjadi. ---halaman 20

"Adakah langkah yang bisa kita ambil berdua untuk berdamai dengan singkatnya kehidupan?" ---halaman 24

Kita tidak lagi hidup dari tangan ke mulut. Zaman surgawi telah berlalu. ---halaman 29

Dia yang terakhir melihat, akan melihat yang terbaik. ---halaman 40

Evolusi lebih mirip semak-semak dan kembang kol daripada garis-garis maupun batang pohon. ---halaman 44

Aku adalah mata rantai terakhir dalam sebuah rantai pembelahan sel yang tidak terputuskan, mata rantai terakhir dari proses-proses biokimia yang kurang lebih telah diketahui, dan—dalam analisis terakhir—mata rantai terakhir dari biologi molekuler. Aku tersadar bahwa pada dasarnya, aku tidaklah berbeda dari organisme-organisme sederhana bersel satu yang merupakan nenek moyangku yang paling pertama. Singkatnya, aku tidaklah lebih dari sebuah koloni sel—dengan satu perbedaan penting bahwa sel-sel milikku lebih saling menyatu dibandingkan sel-sel yang terdapat dalam kultur bakteri, sel-selku lebih berbeda dan karenanya mampu melakukan pembagian tanggung jawab yang lebih radikal. ---halaman 50

Jika ada satu saja mutasi yang fatal dalam sebuah pembelahan sel bakteri tertentu dua atau tiga milyar tahun yang lalu, aku tidak akan pernah melihat dunia ini. ---halaman 52

Karena, telah jelas diketahui bahwa ketidakmampuan memiliki anak tidak pernah dapat diturunkan. ---halaman 53

Hanya mereka yang mampu memiliki anaklah yang dapat mengimpikan memiliki cucu, dan tanpa cucu, seseorang tidak dapat menjadi seorang nenek buyut atau kakek buyut. ---halaman 53

Ketika kita mati—saat adegan-adegan telah terekam dalam pita seluloid dan dekor telah dilepas dan dibakar—kita adalah arwah dalam ingatan keturunan kita. Kemudian kita adalah hantu, Sayangku, kemudian kita adalah mitos. Tetapi, kita masih bersama, kita masih merupakan masa lalu yang bersama, kita adalah masa lalu yang jauh. Di balik kubah masa lalu yang misterius, aku masih mendengar suaramu. ---halaman 59

Hidup ini bagaikan sebuah permainan, pikirku, semua ini hanyalah sepotong gula-gula. ---halaman 61

Selain hasrat mencari "yang terakhir" dan "yang hilang", kita semua memiliki keinginan tidak sehat untuk menjadi "yang pertama". ---halaman 63

"Kita melahirkan dan dilahirkan oleh sebuah jiwa yang tak kita kenal. Ketika teka-teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa dapat terpecahkan, itulah giliran kita. Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa terbangun, itulah kita. Karena kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun. Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri. Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian ...." ---halaman 69

Kita adalah karya seni tak bercacat yang penciptaannya membutuhkan waktu bermiliar-miliar tahun. Tetapi, kita terbentuk dari bahan-bahan yang sangat-sangat murah. ---halaman 78

Kita adalah berlian-berlian kegeniusan di dalam jam pasir. ---halaman 78

Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati. ---halaman 79

Jika tiada satu pun keberadaan, tak seorang pun akan mendambakan apa pun. ---halaman 82

Beri saya satu planet hidup, dan dengan senang hati akan segera saya tunjukkan segerombolan penuh lensa hidup. Dan tunggu saja, dalam sekejap, kita akan menatap jiwa-jiwa sadar yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dirinya sendiri. ---halaman 94

Alam semesta ini berusaha untuk memahami dirinya sendiri, dan mata yang meneliti alam semesta adalah mata milik alam semesta itu sendiri. ---halaman 94

Apakah tujuan dari pertunjukan kembang api yang begitu meriah itu? Tetapi kini dapat saya katakan bahwa alasan dari Big Bang adalah agar kita dapat duduk di sini dan berpkir ke belakang mengenainya. ---halaman 98

Tetapi, apa jawaban sang katak terhadap pertanyaan eksistensialis Jerman Paul Sartre? Katak akan tetap menjadi katak. Saya tidak dapat melihat mengapa itu harus lebih tidak berarti dibandingkan manusia menjadi manusia. Jika Big Bang tidak pernah terjadi, segalanya akan menjadi hampa dan tak berarti. Tentunya kehampaan ini hanya untuk kehampaan itu sendiri, dan kehampaan itu akan lebih tidak menyadari ketiadaan arti ini dibandingkan dengan katak dan salamander. ---halaman 99

Manusia mungkin adalah satu-satunya makhluk hidup di seluruh alam semesta yang memiliki kesadaran akan alam semesta. Maka, melindungi lingkungan hidup di planet ini bukanlah hanya sebuah tanggung jawab global, tetapi merupakan tanggung jawab kosmos. ---halaman 101

Hanya karena sebuah jawaban tidak dapat dijangkau, bukan berarti jawaban itu tidak ada. ---halaman 105

Jika tuhan memang ada, tidak hanya ia ulung meninggalkan jejak. Lebih dari segalanya, ia ahli menyembunyikan diri. Dan dunia bukanlah sesuatu yang pandai bercerita. Langit masih menjaga rahasia mereka. Tidak banyak desas-desus yang beredar di antara bintang-bintang ...." ---halaman 106

Prasangka yang paling berbahaya terkadang tertanam begitu dalam sehingga engkau tidak dapat melihatnya. ---halaman 116

Keseimbangan kekuatan antara kesadaran universal yang serupa adalah sesuatu yang labil, suatu keseimbangan terorisme kosmos yang menyebabkan perdebatan kecil kita ini akan memudar menjadi tak berarti. ---halaman 120

Yang paling menggangguku bukanlah pendeknya hidup. Bahkan aku pun memerlukan istirahat, dengan sedikit tidur, karena terus terang aku merasa sedikit lelah bahkan sekarang. Yang membuatku kesal adalah bahwa aku tidak akan pernah diizinkan kembali setelah istirahat itu—kembali ke realitas. ---halaman 129

Karena ada beberapa hal tak terbantahkan yang mengungkapkan fakta bahwa pada prinsipnya, kami tidaklah mungkin memahami lebih banyak daripada yang kami mengerti. ---halaman 130

Ada sebuah dunia. Dari segi probabilitas, hal ini nyaris mustahil. Akan jauh lebih mungkin jika, secara kebetulan, tidak ada apa pun. Dengan begitu, setidaknya tak ada satu orang pun yang akan menanyakan mengapa tidak ada apa pun. ---halaman 133

Tetapi, jika penciptaan kehidupan di Bumi ini memang tidak lebih dari sebuah kebetulan yang gila, semakin tidak masuk akal untuk mempertahankan kebetulan gila yang sama itu sebagai suatu prinsip kosmos. ---halaman 175

Ada sesuatu di balik dunia ini. Di sini kita hanyalah ruh yang melayang-layang dalam peralihan. ---halaman 183

Ada sebuah kenyataan lain di balik kenyataan yang kita saksikan ini. Ketika saya mati, saya tidak akan mati. Anda semua akan meyakini bahwa saya telah mati, tetapi saya tidak mati. Tidak lama lagi kita akan bertemu kembali di sebuah tempat lain. ---halaman 183

Sejarah adalah ruh dunia yang berbicara kepada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal itu di masa lalu walaupun saat itu ia masih bingung. Saat itu, ia baru saja terbangun. ---halaman 194

Pernahkah engkau memikirkan bahwa mobil yang kita kendarai berjalan dengan darah zaman Kapur di dalam tangkinya? ---halaman 195

Tetapi, peralihan dari tawa menjadi tangis sungguh merupakan sebuah perjalanan yang pendek, karena kebahagiaan sama rapuhnya dengan gelas. ---halaman 271

Takdir tidak akan membiarkan dirinya diubah. Takdir hanyalah sebuah bayang-bayang dari kenyataan. ---halaman 302

Bahkan sebuah pandangan ke belakang adalah bagian dari kebijaksanaan. Terkadang memang bijaksana untuk melihat kembali ke belakang. Toh sesungguhnya, diri kita terbentuk dari masa lalu kita daripada masa depan kita. Bagiku, kesadaran adalah sebuah bagian yang lebih esensial dalam hakikat alam semesta dibandingkan semua bintang dan komet dikumpulkan menjadi satu. ---halaman 331

Lebih mudah mencintai seseorang yang selalu berada di luar jangkauan kita dibandingkan seseorang yang darinya kita tidak dapat melarikan diri. ---halaman 351

[Ngobras Buku] Novel-Novel Anak Inspiratif




Halo teman-teman. Mulai saat ini, saya akan mulai rajin menulis artikel (serius banget ya kalau namanya artikel, hehehe). Tapi, biar santai, namanya diganti bukan artikel deh, tapi Ngobrol Santai Tentang Buku atau saya singkat "Ngobras Buku" saja ya.

Topik pertama yang mau saya bahas adalah tentang novel anak inspiratif. Sebenarnya ini bukan tema obrolan baru, saya pernah melemparkan topik ini di forum BBI alias forum Blog Buku Indonesia. Namun, karena menurut saya topiknya menarik, dan saya perlu mengabadikannya di blog ini, maka pembahasannya akan saya tuliskan lagi disertai dengan beberapa tambahan bahasan yang tidak kalah menariknya juga.

***


Belakangan ini, saya lagi suka membaca buku dengan tokoh utama anak kecil. Sebutlah misalnya The Little Prince yang hits karena diangkat ke layar lebar, atau To Kill a Mockingbird yang sekuelnya baru diterbitkan. Memang sih, sebenarnya novel-novel itu (menurut saya) ditujukan bukan hanya untuk pembaca anak-anak. Tapi, dengan menggunakan sudut pandang anak kecil, mereka berhasil menggugah sisi lain orang dewasa yang perlahan memudar karena faktor usia. (Aduh pengantar saya serius amat ya :D)


Jadi, sebagai pembaca dengan umur tidak lagi anak-anak, saya banyak sekali mendapatkan pelajaran dari membaca buku-buku ini:



Cover baru, terbitan Qanita (2015)


Siapa sih yang nggak jatuh cinta sama Scout? Novel ini, dengan pembahasan dan tema yang cukup berat, disajikan dalam sudut pandang anak berusia tujuh tahun, benar-benar membuat saya terpana dan langsung jatuh cinta. Bagaimana Scout memandang dunia, melihat fenomena yang terjadi di sekitarnya tentang perbedaan ras yang masih sangat kentara pada era di mana setting buku ini diangkat. Petualangannya dengan Jem tidak kalah mengesankan, tidak melupakan bahwa si tokoh utama adalah seorang anak-anak.


The Miraculous Journey of Edward Tulane



Ini..., cerita tentang kelinci porselen yang buat saya nangis.... (Serius bagus banget sampai nggak tahu harus nulis gimana buat ngerekomendasikan buku ini.) Saking bagusnya, saya sampai mengalami book hangover dalam waktu lama dan tidak bisa melanutkan membaca buku lain dalam waktu yang tidak singkat. Bahkan sampai belum kesampaian buat review-nya, hehehe. Bukan excuse ini ya, tapi memang, saya berniat untuk membacanya sekali lagi (sama keponakan) lalu membuat review tentang buku ini sehingga hal-hal yang berkesan tentangnya masih segar dalam ingatan untuk dituliskan kembali.


The Little Prince




Novel ini tipis, tapi ternyata..., ajaib! Seajaib kisah si Pilot dengan temannya si Pangeran Cilik. Benar-benar mengajari orang dewasa tanpa mendiktenya. Menohok. Banyak hal dan nilai-nilai kebaikan yang menghilang seiring dengan bertambahnya usia seseorang. 

Novel filsafat yang juga dikisahkan dari sudut pandang seorang anak kecil yang terkena kanker dan sekarat, berkisah tentang dialognya dengan Malaikat Ariel. Keren. Kita tidak hanya belajar banyak tentang makna dan arti kehidupan dari seorang gadis kecil, melainkan juga dari seseorang yang tengah menghadapi kematian.


Ini seru, tentang kisah petualangan Ayah yang terlambat pulang saat membelikan susu untuk anaknya, bertemu monster, disekap bajak laut, dan kisah seru lainnya =)) Ayah ditinggal Ibu untuk pergi ke sebuah seminar. Sementara, sang ayah harus mengambil alih mengasuh dua anaknya yang masih kecil. Suatu hari, ayahnya lupa membeli susu dan persediaan susu di rumah telah habis. Ayah bertemu dengan seorang kenalan dan anak-anaknya sudah menanti dengan kesal di rumah. Sebagai alasan, ayah membuat sebuah cerita tentang perjalanannya yang dihadang monster serta kejadian-kejadian meneangkan dan seru lainnya. Ilustrasinya juga cantik.


Dan dari dalam negeri, kisah seorang anak kecil bernama Ava yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, diceritakan dengan polos dan membuat kasihan. Miris sekali. Ava mewakili sisi gelap kehidupan kuran menyenangkan seorang anak kecil korban KDRT. Bagaimana dia menyikapi kepedihan hidpupnya, dan bagaimana anak sekecil Ava menjalani cerita hidupnya.


Sebenarnya, masih banyak judul lain yang bisa saya rekomendaskan dan bahas di sini. Misalnya, Misteri Soliter, Dunia Anna, Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken (kesemuanya adalah novel karya penulis favorit saya Jostein Gaarder), George's Secret Key to the Universe (novel anak-anak yang dibuat oleh Stephen Hawking dan anaknya Lucy Hawking), Petualangan Tom Sawyer (buku favorit saya waktu SMP karya Mark Twain). Atau kalau mau menengok Amerika zaman 1800an, bisa baca Little Women karya Louisa May Alcott. 

Dengan baca buku-buku anak, selain untuk menumpuk list bacaan yang akan saya persembahkan kepada anak-anak saya kelak, ternyata banyak sekali pelajaran yang bisa diambil. Tentang nilai-nilai kehidupan yang tanpa kita sadari ternyata begitu banyak yang tergerus oleh waktu, terlupa karena label "dewasa" melekat pada kita.



Ehm, sebenarnya, di sini saya pengin mengajak teman-teman untuk sharing (sekalian nambah rekomendasi untuk wishlist bacaan saya) tentang novel anak-anak, atau novel dengan tokoh anak yang menurut kalian inspiratif, dan mengapa. Komentar dari pembaca saya tunggu ya, barangkali kita bisa berbagi novel-novel anak apa saja yang menginspirasi hidup kalian. Ditunggu ya.... ;)



Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)